Humanisme atawa kemanusiaan oleh Poespoprodjo dan K. Bertens
dikatakan sebagai dasarnya moral, dari rasa kemanusiaan inilah kualitas
moral diukur. Tentang bagaimana suatu perbuatan dapat dikatakan
manusiawi; sesuai dengan rasa kemanusiaan; atau sama sekali tidak
berkenaan dengan manusia, dan bagaimana suatu perbuatan menyalahi atau
tidak sesuai dengan rasa kemanusiaan. Seperti kasus pembunuhan antar
manusia, yang sudah pasti baik secara kemanusiaan adalah tidak tepat
alias menyalahi, baik membunuh manusia lain maupun kasus bunuh diri,
bukan tentang "gol bunuh diri" sebagaimana yang dilakukan oleh Terry
saat laga Crystal Palace (1) VS Chelsea (0) dimana tulisan ini mulai
saya pikirkan. Dan bukan semua ini yang sedang ingin saya tulis.
Yang
ingin sekali saya tulis adalah sebuah pertanyaan "kemanusiaan atau
humanisme yang seperti apa yang sesuai dengan Indonesia?" Jadi perlu
juga untuk menarik perhatian lebih kebelakang, pada masa awal kemunculan
'humanisme' dan tidak mungkin untuk menulis sejarahnya secara
panjang-lebar, cukuplah disadari bahwa kemunculan humanisme atau
kemanusiaan ini sebenarnya muncul saat manusia itu ada. Tidak akan ada
kemanusiaan tanpa ada manusianya, ya kan?
Sebagaimana
yang pernah terjadi di Eropa saat berakhirnya jaman yang konon katanya
"jaman kegelapan" atau sering dikenal dengan istilah 'aufklarung'~jaman
kegelapan diganti dengan pencerahan oleh gerakan aufklarung, dari sini
pula istilah 'humanisme' jadi populer. Aufklarung menempatkan akal-budi
sebagai instrumen pengetahuan paling penting (rasional) membebaskan
manusia dari doktrin-doktrin untuk memunculkan apa yang disebut
eksistensi manusia. Waduh, kok malah melebar... intinya, pada masa ini
pula pengetahuan mulai terpisah dari ikatan religi.
Lebih-lebih
ketika muncul pernyataan dari seorang humanis yang revolusioner, Karl
Marx. Marx dalam pernyataannya menempatkan agama sebagai penghambat
kemanusiaan, tentunya dengan melihat kerangka cita-cita sosialismenya
yaitu melenyapkan sekat-sekat kelas yang subordinatif, nah dalam
persoalan ini Marx mengatakan bahwa "agama adalah candu" yang
meninabobokkan manusia dari ketertindasannya.
Sebenarnya
pernyataan Marx ini adalah bentuk kritik terhadap tesis Feuerbach yang
menempatkan Tuhan sebagai proyeksi manusia yang berarti agama bagi
Feurbach adalah keterasingan manusia. Bagi Marx, Feuerbach melewatkan
satu persoalan "kenapa manusia mengasingkan diri kedalam agama?" Yang
kemudian dijawab sekaligus dijelaskan sendiri oleh Marx: agama adalah
pelarian dari realitas, sebab situasi masyarakatnya tidak mengijinkan
manusia merealisasikan kemanusiaannya secara sungguh-sungguh,
sederhananya: manusia tidak tidak dapat mengembangkan diri secara bebas
akibat ditindas oleh sistem masyarakat, larilah dia ke agama dengan
mengupayakan diri sebagai seorang 'petapa'. Dan kesimpulan dari Marx
bahwa yang merusak kemanusiaan itu adalah apa yang disebut 'hak milik
pribadi'
Atau mudahnya saya katakan saja kalau yang
merusak kemanusiaan itu adalah 'kerakusan' manusia itu sendiri, beres.
Perang, korupsi, manipulasi, pembunuhan, perampokan dan bentuk kejahatan
dan kekerasan lainnya adalah berawal dari kerakusan.
Tentang
"kemanusiaan yang bagaimana yang sesuai dengan Indonesia?" Tentunya
adalah kemanusiaan yang sesuai dengan panca sila, yaitu kemanusiaan yang
juga berkeTuhanan.
Perlu juga kiranya untuk kembali
dipelajari mengenai aliran dalam ilmu kalam, dengan apa yang disebut
dalam Islam "Qadariyah" dan "Jabariyah" yang pada dasarnya adalah
berakar dari perbedaan pendapat dari kalangan ulama dalam memahami
ayat-ayat Al Quran. Aliran Qadariyah adalah pendapat yang menyatakan
bahwa manusia mempunyai kebebasan dan
kekuatan sendiri untuk mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Sedangkan
Jabariyah berpendapat bahwa manusia tidak mempunyai kebebasan dan
kehendak dalam menentukan perbuatannya, saya tidak akan menulis tentang
pertentangan dua aliran ini, saya hanya ingin cari-cari kemusiaan yang
cocok buat Indonesia.
Sekali lagi kemanusiaan itu tidak
boleh lepas dari religi alias manusia itu tidak mungkin terlepas dari
pengawasan Tuhan, manusia itu otonom tapi dalam kebebasannya di dunia
sebenarnya adalah upayanya dalam membangun kehidupannya yang abadi,
yaitu janji Tuhan akan surga dan neraka.
Cukuplah kemanusiaan yang "bagaimana" itu
adalah sebagaimana telah disebutkan dalam panca sila "kemanusiaan yang
adil dan beradab" yaitu menyadari diri sebagai seorang manusia yang
sekaligus menyadari hidup diantara manusia-manusia yang lain, bersikap
adil yaitu sebagaimana pernyataan Pramoedya Ananta Toer "adillah sejak
dari pikiran": jika kau merasa sakit saat dipukul maka jangan memukul
atau janganlah menyakiti manusia yang lain untuk mencapai kemanusiaan
yang beradab, yaitu manusia yang menyadari kemanusiaannya; berkembang
dan tetap berTuhan.