Pramoedya Ananta Toer

"kau pribumi terpelajar! Kalau mereka itu, pribumi itu, tidak terpelajar, kau harus bikin mereka jadi terpelajar. Kau harus, harus, harus bicara pada mereka, dengan bahasa yang mereka tahu"

Sabtu, 29 Oktober 2016

Kekejaman yang tumbuh dari ketakutan-ketakutan

Waktu bangsa ini menolak komunis, yang berkembang dimasyarakat adalah bahwa komunis itu atheis (bahkan diartikan sebagai 'anti agama') ini efek dari provokasi yang terus menerus. Tidak hanya itu, masyarakat dikaburkan dengan pernyataan bahwa komunis ingin mengganti ideologi pancasila dengan ideologi komunis dengan cara kudeta

Padahal, komunis itu ideologi dan atheis itu ada pada permasalahan 'theologi'... artinya artheis bisa ada didalam masyarakat berideologi apapun. Bahkan jika ada negara yang berdasarkan agamapun tidak akan ada yang bisa menebak "siapa yang atheis?" 

Pun yang kudeta waktu itu bukan komunis, ingat PKI itu partai yang mau mencantumkan pancasila sebagai asas partai, yang kudeta pada tahun 1948 itu Muso dengan memanfaatkan situasi akibat Re-Ra TNI, pada 1965 yang kudeta Aidit dan Soeheuheu (takut diciduk ), jika pendapat saya akan hal ini salah maka mohon dikoreksi

Secara umum masyarakat menolak komunis sebenarnya juga karena ndak mau kalau hidupnya di'restart' jadi miskin semua . makanya para borjuis, tuan tanah dan para penguasa-penguasa yang kebanyakan juga orang yang dimabuk gelar 'kyai' (bukan kyai asli, hanya sebutan) mati-matian memerangi PKI. Jangan karena saya menulis ini maka saya dianggap kuminyis anti Islam, antek Si A antek asing aseng, liberal

Ingat, maksudnya Karl Marx menulis "agama adalah candu" yaitu ketika para penguasa memanfaatkan agama untuk memberikan harapan palsu bagi kelas buruh, bahkan saya beberapa hari ini menemui fakta-fakta teori ini dengan bagaimana agama diletakkan sebagai barang taruhan diatas meja judi: politik

Maafkan jika pikiran saya ini salah, mengingat saya hanya orang bodoh bahkan dalam ilmu agama... sekali lagi maafkan saya...

Bahkan Lenin dalam tulisannya "Sosialisme dan agama" menyatakan bahwa "Agama harus dinyatakan sebagai urusan pribadi." Tapi memang pernyataan Lenin ini diikuti dengan pemikirannya tentang negara atheis, jadi untuk amannya saya tidak menggunakannya



Nah, hal perihal tentang PKI adalah atheis yang haus darah ini terus diperdengarkan hingga terjadi pembantaian terhadap simpatisan PKI dan orang orang yang dituduh sebagai simpatisan PKI. Karena ketakutan-ketakutan yang ditanam hingga melahirkan ketakutan selanjutnya

karena provokasi yang terus menerus yang menimbulkan ketakutan yang berlebihan hingga orang bisa membunuh dengan sangat kejam, ingat bukan karena dia jahat, tapi karena provokasi yang terus menerus hingga menimbulkan ketakutan yang berlebihan

ketakutan yang akan membuat kita saling curiga mencurigai, saling mengintai satu sama lain... kawan, perang itu ndak enak, menang atau kalah yang namanya perang itu ndak enak, apalagi sampai perang saudara...

Menghindarkan Pendidikan dari Kekerasan

Lebih baik mengajak untuk mengenal aturan daripada memaksa untuk tunduk-patuh. Memaksa untuk tunduk-patuh prosesnya selalu kekerasan, bisa kekerasan fisik bisa kekerasan verbal, ini harus dihindari sebab memanusiakan manusia jauh lebih penting daripada 'merobotkan'~mengasingkan manusia terhadap kemanusiaannya

Jadi bukan masalah ada HAM atau tidak, mengajak untuk mengenal "bagaimana" manusia yang beradab itu tidak melanggar HAM pun juga tidak melanggar ketentuan beragama. Sebaliknya, mengasingkan manusia terhadap kemanusiaannya adalah pelanggaran berat

Kesadaran bahwa manusia itu makhluk unik dalam kehidupan sosialnya yang terus berubah, akan terus berubah. Ini lebih berperikemanusiaan daripada membuat orang perorang tunduk-patuh, ketertundukkan malah bukan sebuah kesadaran bahwa manusia itu makhluk unik yang berpikir tentu ini bukan hanya tugas orang tua dan guru, ini juga tugas masyarakat untuk mewujudkan lingkungan yang berperikemanusiaan
 
Dan bukankah HAM tercetus karena kemanusiaan terusik? Bangsa ini sudah menemukan rumusan HAMnya sendiri, HAM yang pelaksanaannya terbatas oleh aturan-aturan. Toh aturan-aturan itu juga untuk menjaga kesadaran manusia terhadap kemanusiaannya, menerabas aturan-aturan yang ada bisa berarti tindakan yang tidak berperikemanusiaan

Bahkan dalam hal ini gagasan-gagasan Paulo Freire yang sering dikatakan banyak orang tidak dapat dikembangkan dalam pendidikan kewarganegaraan dapat dibantah, sebab seharusnya dengan HAM ala Indonesia ini pendidikan kewarganegaraan bukan lagi doktrin-doktrin. Pendidikan kewarganegaraan bisa merupakan riset-riset

Sekali lagi mengajak untuk mengenal aturan-aturan itu lebih penting daripada memaksa untuk tunduk-patuh, sebab dengan membiasakan orang perorang dalam 'paksaan-paksaan' untuk tunduk bahkan dalam ketertundukkan sama halnya membiasakan orang perorang untuk melupakan kemanusiaannya. Kehilangan kemanusiaan adalah keberingasan. Salam

Jumat, 28 Oktober 2016

Mimpi Baik Tentang Suatu Bangsa

Pancasila itu ideologi, cita citanya bangsa Indonesia atawa bentuk ideal dari suatu bangsa yang diimpi-impikan. Ideal itu masih mimpi, tentunya mimpi yang baik. Mimpi baik atau cita cita baik memang belum tercapai tapi jangan diganggu saat orang punya niat baik.

Biarkan mimpi-mimpi yang baik tumbuh menjadi kenyataan, sekecil apapun impian itu, bahkan jika mimpi itu muncul dari minoritas. Sebab minoritas juga bisa bermimpi dan menggagas suatu kebaikan. Tidak ada jaminan mayoritas selalu menggagas dan bermimpi tentang kebaikan.

Kata kuncinya adalah kebenaran, kebenaran sulit diterima karena kesombongan. Kesombongan itu termasuk juga pengkhususan atawa sikap eksklusif dan fanatisme, fanatisme tidak hanya sekedar permasalahan 'cinta buta' tapi sering juga diikuti dengan sikap "anti-anti"an atawa antipati. Maka terimalah kebenaran dari siapapun, bahkan seorang pendosapun bisa jadi perantara bagi kebenaran. Kebenaran hanya milik Tuhan.
Tujuan baik harus dicapai dengan cara cara yang baik, bukan dengan segala cara, punya pimpinan seiman itu baik tapi lakukanlah dengan cara-cara yang baik... kerja dan dagang itu baik, tapi lakukanlah dengan cara-cara yang baik.

IPK tinggi, nilai rapor tinggi adalah baik, tapi apa guna jika didapat dengan cara-cara yang tidak baik?

Selasa, 26 Agustus 2014

Menyamboet Revolusi Mental

sebelum revolusi mental dilaksanakan, saya mau ngrusak mental dulu heuheuheu...

tidak ada yang tercipta sia-sia di dunia ini, Tuhan menciptakan segala sesuatunya agar bermanfaat. Nah kesia-siaan adalah anu... maksudnya ndak mungkin... hal perbuatan yang sia-sia adalah mengikuti petunjuk setan, sama dibenci oleh Tuhan sebagaimana juga pengkhianatan

kamu sekolah dari TK sampai setinggi-tingginya pasti memiliki manfaat, pasti ada perubahan... tadinya ndak bisa baca tulis akhirnya bisa baca tulis, sederhananya seperti itu, dan yang demikian itu adalah manfaat, bukan kesia-siaan

kamu lulus SMA/SMK pasti ada perubahan, lalu ada dua pilihan jadi sarjana atau cukup saja alam pengembaraan pendidikan formalnya... jika masuk perguruan tinggi maka pikirlah: apakah modal, tenaga dan waktumu nanti ndak sia-sia

pas jaman awal saya lulus sarjana, banyak orang memutuskan bersuara ditelinga saya bahwa standar gaji seorang sarjana apapun adalah minimal 2 jutaan... heuheuheu... kalau tidak maka perjalananmu adalah kesia-siaan

saya pikir pas itu, ada kemungkinan bahwa hal tersebut adalah kesadaran umumnya masyarakat hingga ketika Pramoedya Ananta Toer njewer telinga saya "Semakin tinggi sekolah bukan berarti semakin menghabiskan makanan orang lain. Harus semakin mengenal batas!" katanya

Minggu, 18 Mei 2014

Partikel-Partikel Revolusi (I)

Partikel dalam ilmu alam seperti fisika digunakan untuk menyebut sebuah satuan dasar dari benda atau energi, sedangkan dalam kimia dikenal istilah 'koloid' atau partikel koloid untuk menunjuk pada "fase" yaitu fase koloid dimana dalam fase ini tidak dapat terjadi pengendapan, koloid tidak terpengaruh oleh gaya apapun, termasuk gaya gravitasi.

Dalam berbahasa, dikenal istilah partikel gramatikal, sebuah partikel adalah sejenis kata yang tidak dikelompokkan ke dalam kelas kata gramatikal infleksi (seperti nomina, pronomina, verba, atau artikel). Partikel merupakan istilah untuk menaungi satu kelompok kata yang heterogen yang tidak memiliki definisi leksikal yang tepat. (wikipedia).

Dan dalam ekologi dikenal sebagai objek kecil bukan dari jenis "non biologis"... saya tidak tahu apakah partikel juga terdiri atas bentuk-bentuk terkecil atau yang lebih kecil lagi atau bagaimana? Saya hanya akan menggunakan istilah ini untuk mencoba menggambarkan susunan revolusi sosial.

Revolusi sebagai sebuah ledakan dahsyat yang "menjebol dan memperbaiki" bukanlah suatu aksi yang mandiri, dia dibangun atas susunan partikel-partikel yang (untuk beberapa ahli) dikatakan sebagai prasyarat, yaitu prasyarat revolusi. Partikel-partikel tersebut berwujud organisasi-organisasi massa dan aksi massa, Rossa Luxemburg menggambarkan aksi massa ini sebagai pemogokkan massa.

Bukan pemogokkan massa yang dilakukan oleh kaum anarkis yang berpandangan bahwa revolusi bisa dilakukan dengan senjata, yang seringnya membawa 'chaos' dan 'riot' dalam aksinya. Atau sebagaimana umumnya pandangan masyarakat kelas menengah yang berpakaian necis bahwa perubahan bisa dilakukan dengan "mendudukkan serigala dan domba dalam satu meja".

Permasalahan utamanya adalah tidak mungkin borjuis membiarkan proletar memiliki modal yang mapan, baik modal 'rupiah' maupun 'pendidikan' untuk proletar harus seminim mungkin. Sebenarnya saya ndak perlu membicarakan pertentangan kelas borjuis versus proletar ini, sebab semuanya sudah ditulis begitu lengkap dan gemilang oleh para pemikir-pemikir kita.

Disinilah ironinya, disatu sisi para pemikir yang populis menebarkan tulisan-tulisannya dalam bentuk buku dan artikel yang jumlahnya mungkin sudah lebih dari ribuan, termasuk juga dari para pemikir dalam negeri / anak bangsa sendiri, namun disisi lain yang lebih umum adalah pembodohan dan pengkerdilan (termasuk didalamnya adalah 'komersialisasi pendidikan') kita belum terlepas dari jebakan masyarakat berdasarkan kelas alias sama sekali belum merdeka.

Upaya yang dapat dilakukan adalah "menjebol dan memperbaiki"nya yaitu revolusi, tentu melalui tahapan-tahapan penting dalam membangun suatu ledakan yaitu menyusun partikel-partikelnya, terutama sekali membangun kesadaran berdaulat masyarakat.

Minggu, 30 Maret 2014

Humanisme

Humanisme atawa kemanusiaan oleh Poespoprodjo dan K. Bertens dikatakan sebagai dasarnya moral, dari rasa kemanusiaan inilah kualitas moral diukur. Tentang bagaimana suatu perbuatan dapat dikatakan manusiawi; sesuai dengan rasa kemanusiaan; atau sama sekali tidak berkenaan dengan manusia, dan bagaimana suatu perbuatan menyalahi atau tidak sesuai dengan rasa kemanusiaan. Seperti kasus pembunuhan antar manusia, yang sudah pasti baik secara kemanusiaan adalah tidak tepat alias menyalahi, baik membunuh manusia lain maupun kasus bunuh diri, bukan tentang "gol bunuh diri" sebagaimana yang dilakukan oleh Terry saat laga Crystal Palace (1) VS Chelsea (0) dimana tulisan ini mulai saya pikirkan. Dan bukan semua ini yang sedang ingin saya tulis.

Yang ingin sekali saya tulis adalah sebuah pertanyaan "kemanusiaan atau humanisme yang seperti apa yang sesuai dengan Indonesia?" Jadi perlu juga untuk menarik perhatian lebih kebelakang, pada masa awal kemunculan 'humanisme' dan tidak mungkin untuk menulis sejarahnya secara panjang-lebar, cukuplah disadari bahwa kemunculan humanisme atau kemanusiaan ini sebenarnya muncul saat manusia itu ada. Tidak akan ada kemanusiaan tanpa ada manusianya, ya kan?

Sebagaimana yang pernah terjadi di Eropa saat berakhirnya jaman yang konon katanya "jaman kegelapan" atau sering dikenal dengan istilah 'aufklarung'~jaman kegelapan diganti dengan pencerahan oleh gerakan aufklarung, dari sini pula istilah 'humanisme' jadi populer. Aufklarung menempatkan akal-budi sebagai instrumen pengetahuan paling penting (rasional) membebaskan manusia dari doktrin-doktrin untuk memunculkan apa yang disebut eksistensi manusia. Waduh, kok malah melebar... intinya, pada masa ini pula pengetahuan mulai terpisah dari ikatan religi.

Lebih-lebih ketika muncul pernyataan dari seorang humanis yang revolusioner, Karl Marx. Marx dalam pernyataannya menempatkan agama sebagai penghambat kemanusiaan, tentunya dengan melihat kerangka cita-cita sosialismenya yaitu melenyapkan sekat-sekat kelas yang subordinatif, nah dalam persoalan ini Marx mengatakan bahwa "agama adalah candu" yang meninabobokkan manusia dari ketertindasannya.

Sebenarnya pernyataan Marx ini adalah bentuk kritik terhadap tesis Feuerbach yang menempatkan Tuhan sebagai proyeksi manusia yang berarti agama bagi Feurbach adalah keterasingan manusia. Bagi Marx, Feuerbach melewatkan satu persoalan "kenapa manusia mengasingkan diri kedalam agama?" Yang kemudian dijawab sekaligus dijelaskan sendiri oleh Marx: agama adalah pelarian dari realitas, sebab situasi masyarakatnya tidak mengijinkan manusia merealisasikan kemanusiaannya secara sungguh-sungguh, sederhananya: manusia tidak tidak dapat mengembangkan diri secara bebas akibat ditindas oleh sistem masyarakat, larilah dia ke agama dengan mengupayakan diri sebagai seorang 'petapa'. Dan kesimpulan dari Marx bahwa yang merusak kemanusiaan itu adalah apa yang disebut 'hak milik pribadi'

Atau mudahnya saya katakan saja kalau yang merusak kemanusiaan itu adalah 'kerakusan' manusia itu sendiri, beres. Perang, korupsi, manipulasi, pembunuhan, perampokan dan bentuk kejahatan dan kekerasan lainnya adalah berawal dari kerakusan.

Tentang "kemanusiaan yang bagaimana yang sesuai dengan Indonesia?" Tentunya adalah kemanusiaan yang sesuai dengan panca sila, yaitu kemanusiaan yang juga berkeTuhanan.

Perlu juga kiranya untuk kembali dipelajari mengenai aliran dalam ilmu kalam, dengan apa yang disebut dalam Islam "Qadariyah" dan "Jabariyah" yang pada dasarnya adalah berakar dari perbedaan pendapat dari kalangan ulama dalam memahami ayat-ayat Al Quran. Aliran Qadariyah adalah pendapat yang menyatakan bahwa manusia mempunyai kebebasan dan kekuatan sendiri untuk mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Sedangkan Jabariyah berpendapat bahwa manusia tidak mempunyai kebebasan dan kehendak dalam menentukan perbuatannya, saya tidak akan menulis tentang pertentangan dua aliran ini, saya hanya ingin cari-cari kemusiaan yang cocok buat Indonesia.

Sekali lagi kemanusiaan itu tidak boleh lepas dari religi alias manusia itu tidak mungkin terlepas dari pengawasan Tuhan, manusia itu otonom tapi dalam kebebasannya di dunia sebenarnya adalah upayanya dalam membangun kehidupannya yang abadi, yaitu janji Tuhan akan surga dan neraka.

Cukuplah kemanusiaan yang "bagaimana" itu adalah sebagaimana telah disebutkan dalam panca sila "kemanusiaan yang adil dan beradab" yaitu menyadari diri sebagai seorang manusia yang sekaligus menyadari hidup diantara manusia-manusia yang lain, bersikap adil yaitu sebagaimana pernyataan Pramoedya Ananta Toer "adillah sejak dari pikiran": jika kau merasa sakit saat dipukul maka jangan memukul atau janganlah menyakiti manusia yang lain untuk mencapai kemanusiaan yang beradab, yaitu manusia yang menyadari kemanusiaannya; berkembang dan tetap berTuhan.

Kamis, 06 Februari 2014

Disiplin sebagai keterampilan sosial

Kedisiplinan, tema penting yang terus dibicarakan berulang-ulang, seakan tidak menemukan rumusan terbaik untuk menjawab segenap persoalan terkait kedisiplinan. Ini merupakan modal penting, kedisiplinan adalah modal sosial dan dari kedisiplinanlah masyarakat dapat menempatkan kepercayaan.

Menemui seorang pedagang yang tidak disiplin, dimana ia seringkali menipu para pembelinya adalah hal yang tidak menyenangkan, pedagang apapun, dan kali ini saya temui seorang pedagang batu yang entah mengapa ia menjamin "keaslian" pada potongan kaca yang dipoles menyerupai batu amatis. Pun sering juga menemui perilaku sejenis dalam situasi jual-beli dalam bentuk apapun.

ketidak pedulian terhadap lingkungan sosial, atau bahkan kekebalan terhadap sanksi sosial adalah bentuk hilangnya tanggung jawab. Saya teringat film Tarzan, seorang manusia yang terbuang dari peradaban, bertahan seorang diri ditengah hutan belantara. Dalam kisahnya, Tarzan mampu beradaptasi tanpa merusak lingkungannya, dari sini saya berpikir bahwa Tarzan ini mampu beradaptasi dengan memberi batasan terhadap dirinya sendiri, mau dan mampu mengatur dirinya sendiri. Apa jadinya jika Tarzan tidak mau mengatur dirinya sendiri, serakah sebagaimana umumnya manusia saat ini? Mungkin saja ia akan makan gajah, singa, gorila dan dia bantai monyet lalu membakar hutan. Rusak sudah lingkungan.

Sama seperti seorang siswa/pelajar, dikemudian hari ia akan kembali kepada masyarakat, hidup dilingkungan masyarakat, pertanyaannya kemudian mampukah ia beradaptasi dengan lingkungan? Jika tidak, maka sebagaimana Tarzan apabila tidak mau dan tidak mampu beradaptasi dengan lingkungan, jadilah dia perusak lingkungan sosial. Dari narkoba, prostitusi hingga perilaku anti sosial lainnya.

Kesemuanya itu terkait dengan kemauan dan kemampuan untuk mengendalikan diri, mendisiplinkan diri tentunya. Tentu juga perlu untuk dilatih, dibiasakan.

Tingginya nilai akademik tidak akan bermanfaat tanpa diimbangi dengan kedisiplinan (kemauan dan kemampuan untuk mengendalikan diri) sebab inilah keterampilan sosial, dalam kehidupan bermasyarakat sangat dibutuhkan keterampilan sosial daripada angka-angka yang mentereng didalam buku rapor.

Sebagaimana saya katakan kepada para pelajar SMP tiap kali mengawali pertemuan "melatih kedisiplinan itu sebenarnya mudah, kedisiplinan itu terkait dengan meletakkan atau menempatkan segala sesuatunya, termasuk menempatkan diri sendiri dengan tepat dan benar"

Kemudian saya lakukan simulasi dengan menggunakan dasi/topi, meletakkan topi/dasi disaku adalah tidak tepat dan tidak benar, kemudian meletakkan dasi/topi dipundak juga tidak tepat dan tidak benar. mengikatkan dasi dikepala sungguh sangat keterlaluan. Dasi letaknya dileher tapi belum tentu benar sebagaimana topi yang letaknya dikepala, jika topi diletakkan dikepala tapi dengan posisi miring atau terbalik adalah belum benar, maka moncong topi harus berada mengarah kedepan, itu baru tepat dan benar.

Nah, bagaimana dengan menempatkan diri dengan tepat dan benar, mudah tapi butuh kesadaran diri yang cukup tinggi, berangkat sekolah dan berseragam tapi duduk diwarung kopi atau warung internet adalah tidak tepat dan tidak benar, berseragam lalu masuk kesekolah tapi nongkrong di kantin pas jam pelajaran adalah belum benar. Jadi tepat dan benar jika pelajar berseragam ada di kelas mengikuti pelajaran pas jam pelajaran.

Gurunya pun juga kudu begitu, bukannya nongkrong-ngobrol sekedar menambah durasi jam kosong yang sebenarnya memberi peluang bagi pelajar untuk mengembangkan sikap anti sosialnya, sebab pelajar ini juga punya tipikal untuk selalu bereksperimen, kenakalan-kenakalan dari yang wajar hingga yang kurang ajar seringkali diawali dari obrolan senggang sekedar untuk mengisi waktu luang. Bukankah pelajar juga lebih suka memperhatikan daripada menghafal? Maka guru jangan sampai anti sosial.

Ya ini tulisan hanya sekedar tulisan, niat hati ingin berbagi pengalaman dan pengetahuan, bila bermanfaat atau bahkan solusi dalam memecah kebuntuan ya saya sangat bersyukur, jikapun malah bikin marah atau dongkol orang ya saya mohonkan maaf, toh semua ini hanyalah untuk menemukan Indonesia... Indonesia yang sedang kita cari... salam merdeka.