Pramoedya Ananta Toer

"kau pribumi terpelajar! Kalau mereka itu, pribumi itu, tidak terpelajar, kau harus bikin mereka jadi terpelajar. Kau harus, harus, harus bicara pada mereka, dengan bahasa yang mereka tahu"

Selasa, 19 Februari 2013

Budaya dan Pendidikan (II)

Tentunya masih ingat dengan tujuh unsur universal kebudayaan, saya mendapatkannya waktu masih duduk di bangku SMU di pelajaran sosiologi, sekalian juga waktu itu saya mengenal Koenjaraningrat sebagai seorang ahli sosiologi, bertahun-tahun kemudian saya juga membaca rumusan ini untuk mencari jalan bagi skripsi saya. Dan dari proses skripsi saya itu saya kenal lagi nama, Clyde Kluckhohn dengan kerangka nilai-budayanya, berbekal dua rumusan inilah saya mengobrak-abrik komunitas punk di Kota Malang terkait gaya hidup dan orientasi gaya hidupnya.

Saya tidak sedang ingin membahas skripsi itu, tapi mengenai pendidikan, dan judul diatas adalah keanehan, bagaimana tidak jika sebenarnya pendidikan sendiri adalah bagian dari kebudayaan, dan saya malah memilih judul "Budaya dan Pendidikan" yang seakan-akan pendidikan itu berada diluar kebudayaan. Tidak, bukan seperti itu maksud saya, meskipun penempatan budaya di negeri ini juga tidak lebih baik, dimana kebudayaan selalu dikesankan berada didalam pendidikan, dan seringnya masyarakat kita selalu membicarakan kebudayaan hanya terbatas pada bagian terkecilnya saja, yaitu kesenian.

 Dari Konjaraningrat ada tujuh unsur budaya yang disebut tujuh unsur universal, anatara lain (1) sistem religi, (2) sistem dan organisasi kemasyarakatan, (3) sistem pengetahuan, (4) bahasa, (5) kesenian, (6) sistem mata pencaharian, (7) sistem teknologi dan peralatan. Dalam urutan tersebut juga dimaksudkan dari unsur yang mudah atau cepat berubah ke unsur yang sukar berubah. Teknologi adalah unsur yang paling cepat berubah akibat adanya interaksi antar kebudayaan dari masyarakat yang berbeda, dan unsur inilah yang rencananya akan dihapus dari daftar mata pelajaran tingkat SMP oleh pemerintah.

Lalu letaknya pendidikan disini mungkin akan banyak yang mengatakan bahwa pendidikan itu ada pada unsur sistem pengetahuan, pun itu tidak perlu untuk disalahkan, tapi ketika berbicara tentang pendidikan dimana pendidikan itu merupakan suatu proses maka letak pendidikan adalah pada proses budaya itu sendiri, terkait dengan bagaimana upaya masyarakat mempertahankan dan membenahi budaya/kebudayaannya.

Pendidikan adalah produk budaya, demikian juga sebaliknya, budaya adalah produk pendidikan, dengan begitu pendidikan adalah gejala kebudayaan. Pendidikan selalu mengalami perubahan dengan mengikuti gejala-gejala pembudayaan, dan yang paling sering disini adalah tentang masalah teknologi dan peralatan yang dalam setiap perkembangannya akan turut membawa perubahan pada unsur-unsur budaya berikutnya. Perubahan tersebut terutama sekali adalah sistem pengetahuan.

Komputer adalah contoh yang baik dalam hal ini, bagaimana perangkat teknologi ini mampu merevolusi pengetahuan banyak masyarakat dunia, terutama sekali dalam bidang informasi disamping segala urusan pekerjaan yang tiba-tiba kini dapat dikerjakan oleh seperangkat teknologi yang terdiri atas CPU, monitor dan keyboard tersebut, bagaimana peran dan fungsi surat dan kartu pos tiba-tiba dapat dipersingkat oleh email dan semacamnya. Lebih terperangah lagi kemudian dimana informasi-informasi diseluruh belahan dunia dapat diperoleh dengan hitungan detik melampaui tayangan televisi dan radio, bahkan lewat internet seseorang bisa saja membangun stasiun radio atau televisinya sendiri kalau dia mau.

Inilah, dari teknologi langsung menuju sistem pengetahuan, efeknya juga berlainan di tiap masyarakat yang secara umum sebenarnya memiliki masalah yang sama dibidang norma sosial akibat revolusi ini. Bahkan dalam masyarakat Indonesia terjadi kebingungan hebat akibat perubahan cepat dan beruntun dari teknologi dan pengetahuan, mungkin karena inilah maka teknologi dihapus dari daftar mata pelajaran tingkat SMP.

Tercatat ada dua unsur budaya yang tidak berdaya akibat perkembangan teknologi ini, yaitu kesenian dan bahasa, tidak seperti RRC dan Jepang dimana bahasa mereka dapat mengambil peran dalam perkembangan ini, bahkan di Malaysia pun terdapat upaya serupa. Hingga hari ini saya belum menemukan teknologi yang saya maksud ini yang berbahasa Indonesia, ada yang lebih dekat yaitu menggunakan bahasa melayu, Malaysia.

Kesenian? Tidak ada harapan, Korea menjadi contoh unik disini dimana negeri itu mampu memanfaatkan perkembangan teknologi untuk mengangkat karya-karya senimannya. Indonesia? Jangankan berharap perkembangan teknologi ini dapat mengaktifkan bidang kesenian, yang ada malah pembajakan yang mematikan potensi kesenian tersebut.

Sebagaimana yang sedang menjadi "trend" dipentas politik nasional, pencitraan, inilah wajah kebudayaan kita, wajah dari cerminan hati kita, wajah dari pendidikan kita yang masih saja mengedepankan nilai estetika tanpa perlu mempertimbangkan etika, tatanan artistik lebih utama disini, seakan mengharap etika akan mampu mengikuti tampilan artistik. Etika itu dibangun juga dari pengalaman, perkembangan teknologi membawa pengalaman yang berarti bagi bangsa ini, kita tidak harus selamanya bermanis muka tapi kenyataan dibelakang adalah kepalsuan dan kebodohan. Atau harus menjadi masyarakat terbelakang dengan topeng yang rupawan?. Salam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar