Hari pertama di bulan Maret, di luar banyak orang sedang bergegas-terburu, berlewatan dengan suara motor yang menderu-terburu. Masyarakat feodal kita, masyarakat yang masih terkesima sekalian berharap datangnya figur-figur penghibur daripada pejuang. Kita masih terjebak dalam gaya feodalisme dan bayang-angan kehadiran figur, mungkin masih hebatnya hegemoni "satria piningit" yang diramalkan pada masa kerajaan dahulu, disamping tidak terdapatnya sosok-sosok pejuang yang muncul. Pun bila muncul sosok pejuang sudah pasti akan menjadi sasaran yang diposisikan sebagai lawan bersama diatas panggung politik dimanapun, kapanpun.
Figur jadi pilihan utama, seperti ketika kita melihat film, ada yang dibenci dan ada yang dipuja sebagai pahlawan, dan demikian itulah yang dikedepankan untuk menjual film dan sinetron tanah air, disamping gambaran betapa nyamannya kehidupan tuan dan nyonya borjuis kita. Dan watak masyarakat feodal masih tetap dipertahankan, diperjuangkan dalam berbagai hal, termasuk lewat tontonan-tontonan, jadi track record bukan lagi sebuah pilihan sebab figur (tampilan) yang mengesankan~seperti tokoh pujaan dalam film dan sinetron adalah yang utama.
Feodalisme, ini istilah untuk menyebutkan suatu tatanan, ismenya adalah paham yang berarti adalah suatu gagasan, tentu gagasan tentang sebuah tatanan yaitu tatanan masyarakat. Feodalisme secara teorinya adalah pendelegasian kekuasaan politik kepada para bangsawan untuk mengendalikan wilayah lewat kerja sama dengan pemimpin-pemimpin lokal, dan dalam perkembangannya muncul pula istilah "masyarakat feodal" dimana dalam gagasan "feodalisme" ini turut dibicarakan aspek kehidupan para pekerja di atas lahan milik penguasa tanah. Di Indonesia sendiri istilah ini menjadi sacarstic dengan menggunakan istilah feodal ini untuk menunjuk pada suatu pelaksanaan kekuasaan yang lalim, gila hormat dan/ kolot, yang pasti sudah melenceng jauh dari pengertian awalnya.
Tapi mau bagaimana lagi, feodalisme yang terlaksana di negeri ini adalah juga tentang keserakahan, sepanjang sejarahnya pun demikian dan hingga hari ini menyisakan pola pikir yang sebenarnya tidak sehat bagi masyarakat kebanyakan. Mungkin karena orientasi duniawi, tapi kehormatan dan terpandang sebagai seorang bangsawan rasanya cukup menyenangkan hingga tiap-tiap orang (mutlak) ingin berkuasa.
Dalam situasi seperti itu maka potensi kecurangan semakin luas, kenyataannya bahwa feodalisme di negeri ini-saat ini dibangun atas dasar kecurangan, terdapat sebuah fakta lagi dimana kaum kapitalis negeri ini juga menjalankan kewiraswastaannya dalam kerangka korupsi, kolusi dan nepotisme, bahkan kewiraswastaan tersebut berlangsung sekedar untuk praktik pencucian uang bagi para koruptor dimanapun dan kapanpun.
Untuk menjadi pahlawan dalam situasi demikian pun akan sangat mudah, tentu lewat pencitraan, membangun kharisma atau dengan merancang sandiwara dengan menempatkan diri sebagai sosok yang dipuja dan didambakan sebagaimana kisah sinetron dimana tokoh pujaan selalu dihadirkan sebagai solusi sekaligus korban dari keadaan. Sekali lagi track record menjadi tidak berlaku disini.
Etika dan estetika yang seharusnya dibangun seimbang malah terkesan tidak sinkron, kini estetika mengalahkan etika meskipun logikanya estetika ada-tumbuh atas bangunan etika, nanti yang dipersalahkan adalah demokrasi, padahal sebagaimana yang saya rasakan demokrasi sama sekali tidak berjalan atas bangsa ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar