Pramoedya Ananta Toer

"kau pribumi terpelajar! Kalau mereka itu, pribumi itu, tidak terpelajar, kau harus bikin mereka jadi terpelajar. Kau harus, harus, harus bicara pada mereka, dengan bahasa yang mereka tahu"

Kamis, 28 Februari 2013

Poltik, sepak bola dan musik

Ini tulisan ke lima puluh delapan dan ini adalah hari terakhir bulan Februari, Arema unggul 4-2 atas tamunya Pelita Bandung Raya dalam laga yang kurang enak ditonton dan Korea memutuskan untuk menunda kerja sama pesawat tempur dengan RI.

Saya kembali membaca buku "Palu arit di ladang tebu" masih pada bagian awal, pada bagian yang menjelaskan kondisi politik era demokrasi terpimpin, tembang-tembang Dewa 19 tidak berhenti sejak siang, berulang-ulang dari tembang "elang" hingga "kamulah satu-satunya" hanya satu lagu yang divokali oleh Once, cemburu, selebihnya oleh Ari Lasso. Dunia bola dan musik punya politiknya sendiri dan pada dasarnya kepentingannya adalah sama, dominan.

Politik (parpol dan pemerintah), sepak bola dan musik adalah hiburan bagi masyarakat kebanyakan, terkait apa yang harus didukung dan apa yang harus menjadi sasaran atau tempat setiap umpat dan cacian. Apa yang harus dipertaruhkan. Masing-masing adalah pemicu dari komentar-komentar dan pertarungan gengsi yang tidak hanya terjadi dialami oleh pelaku ketiga ruang hiburan tersebut, tapi juga oleh masyarakat kebanyakan. Semua orang boleh dan bebas berkomentar. Tanpa batasan.

Kita bisa duduk diam didepan televisi menyaksikan tiga hal tersebut secara bergantian atau sekaligus mendapati informasinya secara bersamaan, dengan diam atau dengan menggerutu atau bahkan sambil mengekspresikan sikap secara terbuka, bisa marah-ngomel atau tetap tenang dan tertawa-gembira, mengejek, sebebas kita mengekspresikannya.

Atau cukup dengan diam sembari mengikuti arus utama, tentu arus yang muncul dari komentator-komentator yang sudah disiapkan media massa. Dan pada akhirnya semuanya harus tergantung pada pasar, arus utamalah yang mengorgainir masyarakat kebanyakan untuk menumbuhkan pasar. Hidup jadi sebuah perjudian besar.

Sepak bola dan musik sudah jelas beorientasi pada pasar, politik juga seperti itu meskipun dengan malu-malu. Dunia hiburan, segalanya harus layak diperdagangkan, isu adalah komoditi andalan sebab tiap tingkah dan aksi pelaku (yang ditonton) akan menjadi bahan pembicaraan.

Semua orang butuh bicara, setiap orang perlu menumpahkan emosi yang terhimpit oleh keadaan, dan isu dari aktor-aktor dunia hiburan inilah yang selalu ditunggu untuk menjadi sasaran pembicaraan. Dari polemik sepak bola nasional, persiapan pesta demokrasi yang sekaligus berlangsungnya pilkada di daerah hingga kasus-kasus yang membelit para pekerja seni (juga termasuk para politisi dan atlet sepak bola) menjadi sajian tersendiri, hiburan disela kesibukan sehari-hari yang dapat kita tertawakan, kita cibir atau sekedar kita beri simpati tanpa mampu memberi solusi untuk memecahkan permasalahan yang ada, sebab kita tidak sedang bermain didalamnya, sebaliknya seringnya kita yang dipermainkan karena pasar harus segera terbentuk.

Kita, masyarakat, dibentuk oleh kebingungan lalu dijual, yang membeli adalah kita sendiri, sederhananya masyarakat kebanyakan adalah korban. Jika hal ini disangkal, lalu kenapa para pelaku tidak pernah bertindak atas nama kita, kita sebagai masyarakat yang terjerumus dalam ketidak berdayaan? Hanya kalau sempat saja mereka berbicara atas nama kita, bukan bertindak atas nama kita. Atau kita, hanya sekedar angka-angka yang sedang diperjudikan?.

Malam Jum'at dengan secangkir nikmat yang pekat, berharap dapat menemukan bangsa yang bermartabat, berdaulat dengan senyum hangat yang bersahabat. Cheers.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar