Pramoedya Ananta Toer

"kau pribumi terpelajar! Kalau mereka itu, pribumi itu, tidak terpelajar, kau harus bikin mereka jadi terpelajar. Kau harus, harus, harus bicara pada mereka, dengan bahasa yang mereka tahu"

Minggu, 31 Maret 2013

Dari RUU KUHAP ke perdebatan moral

Akhirnya bisa juga membuka dasbor blogger setelah beberapa minggu tidak dapat sinyal secara memadai, rencana untuk mencapai target sehari satu judul sudah tidak dapat dilanjutkan lagi. Tidak mengapa, terus saja menulis.

Masih ingat betul jalannya perdebatan di ILC mengenai RUU KUHAP, disana diatur juga mengenai penyadapan, zina dan santet. Tentang penyadapan sebenarnya itu penting dan sudah seharusnya jadi kewenangan tiap-tiap lembaga pemerintahan, terlepas dari setuju atau tidaknya. Lalu mengenai santet, kalau tidak salah yang diatur adalah permasalahan penawaran jasa dan barang mistik, tapi bukankah ini nantinya akan memunculkan permasalahan yang baru, yaitu fitnah.

Yang saya ingat betul adalah pendapatnya Ayu Azhari dalam acara tersebut, selain karena gerik-tingkahnya ketika didepan kamera yang selalu bikin saya terpesona, dari pendapatnya saya menemukan muasal keruwetan nilai moral, pendapatnya ini menggambarkan pola berpikir masyarakat Indonesia kekinian. Seingat saya Ayu Azhari mengatakan bahwa "hukum undang-undang harusnya berbeda dengan hukum moral" kurang lebihnya seperti itu, dan sampai hari ini saya belum menemukan pengertian dari "hukum moral" yang dimaksud.

Bagi saya segala peraturan perundang-undangan yang ada adalah aktualisasi dari nilai moral yang disepakati, maksud dari "telah disepakati" ini adalah nilai moral yang telah dinyatakan perlu untuk diberlakukan secara umum yaitu nilai-nilai yang merupakan bentuk penyempurnaan dari nilai-nilai sebelumnya untuk mencapai kesempurnaan yaitu kemanusiaan.

Membangun moralitas bukanlah suatu hal yang dapat dilakukan secara instan, seperti mengikuti kursus atau semacamnya, mungkin bisa tapi hanya sebatas pada sopan atau tidak, atau pantas dan tidak pantas.

Misalnya ketika mengikuti kursus bahasa/berbahasa, tentunya tidak sekedar belajar penerjemahan dan pemahaman semata, tapi ada kemungkinan juga mempelajari estetika dan norma sosial yang berlaku dalam masyarakat pemilik bahasa yang sedang dipelajari.

Jangan bercakap-cakap terlalu lama dengan orang Jepang atau orang Amerika karena percuma, sebaliknya jangan terlalu singkat bercakap-cakap dengan orang Arab karena bisa dianggap tidak sopan. Kesopanan berbeda tapi tidak dengan moral, sebab moral memiliki dasar kemanusiaan. Kemanusiaan akan sama dimanapun dan kapanpun.

Permasalahan moral dibangun selama berabad-abad dan mengalami kehancuran berkali-kali, dengan kata lain selama ini manusia mencari kemanusiaannya yang sepertinya selalu masih kurang, meskipun sebenarnya yang kurang itu bukanlah kemanusiaannya tapi kenyamanan orang terhadap kemanusiaan. Sebagaimana pandangan Hobbes lewat "state of nature" dimana manusia (secara individual) pada dasarnya punya sifat egois, negara ada untuk membatasi egoisme itu yaitu dengan memberi batasan hak, tapi karena manusia pada dasarnya tamak dan cenderung menyukai kebebasan daripada keterkekangan maka sepanjang sejarahnya ia akan selalu mencoba mencari peluang bagi kebebasannya, dari sinilah moral yang memiliki dasar kemanusiaan tersebut selalu dibangun dan selalu menemui kehancurannya.

Termasuk dalam hal RUU KUHAP ini, orang sepertinya tidak nyaman dengan kemanusiaannya hingga harus menemui perdebatan yang tidak ada ujung pangkalnya. Apakah zinah seperti "kumpul kebo" dapat diterima sebagian masyarakat dan sebagian tidak? Apakah nikah siri yang pada awal kemunculannya untuk mencegah perzinahan dan dalam perkembangannya malah jadi sarana kebebasan menyimpang ini menjadi tanggung jawab negara atau hanya "stop" sebagai wacana dalam masyarakat? Kita akan selalu membicarakan moral untuk mewujudkan universalisme moral, penyempurnaan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat, mengambil yang bermanfaat, mempertahankan yang baik dan meninggalkan yang buruk.

Saya sangat menyayangkan dalam RUU KUHAP ini tidak menyertakan sanksi bagi pengacara yang tidak mau menangani kasus yang dihadapi oleh masyarakat yang tidak mampu, sebab masyarakat mampu ataupun tidak mampu adalah manusia juga.

Senin, 11 Maret 2013

Membangun etika-estetika untuk bangsa yang beradab

Saya tidak begitu mengerti, sebagaimana kebanyakan orang yang tidak akan mengerti ketika mendapati realita Indonesia, mungkin karena alasan inilah kurikulum pendidikan Indonesia mengalami revolusi, berubah dalam waktu yang singkat, kini masyarakat pendidikan sedang bersiap-siap menggerakkan kurikulum baru yang populer dengan istilah kurikulum 2013.

Tanpa perlu turut tenggelam dalam perdebatan, berlakunya kurikulum 2013 tidak perlu dibahas, dari kemarin saya mencoba cari buku induknya, sepertinya tidak banyak berubah sekedar "style"nya guru saja yang sedang diintervensi. Jadi tidak perlu dibahas. Lebih penting bagi saya untuk membahas harapan saya yang ternyata "luput" dari kurikulum 2013 tersebut, kepekaan dan kepedulian sosial, terkait dengan pembangunan etika-estetika untuk mewujudkan masyarakat pancasila.

Hari ini, kita sadari~sebagaimana kabar-kabar yang terselip dengan durasi sedikit mengenai "darurat moral" seperti juga yang dimuat oleh harian Kompas (Sabtu, 9/3/2013) dengan judul "Bangsa Alami Disorientasi" meskipun yang dibahas juga masih bagian terkecilnya, belum pada akar. Langsung saja, melemahnya kepekaan dan kepedulian sosial adalah peluang bagi berbagai kecurangan dan kejahatan, dengan kondisi dimana kepekaan dan kepedulian sosial yang melemah tentunya sanksi sosial juga turut melemah, jika sanksi sosial melemah jangan harap peraturan-peraturan dan kode etik dapat berfunsi dengan baik, bahkan dapat sama sekali tidak berfungsi.

Sebagaimana kita tidak akan memerlukan lembaga-lembaga semacam Komnas HAM dan KPK jikalau sanksi sosial berlaku, masalahnya adalah kepekaan dan kepedulian sosial saat ini sedang tidak ada dan sanksi sosial adalah bahan tertawaan, jadinya pola pikir dan tingkah laku anarki yang tidak peduli dengan aturan-aturan; tidak peduli ada penyimpangan dalam lingkungannya, bahkan mudah melakukan penyimpangan sebab yakin tidak akan terhalang oleh sanksi sosial apalagi aturan-aturan.

Media massa yang digadang-gadang sebagai pengawas juga baru angkat bicara ketika kondisi sudah serba terlanjur, contohnya saja mengenai kasus penelantaran pasien miskin, media mengangkat hal ini ketika diketahui ada tewasnya penderita penyakit akibat ditolak beberapa rumah sakit. Pemberitaannya sangat gencar. Begitupun dengan kasus-kasus asusila yang kian hari kian merebak, bahkan kini kasus ini juga telah menempatkan anak-anak bukan sebagai korban saja, tapi juga sebagai pelaku. Semua yang sudah serba terlanjurlah yang diangkat media massa sebagai bahan obrolan pengisi waktu senggang.

Belum pernah sekalipun ada liputan dan laporan tentang maraknya "jam kosong" disekolah-sekolah yang sebenarnya berkaitan dengan kode etik guru, ataupun mengenai hal-hal lain yang dapat menjadi pemicu hancurnya sanksi sosial. Maka, dari sini peran masyarakat dan khususnya individu dalam masyarakat adalah penting sebagai pengawas lingkungannya, tentunya dengan membangun kesadaran kolektif yang bukan hasil dari upaya hegemonik (dominasi dari kelompok penindas).

Mungkin (dengan lebih sakarstic) melemahnya kepekaan dan kepedulian sosial adalah kecenderungan "westernisasi" atau bertingkah kebarat-baratan, awalnya hanya "style"nya yang ditiru, selanjutnya mengikuti pola pikir barat yang liberal, bahkan pola pikir inipun cenderung dimodifikasi dan menjadi "semaunya sendiri". Dalam hal ini diharapkan pengetahuan agama dapat menjadi benteng akhlak, tapi hanya sekedar harapan, agama sendiri ternyata tidak mampu menjadi "rem" bagi masyarakat yang memang cenderung dinamis, ibarat mobil balap, masyarakat meluncur deras menuju kondisi "liberalisme-anarkistis".

Padahal~sebagaimana pandangan Emile Durkheim tentang agama~ "bangsa timur" seperti Indonesia dalam memahami agama tidak seperti orang barat, agama bagi bangsa timur bukan hanya sekedar sistem gagasan, tapi kekuatan terutama sekali kekuatan moral. Setiap agama memiliki ruang yang suci dan kotor, batas antara kotor dan suci ini menimbulkan etika sosial dalam masyarakat yang menghasilkan sanksi-sanksi. Agama dinilai sebagai kaidah tertinggi di dalam masyarakat.

Tentunya kegagalan ini tidaklah harus dibebankan kepada agama, hal ini adalah kegagalan kita dalam menerjemahkan dan memahami pesan-pesan agama yang sebenarnya cukup tegas dan sederhana tersebut. Akhirnya, peradaban suatu bangsa merupakan bangunan moral. Salam.

Jumat, 08 Maret 2013

Marah ketika disebut bangsa bar-bar, maka perbaiki pola pikir dan tingkah lakumu

Sinyal modem akhir-akhir ini kacau, sulit untuk sekedar membuka blog jandinya kemarin hanya menyimak pertengkaran dua suporter satu Provinsi, Aremania VS Bonek, padahal yang sedang bertanding adalah Arema VS Gresik Utd. dikandang Gresik dengan kemenangan 1-2 untuk Arema.

Banyak versi tentang kejadian ini, dan yang pasti dalam setiap perdebatan adalah menyalahkan satu sama lain. Ada yang bilang dalam perjalanan menuju Gresik Aremania sudah diserang oleh kelompok Bonek, ada juga yang bilang dalam perjalanan Aremania melakukan perusakan dan versi ini muncul dari media massa yang sepertinya mengupayakan terbentuknya arus utama pola pikir masyarakat. Ada juga yang mengatakan bahwa ada seorang penonton yang hanya karena menggunakan baju Bonek dikroyok hingga tewas oleh Aremania saat pertandingan Arema VS GU, lalu juga dengan hal yang serupa yang katanya terjadi di Stadion Gajayana sewaktu pertandingan antara Persema VS Persebaya (sehari sebelum Arema VS GU).

Saya jadi ingat beberapa kejadian sekitaran tahun 2001 di Sidoarjo, Stadion Gelora Delta Sidoarjo, waktu itu Aremania hadir dan mendominasi tribun penonton, mereka datang dengan kendaraan bermotor, belum lama pertandingan berlangsung dari luar stadion datang batu sebesar kepalan tangan, beberapa orang yang ada diatas kemudian teriak memberitahukan bahwa kendaraan-kendaraan yang sedang diparkir diluar dihancurkan oleh Bonek, saya juga lihat dan ternyata benar beberapa orang berkaus Bonek sedang asyik memecahkan kaca-kaca kendaraan Aremania. Terjadilah kerusuhan, pertandingan dihentikan dan Aremania pulang, sepanjang perjalanan pulang (dengan berjalan kaki untuk melindungi kendaraan yang diposisikan ditengah) banyak terdapat gangguan dari kelompok Bonek yang memicu pertempuran-pertempuran kecil sepanjang jalan.

Pernah terjadi juga disekitaran tahun 2008 di Stadion Brawijaya-Kediri, bukan dengan Bonek atau dengan Suporter Persik-Kediri, tapi dengan wasit, panpel dan masyarakat Kediri. Sepanjang pertandingan Aremania tidak saja disajikan permainan keras antara Arema VS Persipura, tapi juga permainan wasit dan hakim garis, puncak kejengkelan adalah kemarahan dengan penyerangan seorang suporter terhadap seorang hakim garis. Kabarnya hal ini terkait dengan isu SMS dari oknum pesepakbolaan nasional yang mengatakan bahwa Arema harus kalah, hal ini juga mengingat waktu itu sponsor yang melekat di kostum Arema juga merupakan saingan sponsor liga. Tidak berselang lama, Stadion Brawijaya Kediri menjadi tungku api. Dalam perjalanan pulang Aremania juga terlibat pertempuran dengan masyarakat Kediri, memang ada pengawalan dari Polwil untuk iring-iringan Aremania ini tapi masyarakat Kediri sendiri ternyata nekat menyerang. Saya cukup kenal dengan polisi pengawalnya, dulu waktu masih jadi wartawan saya sering ketemu dan ngopi bareng sama beliau. Dalam iring-iringan tersebut, polisi pengawal ada didepan, dengan sangat bertanggung jawab pengawal ini selalu mengkonfirmasikan keamanan jalur-jalur yang akan dilalui~termasuk menanyakannya pada warga Kediri yang sedang bergerombol ditiap gang. Tidak lama, bapak polisi pengawal yang tadinya merasa aman-aman saja malah mendapat laporan penyerangan terhadap Aremania di barisan belakang, pecahlah pertempuran.

Kabar terakhir dari kejadian antara Bonek VS Aremania ternyata sudah dimulai ketika Aremania melintasi tol Sidoarjo, bis Aremania diserang kelompok Bonek dan sempat membalas dengan membakar motor milik penyerang, berlanjut seusai pertandingan dimana Bonek ternyata menunggu Aremania disekitaran 6 KM arah Waru, dalam kabar berita ini saya juga sempatkan membaca komentar-komentarnya, kesan bangga terhadap pembunuhan-pembunuhan sangat terlihat disini, kabarnya Bonek tewas seorang lalu diikuti komentar Aremania tewas dua orang, dan saya berpikir inikah kita? Masyarakat Indonesia yang bangga dengan dosa-dosa. Tapi inilah kita, upaya saling bunuh tidak saja ada dalam kancah perang suporter sepak bola, kita boleh bangga dengan pancasila dan semboyan "Bhineka tunggal ika", hanya bangga dan tidak terlaksana dalam keseharian kita.

Sekali lagi, kita akan dapat dengan mudah menemukan upaya-upaya untuk saling bunuh dalam masyarakat kita. Ada dua kutipan Niezsche yang selalu menarik bagi saya sebab menurut saya adalah sangat cocok untuk menggambarkan manusia Indonesia kekinian. "Dimana ada makhluk hidup, di situ ditemukan kehendak untuk kuasa. Bahkan dalam abdi ditemukan kehendak menjadi tuan" demikian pandangan Netzsche yang saya ambil dari karyanya, Zarathustra, senantiasa orang sekarang berlomba dalam suatu kompetisi untuk menaklukkan satu sama lain, dominan adalah kemenangan meskipun harus dengan saling bunuh-bunuhan. "Curigailah terhadap semua yang di dalam dirinya terdapat keinginan kuat untuk menghukum!" Dimana saya sadari hari ini, kebenaran dalam alam pikir manusia kekinian adalah berangkat dari egoisme, bahkan kebenaran ini selalu menjadi perlu untuk dipaksakan meskipun harus memanipulasi Tuhan.

Fanatisme buta, tindakan dan pola pikir yang berlebihan mengagungkan satu hal yang tidak pantas untuk diagungkan adalah kebodohan yang sengaja dipelihara oleh mereka yang sedang menikmati kenyamanan kekuasaan, tentu dengan menyembunyikan kecurangan-kecurangan tanpa peduli dengan janji Tuhan. Pertempuran suporter bagi saya adalah salah satu hal yang memang sedang dipertahankan karena ada nilai jualnya.

Rabu, 06 Maret 2013

Pancasila dalam perdebatan

Demokrasi adalah tatanan suatu masyarakat yang didambakan terwujud dalam sebuah negara, seluruh negara, tak terkecuali Indonesia. Pun di negeri ini demokrasi masih menemukan bentuk penyempurnaannya dalam demokrasi pancasila yang hingga saat ini masih saja dalam upaya perumusan belum pada proses sosialisasi. Dalam hal ini seharusnya sudah mulai untuk disadari bahwa pelaksanaan demokrasi yang didasarkan pada liberalisme adalah mengarah pada anarkisme.

Demokrasi liberal hanya mengurusi kehidupan politik, kehidupan diluar politik adalah urusan individu yang berdasarkan pada kebebasan individu. Dari sinilah anarkisme berawal, apalagi yang terjadi di Indonesia adalah demokrasi sebagai suatu bentuk peradaban tinggi dilaksanakan oleh masyarakat yang berperadaban rendah (rendahnya peradaban ini bukan merupakan warisan sejarah, kita sebagai suatu masyarakat pernah mencapai peradaban tinggi pada jaman-jaman kerajaan, dan sebagai suatu bangsa kita pernah mengulanginya dengan keberhasilan merumuskan konsep pancasila, hanya saja dalam perkembangannya kita enggan untuk melaksanakan peradaban ini).

Keengganan melaksanakan konsep pancasila akan dapat ditemui dalam masyarakat Indonesia saat ini yang cenderung berorientasi pada kebebasan hedonistik (menurut saya). Tidak hanya dalam kehidupan masyarakat, tapi juga diperlihatkan (secara terang-terangan) dalam bernegara oleh beberapa kalangan politisi kita dan organisasi-organisasi yang ada.

Sebagaimana yang saya saksikan lewat tayangan di Metro TV, Indonesia Bersuara kemarin, selasa tanggal 5 Maret 2013 sekitar pukul 21.00 mengenai UU Ormas, dua partai Islam kemarin dipertemukan dalam suatu debat, PKB dan PKS. Sepertinya PKS cenderung tidak sepakat dengan UU tersebut karena sepertinya keberatan untuk mencantumkan pancasila dalam asas organisasi, sebaliknya PKB menyatakan hal tersebut wajib-mencantumkan pancasila sebagai asas organisasi, termasuk parpol. Kedua partai ini pada dasarnya sama-sama sepakat bahwa pancasila adalah kesepakatan berbangsa yang sifatnya final, tapi PKS lebih berpendirian untuk tidak mencantumkan pancasila dalam asas organisasi dengan alasan jika hal tersebut diberlakukan maka nantinya akan menjadi kesulitan tersendiri sebagaimana contoh yang dikedepankan oleh PKS tentang organisasi "pecinta perkutut" (alasan klasik menurut saya, dan pandangan seperti ini kesannya malah mau mensakralkan pancasila).

PKB mendebat hal tersebut lantaran ada ketentuan dalam UU ORMAS tersebut tidak hanya mencantumkan pancasila sebagai asas tunggal, masih ada ketentuan lain yang mengatakan boleh mencantumkan asas lain sebagai latar belakang organisasi yang ada. Kelanjutan perdebatan tidak perlu di tulis, pikiran saya sampai saat ini "apakah ormas yang ada bersama masyarakat saat ini mencantumkan (meskipun hanya formalitas) pancasila sebagai asas organisasinya?" Sebagaimana ketidak tahuan saya apakah ada parpol yang tidak mencantumkan pancasila sebagai asas organisasinya? Apakah organisasi semacam FPI tidak mencantumkan pancasila dalam asas organisasinya? Sedangkan parpol ideologi sekaliber PKI saja dalam sejarahnya juga mencantumkan pancasila dalam asas organisasinya. Dan saya sedang menyaksikan perdebatan, untuk mencantumkan pancasila saja masih harus diperdebatkan.

Pancasila adalah kesepakatan luhur, ia bersifat final dan pancasila tidak bertentangan dengan ideologi dan agama apapun. Pancasila adalah gagasan akan suatu bangsa, perilaku dan pola pikir suatu bangsa yang diharapkan, ia harus dapat diwujudkan dalam segala bidang kehidupan masyarakat. Bagi saya apapun organisasinya ya harus mencantumkan pancasila sebagai asasnya, toh hal ini masih diperlunak dengan ketentuan untuk turut menyertakan bentuk ideologi lain dalam organisasi, meskipun itu organisasi masyarakat pemancing ya harus tetap mencantumkan pancasila. Alasan hal ini adalah selain untuk memasyarakatkan pancasila itu sendiri tentunya juga untuk membangun etika-estetika masyarakat, mewujudkan kepedulian dan kepekaan sosial masyarakat agar tercapai suatu kebangsaan, nasionalisme yang tidak hanya sekedar bangga-banggaan semata tetapi nasionalisme yang berusaha memperbaiki hidup sesama.

Pun pancasila sebagai asas tunggal tidaklah sama dengan penafsiran tunggal terhadap pancasila, dengan penafsiran tunggal terhadap pancasila berarti hanya mengangkat sudut pandang seseorang saja terhadap pancasila, hal ini sebagaimana telah dicontohkan oleh regim ORBA dengan P4 nya yang pada akhirnya bukan pancasila yang dilaksanakan, tapi pandangan ORBA sendiri yang lebih memberi "blue print" dan lebih terkesan "Jawaisme". Sekali lagi, penerapan asas tunggal pancasila tidaklah sama dengan penafsiran tunggal atas pancasila, pun penerapan asas tunggal ini juga telah diperlunak.

Dan yang kita tolak adalah segala upaya pembenaran dari kecurangan dengan mengatasnamakan pancasila.

Selasa, 05 Maret 2013

Melemahnya kepekaan-kepedulian sosial (peluang perilaku korupsi diberbagai lingkungan)

Kemarin sinyal modem bener-bener kacau, sampai tidak dapat diisi pulsa, jadinya hari ini baru dapat membuka blog. Atas kejadian tersebut saya berpikir ulang untuk memenuhi target sehari satu judul dalam waktu setahun kedepan (sudah gagal kemarin), dan mungkin akan lebih baik jika dapat berkonsentrasi dalam satu hal, kenyataannya tulisan saya bukannya tambah tajam malah terkesan tergesa-gesa. Pun ternyata saya tidak memiliki ketahanan fisik untuk hal tersebut (nulis apa olah raga?).

Harus diakui, menjadi penulis blogger adalah sangat mengasyikkan, hanya saja kalau jadi rutinitas malah membosankan. Kedepan harus ada perubahan, sementara saya masih berkutat (tersandera) dalam permasalahan keseharian: tentang kepekaan-kepedulian sosial dan penelantaran kemanusiaan, sudah pasti permasalahan ini akan menyumbang banyak pengaruhnya terhadap tulisan. Saya benci pengkhianat bangsa sebagaimana saya benci untuk di khianati, pun semua orang adalah seperti itu, bagaimana mungkin kita dapat berdamai dengan orang yang mengkhianati hatinya sendiri? Apalagi mencintainya. Ini arahnya kemana? Tapi demikianlah gambarannya, kita senantiasa tidak ingin dikhianati~mengalun pula "21 guns"nya Green Day saat saya mengetik ini.

Ada banyak buku yang harus saya baca ulang, ada banyak kota yang harus saya kunjungi (meskipun untuk sementara saya masih terpenjara di kota sendiri) dan akan lebih banyak hal yang dapat saya tulis sebab ada banyak permasalahan yang harus diselesaikan. Indonesia, bangsa yang diangan-angankan belum juga diketemukan. Malah puitis?.

Kembali lagi pada masalah kepekaan sosial, kemarin di TVRI ada diskusi di suatu Universitas di Bali, membahas tentang korupsi, berawal dari pemilihan istilah "korupsi" yang diyakini adalah upaya untuk memperhalus bahasa. Menurut beberapa pembicaranya sebenarnya bangsa ini tidak mengenal istilah korupsi, bangsa ini hanya mengenal istilah "mencuri", terkait pada sebutan pelakunya maka hal ini harus diperhalus yaitu "koruptor" bukan maling, rampok ataupun garong. Padahal menurut saya lebih pas dengan tiga istilah terkahir tersebut.

Ada beberapa versi pendapat mengenai maraknya korupsi di negeri ini, versi pertama menyatakan bahwa maraknya korupsi terkait dengan semakin terbukanya informasi dibandingkan pada masa ORBA yang cenderung menutup-nutupi kejadian-kejadian yang seharusnya diketahui oleh publik (termasuk korupsi). Dari sudut pandang ini didapati bahwa sebenarnya korupsi adalah sudah menjadi tradisi, hanya saja karena terbukanya informasi maka masyarakat dapat dengan mudah dan cepat mendapati perilaku korupsi dari media massa yang ada.

Pendapat kedua adalah semakin ketatnya aturan hukum, dimana sudut pandang pendapat ini menekankan pada perbaikan peraturan perundang-undangan yang semakin disempurnakan dari waktu ke waktu, dari sini didapati jika sebelum reformasi seseorang dapat saja melakukan korupsi dengan memperalat hukum yang ada, terdapat hal-hal yang masuk dalam kategori perilaku korupsi yang tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan waktu itu dan setelah reformasi banyak hal diatur dalam peraturan perundang-undangan. Bahkan memberi hadiah kepada pejabat bisa saja dikatakan menyuap yang berarti adalah korupsi hari ini.

Pendapat ketiga adalah semakin rendahnya kepedulian sosial dan kepekaan sosial masyarakat, bukan hanya pejabat tapi seluruh lapisan masyarakat. Reformasi juga telah mengarahkan masyarakat pada sebentuk kesadaran individualistik, bukan tanpa sebab hal ini terjadi, bangsa ini seakan telah lelah mendapati dan terlibat dalam konflik-konflik yang pada dasarnya adalah konflik politik pada tataran pemerintahan pusat, masyarakat selalu saja ditempatkan sebagai kelompok yang memeriahkan konflik-konflik tersebut. Kebosanan ini muncul-tumbuh dalam masyarakat dalam bentuk apatisme yang kemudian mempengaruhi pula sikap dan pola pikir masyarakat kebanyakan, ditambah lagi dengan kenyataan bahwa hukum/peraturan-perundangan yang sangat tajam-ketat jika berhadapan dengan masyarakat kebanyakan (orang kecil) tapi tumpul dan seringnya malah terjebak dalam negosiasi ketika berhadapan dengan pejabat dan kaum ber'uang'.

Melemahnya kepekaan sosial-kepedulian sosial ini juga terjadi akibat masyarakat sendiri berorientasi cari selamat, lebih dari sekedar kebosanan untuk terlibat dalam konflik, tapi juga karena trauma. Kecenderungan untuk menghindari permasalahan yang ada yang malah berakibat fatal bagi masyarakat itu sendiri, misalnya saja dengan merebaknya kasus asusila belakangan ini. Kondisi ini pun bukan semata ada-berlangsung secara mandiri, atau muncul karena kecenderungan pola pikir masyarakat sebab sudah pasti ada yang memanfaatkan kecenderungan ini, yang berarti terdapat pihak-pihak yang mengharapkan masyarakat tetap dalam kondisinya; trauma, dimana kebutuhan hidup yang terus membebani dan sempitnya kesempatan kerja membuat masyarakat berpikir ulang untuk mengawasi lingkungannya.

Dengan melemahnya kepekaan dan kepedulian sosial ini maka masyarakat menjadi lahan subur untuk ditanami bibit kecurangan, tiga kerangka kecurangan yang menjadi penyakit segala bangsa: korupsi, kolusi dan nepotisme. Bukan suatu harapan untuk menjadi bangsa koruptif yang berarti suka mencuri yang berarti juga adalah bangsa "maling" bukan Indonesia yang demikian yang ingin diketemukan, tapi Indonesia yang berkepribadian, berketuhanan, berperikemanusiaan. Semoga saja, para negarawan mampu membaca dan mencarikan solusi atas hal ini, kita dapat berharap negarawan seperti Pak Mahfud MD dan Pak Yusril Ihza dapat bekerja sama dalam kerangka "bhineka tunggal ika" untuk membenahi bangsa ini.

Semoga.

Minggu, 03 Maret 2013

Catatan sejarah yang belum rampung dibaca

Hari ini, ingin jalan-jalan cari sepatu dan jaket, saya butuh dua hal tersebut, tapi lantaran modal tidak mencukupi maka harus dipilih salah satu, saya tidak tahan dingin dan saya juga butuh sepatu untuk berdiri dihadapan para siswa. Mungkin akan lebih baik jika jaketnya belakangan, sepasang sepatu nantinya juga bisa jadi modal.

Kata Pak Hadi diwilayahnya adalah sentra pengrajin sepatu kulit, ada banyak pilihan disana, Bululawang. Sedikit siang nanti saya akan berangkat kesana, salah satu dari wilayah santri, tidak seperti di Singosari, tiap kali berada di Bululawang saya berimajinasi tentang kondisi masyarakat di tahun 60-an, mungkin gara-gara terlalu serius membaca buku "Palu arit diladang tebu".

Dalam buku tersebut diceritakan bahwa wilayah yang terdapat pabrik gula adalah juga wilayah hegemoni, baik kelompok komunis maupun agamis (disini oleh PKI dan NU) menjadikan wilayah-wilayah tersebut sebagai medan perebutan pengaruh, setiap ada pabrik gula pasti akan ada pesantren; pun LEKRA akan dihadapkan dengan LESBUMI. Pemilik lahan tebu akan berlindung dalam naungan NU~bahkan ada yang tiba-tiba berstatus "haji" atau "kyai" untuk mendapat simpati dari kalangan NU, ini bukan suatu hal yang kebetulan sebab propaganda PKI yang membenci feodalisme juga memasukkan para pemilik lahan sebagai daftar musuh lewat tujuh setan desanya.

Aksi perampasan lahan dan teror menjadi kabar harian, sebagaimana juga aksi balasannya dimana para pemilik lahan yang terampas lahannya mengorganisasikan santri untuk merebut kembali lahannya. Hal ini juga mengingatkan saya pada kasus "dukun santet" yang seringnya ditujukan kepada para ulama, pada masa itu kabarnya orang yang dituduh sebagai "dukun santet" dibantai oleh ninja, jadilah isu kehadiran "ninja" ini menjadi pengaruh tersendiri didalam masyarakat sampai-sampai sering terjadi pembunuhan terhadap beberapa orang gila yang dicurigai sebagai "ninja".

Pesantren adalah kantung budaya yang berupaya memposisikan dirinya sebagai perisai, pada masa 60-an pesantren~kususnya disekitaran pabrik gula juga diisi oleh para buruh dan petani tebu, tidak hanya sebagai wahana mencari pengetahuan spiritual tapi juga merupakan tempat perlindungan spiritual, yaitu sebagai tempat untuk me"refresh" kejiwaan para santri setelah seharian bergaul dan "bertempur" di wilayah hegemoni. Perlu diingat bahwa hal ini terjadi karena PKI tidak seperti kebanyakan partai yang ada pada waktu itu yang mengedepankan kekuatan asing sebagai musuh, PKI lebih berkonsentrasi pada musuh-musuhnya yang berada didalam negeri. Disamping itu, juga lantaran berlakunya UU land reform, ini merupakan prasasti keberhasilan PKI dalam pemerintahan, yang oleh berlakunya UU land reform ini para kyai pemilik lahan menjadi korban terbesarnya.
...........................................................................................................................
Rencana seharusnya saya harus mampir ke rumah Pak Hadi, berhubung lupa gang dan hp yang tertinggal maka seharian berkeliling sendirian. Cari sepatu.

Sejak dari masuk Bululawang saya mulai menghitung jumlah Pondok Pesantren yang ada, tapi begitu mendapati sebuah toko jaket kulit (juga jual sepatu dan benda-benda dari kulit) hitungan saya langsung "buyar".

Ada satu PP terbesar diwilayah ini, An Nur kabarnya akronim dari nama pendirinya KH. Anwar Nur, menurut beberapa orang narasumber yang saya tanyai saat 'ngopi' beliau berasal dari Pamekasan-Madura, tapi ada juga pendapat yang membantah hal tersebut bahwa KH. Anwar Nur dilahirkan di Probolinggo. PP An Nur sendiri secara resmi didirikan pada tahun 1942, jadi jauh sebelum terjadinya peristiwa perebutan lahan pertanian. Sama sekali tidak terdapat penjelasan mengenai peristiwa sepanjang tahun 60-an di daerah Bululawang selain ada yang mengatakan bahwa banyak santri yang berdatangan pada waktu itu untuk mendapatkan ilmu kanuragan, tapi Kyai Anwar sendiri lebih mengedepankan ilmu pengetahuan ketimbang kanuragan. Mungkin butuh banyak waktu untuk mendalami hal ini, dan tentunya harus seijin pihak yang bersangkutan.

Sebagaimana juga penjelasan dari seorang bapak yang mengaku sebagai 'saksi mata peristiwa 65', di Malang "titik-titik pembantaian simpatisan PKI" adalah di Singosari, Tumpang dan Lawang. Malah dari penjelasan bapak yang tidak sempat saya ketahui namanya ini saya juga mendapati informasi tentang sebuah masjid di daerah Kota Lama-Malang, Masjid Muritsul Jannah, Pembangunannya pada tahun 1965 dan sesuai nama awalnya Mushola Darus Salam yang berarti "rumah keselamatan" yang pada akhirnya juga memberi keselamatan bagi penduduk sekitarnya waktu itu yang kebanyakan adalah anggota BTI. Cukup menarik.
.....................................................................................................................
Rencananya waktu perjalanan pulang mau mampir ke Masjid Muritsul Jannah, tapi saya malah mengarah ke daerah Kacuk~mungkin waktu itu saya sedang melamun dan sepertinya hujan sudah tidak tahan lagi untuk mengguyur Kota Malang yang sedang memanas maka saya putuskan untuk menunda rencana terakhir saya itu. Sungguh saya masih penasaran dengan peristiwa berdarah yang sebenarnya murni konflik politik yang sebenarnya juga merupakan peristiwa genosida ini.

Bukan bermaksud mengungkit kejadian kelam, tapi memang pada dasarnya sudah penasaran dan saya tidak ingin kejadian serupa terulang lagi. Saya pulang dengan membawa sepasang sepatu "safety" dan harapan akan ada waktu luang untuk memperdalam hal-hal ini.

Sabtu, 02 Maret 2013

Obrolan kemerdekaan di warkop

Buru-buru saya keluar dari gerbang sekolah, ingin lekas bersantai sambil minum kopi. Rencana awal mau beli koran dulu tapi kedainya tutup, jadilah ngopi tanpa baca koran. Jam delapan keadaan jalan masih lengang, kira-kira nanti masuk jam sembilanan Jl. A. Yani macet, ini hari sabtu, selalu seperti itu, jadi pertimbangan letak warung kopi harus tepat, beberapa warung favorit tidak masuk dalam pilihan karena lokasinya jika hari sabtu adalah tidak tepat. Pertimbangannya adalah seminimal mungkin terlibat kemacetan pas pulang.

Hal demikian saya ungkapkan juga dimimbar warung kopi yang dihadiri dua orang supir angkot, seorang penarik becak motor, seorang sales, tiga orang pelajar yang sedang bolos dan seorang yang tidak jelas. Si pemilik warung dan tiga pelajar blo'on hanya tertawa, tapi salah seorang sopir angkot melempar isu politis untuk menanggapinya "ini republik merdeka tapi tidak memberi banyak kesempatan pada warganya, semua orang turun kejalan mencari rejeki tapi masih juga berhadapan dengan sarana transportasi yang tidak layak" mirip dengan tokoh-tokoh politik di acara ILC.

Meja di warung ini berbentuk "L", tidak seperti kebanyakan warung yang saya temui yang selalu ada pembatas etalase antara pengunjung dengan penjual, disini etalase yang berisi sajian masakan berada disamping sebelah utara, dan rupanya dapurnya bertempat di belakang. Saya duduk paling ujung sebelah selatan dan masih dapat mengawasi gerik-tingkah pengunjung yang ada.

Oleh isu dari bapak sopir tersebut pemilik warung juga melempar pandangannya "lha wong sing merdeka kae negarane dudu rakyate" dengan aksen Blitar yang maksudnya 'yang merdeka itu negaranya bukan rakyatnya' pandangan sederhana tapi briliant, tidak semua orang menyadari hal ini. Jadi tambah provokatif ketika bapak penarik becak motor berkomentar "sing merdeka rajane, wong cilik uripe yo mek ngene-ngene iki" yang ini aksen jalanan Malang tanpa bahasa "wali'an" maksudnya 'yang merdeka rajanya, orang kecil hidupnya ya cuman begini-begini saja". Tiga bocah blo'on yang tadi hanya mendengar dengan tertawa kini bertingkah, salah satunya berseloroh "merdeka mek omong thok" maksudnya 'merdeka hanya kata' kurang lebih demikian maksudnya.

Sejenak saya mendapati kembali 'kemelut' dalam pikiran, sejarah politik tanah nusantara. Ada yang bilang bahwa para raja awalnya adalah petani, lalu memiliki kekuasaan karena berbagai hal dan terutama sekali adalah wilayah, berikutnya adalah kepemilikan alat produksi tapi kepemilikan tanah adalah yang utama dengan kekuasaan atas lahan garapan orang bisa menang atas yang lain.  Di jaman kolonial pernah ada kebijakan yang kita kenal dengan istilah politik etis, merupakan kritik terhadap sistem tanam paksa, politik etis ini terangkum dalam trias Van Deventer: (1) Irigasi (pengairan), membangun dan memperbaiki pengairan-pengairan dan bendungan untuk keperluan pertanian, (2) Emigrasi yakni mengajak penduduk untuk bertransmigrasi, (3) Edukasi yakni memperluas dalam bidang pengajaran dan pendidikan.

Meskipun begitu masih terdapat penyimpangan dalam pelaksanaannya, irigrasi yang kemudian diketahui hanya untuk keuntungan lahan-lahan swasta Belanda, migrasi yang ternyata hanyalah sekedar memindah lokasi tanam paksa tersebut, dan edukasi dengan pembangunan gedung-gedung sekolah yang seharusnya ditujukan kepada semua kalangan ternyata hanya dapat dinikmati secara eksklusif, hanya untuk pribumi yang beruntung memiliki harta berlebih dan kalangan bangsawannya. Rakyat jelata, tentu ditelantarkan.

Jaman Jepang sepertinya lebih menyengsarakan lagi hingga muncul harapan lewat momentum proklamasi 17 Agustus 1945, harapan bagi bangsa yang yang sudah terlalu lama diinjak-injak kemanusiaannya untuk kembali membangun harkat dan martabat kemanusiaan dan kebangsaannya, tentu harapan untuk dapat berdiri sejajar dengan manusia-manusia lain; bangsa-bangsa lain di dunia.

Tapi apalah daya, borjuasi masih kuat dan bergelimang kemudahan di negeri ini, konsekuensinya tentu kembali mengorbankan harapan rakyat jelata yang oleh Soekarno disebut "rakyat mashaen" ini. Masuk jaman ORBA keadaan malah memburuk dengan penafsiran tunggal terhadap pancasila dibawah kekuasaan regim hegemonik, bahkan lebih mirip kerajaan daripada negara kesatuan.

Sebagaimana pandangan si pemilik warung, yang merdeka adalah negaranya bukan rakyatnya, tentunya pengertian negara dan rakyat harus dipisahkan disini meskipun rakyat adalah unsur dari terbentuknya negara. Tapi dengan kenyataan yang memberi kesan mengarah pada suatu negara kelas, maka wajar saja orang mulai memisahkan antara negara dan rakyat.

Bapak penarik becak motor menyambung obrolan "jaman kerajaan karo jaman kemerdekaan podo ae, ucul tekan rojo Jowo dijajah rojo londo, terus Jepang, saiki yo podho ae, rojone akeh yo wong Jowo, Cino, londo kabeh podo teko njajah" artinya "jaman kerajaan sama jaman kemerdekaan sama saja, lepas dari raja Jawa dijajah raja Belanda, terus Jepang, sekarang ya sama saja, rajanya banyak ya orang Jawa, Cina dan Belanda semua datang menjajah" lalu obrolan saya tutup dengan membayar segelas kopi dan pamit pulang. Memacu motor matic dengan merdeka menuju rumah, untunglah orang-orang itu tidak tahu kalau saya masih ada garis keturunan dari kerajaan Madura.

Jumat, 01 Maret 2013

Masyarakat feodal kita, masyarakat sinetron kita

Hari pertama di bulan Maret, di luar banyak orang sedang bergegas-terburu, berlewatan dengan suara motor yang menderu-terburu. Masyarakat feodal kita, masyarakat yang masih terkesima sekalian berharap datangnya figur-figur penghibur daripada pejuang. Kita masih terjebak dalam gaya feodalisme dan bayang-angan kehadiran figur, mungkin masih hebatnya hegemoni "satria piningit" yang diramalkan pada masa kerajaan dahulu, disamping tidak terdapatnya sosok-sosok pejuang yang muncul. Pun bila muncul sosok pejuang sudah pasti akan menjadi sasaran yang diposisikan sebagai lawan bersama diatas panggung politik dimanapun, kapanpun.

Figur jadi pilihan utama, seperti ketika kita melihat film, ada yang dibenci dan ada yang dipuja sebagai pahlawan, dan demikian itulah yang dikedepankan untuk menjual film dan sinetron tanah air, disamping gambaran betapa nyamannya kehidupan tuan dan nyonya borjuis kita. Dan watak masyarakat feodal masih tetap dipertahankan, diperjuangkan dalam berbagai hal, termasuk lewat tontonan-tontonan, jadi track record bukan lagi sebuah pilihan sebab figur (tampilan) yang mengesankan~seperti tokoh pujaan dalam film dan sinetron adalah yang utama.

Feodalisme, ini istilah untuk menyebutkan suatu tatanan, ismenya adalah paham yang berarti adalah suatu gagasan, tentu gagasan tentang sebuah tatanan yaitu tatanan masyarakat. Feodalisme secara teorinya adalah pendelegasian kekuasaan politik kepada para bangsawan untuk mengendalikan wilayah lewat kerja sama dengan pemimpin-pemimpin lokal, dan dalam perkembangannya muncul pula istilah "masyarakat feodal" dimana dalam gagasan "feodalisme" ini turut dibicarakan aspek kehidupan para pekerja di atas lahan milik penguasa tanah. Di Indonesia sendiri istilah ini menjadi sacarstic dengan menggunakan istilah feodal ini untuk menunjuk pada suatu pelaksanaan kekuasaan yang lalim, gila hormat dan/ kolot, yang pasti sudah melenceng jauh dari pengertian awalnya.

Tapi mau bagaimana lagi, feodalisme yang terlaksana di negeri ini adalah juga tentang keserakahan, sepanjang sejarahnya pun demikian dan hingga hari ini menyisakan pola pikir yang sebenarnya tidak sehat bagi masyarakat kebanyakan. Mungkin karena orientasi duniawi, tapi kehormatan dan terpandang sebagai seorang bangsawan rasanya cukup menyenangkan hingga tiap-tiap orang (mutlak) ingin berkuasa.

Dalam situasi seperti itu maka potensi kecurangan semakin luas, kenyataannya bahwa feodalisme di negeri ini-saat ini dibangun atas dasar kecurangan, terdapat sebuah fakta lagi dimana kaum kapitalis negeri ini juga menjalankan kewiraswastaannya dalam kerangka korupsi, kolusi dan nepotisme, bahkan kewiraswastaan tersebut berlangsung sekedar untuk praktik pencucian uang bagi para koruptor dimanapun dan kapanpun.

Untuk menjadi pahlawan dalam situasi demikian pun akan sangat mudah, tentu lewat pencitraan, membangun kharisma atau dengan merancang sandiwara dengan menempatkan diri sebagai sosok yang dipuja dan didambakan sebagaimana kisah sinetron dimana tokoh pujaan selalu dihadirkan sebagai solusi sekaligus korban dari keadaan. Sekali lagi track record menjadi tidak berlaku disini.

Etika dan estetika yang seharusnya dibangun seimbang malah terkesan tidak sinkron, kini estetika mengalahkan etika meskipun logikanya estetika ada-tumbuh atas bangunan etika, nanti yang dipersalahkan adalah demokrasi, padahal sebagaimana yang saya rasakan demokrasi sama sekali tidak berjalan atas bangsa ini.