Pramoedya Ananta Toer

"kau pribumi terpelajar! Kalau mereka itu, pribumi itu, tidak terpelajar, kau harus bikin mereka jadi terpelajar. Kau harus, harus, harus bicara pada mereka, dengan bahasa yang mereka tahu"

Senin, 04 Februari 2013

Kenyataan yang tidak disadari

Pada sebuah gedung, saya berdiri pada bagian tertinggi, mengawasi tiap gerak-gerik yang silih berganti dibawah sana. Tentu di Huize weltevrden, tempat dimana senantiasa saya mencari inspirasi untuk di tulis (dalam bentuk samar tentunya). Dari sini saya sering dapati suatu pertarungan ideologi dari faksi-faksi generasi yang ada disini, boleh juga dikatakan sebagai "postmodernitas" dimana segala potensi datang bercampur-aduk disini, atau suatu kondisi tata sosial sosial produk teknologi informasi, globalisasi, fragmentasi gaya hidup, konsumerisme yang berlebihan, deregulasi pasar uang dan sarana publik, usangnya negara dan bangsa serta penggalian kembali inspirasi-inspirasi tradisi.

Tapi sepertinya juga terlalu berlebihan untuk menggunakan sudut pandang semacam itu, lagipula disini ada juga yang memposisikan diri secara dominan yang berarti juga terdapat pihak yang dipaksa tertindas. Maskipun dalam "postmodernitas" ada juga yang tertindas tapi dominasi sama sekali tidak diharapkan.

Saya pun masih dapat memilah-milah~katakanlah: kekuatan yang ada disini, dari kehadiran pemberontak ala punk dengan bendera 'anarki'nya, kakunya orde baru dan tipikal pendobrak layaknya mahasiswa angkatan 98 ada disini. Dan saya berpikir bahwa kondisi semacam ini tidak hanya berlangsung di tempat ini, diberbagai tempat di Indonesia adalah sama, meski tidak sama persis tapi sudah pasti terdapat pertarungan yang sama. Bukankah sudah dari awal sejarahnya wilayah nusantara jadi tempat bertemunya ideologi-ideologi yang bersaing merebut dominasi?.

Kali ini pihak anarki punk diposisikan sebagai musuh bersama disini, entah dilakukan secara sadar atau atas dasar kefrustasian, yang pasti hal tersebut merupakan gambaran dari kegagalan dalam membentuk wadah bagi kepentingan yang ada sekaligus gagal dalam menyelaraskan segala bentuk sudut pandang dalam bingkai "bhineka tunggal ika". Dalam hal ini bukan berarti saya sedang memilih untuk membela kehadiran punk, saya sendiri sebenarnya malah sedang jengkel dengan punk, seharusnya mereka menjadi gerakan alternatif dalam pembebasan (liberation) tapi selalu saja mereka tampilkan adalah liberalisme-individualistis dengan segenap penghancuran, terjebak dalam keterasingan yang sengaja ataupun tidak telah mereka ciptakan sendiri. Drug, sex bebas dan kemiskinan.

Mungkin saya akan dihujat habis dengan ini, tapi inilah fakta yang saya dapati. Pun diluar punk juga tidak lebih baik, liberalisme-individualistik juga ada terdapat-dianut oleh kebanyakan masyarakat diluar punk. Drug, sex bebas bahkan fanatisme buta dan pengagungan terhadap dunia, yang pasti adalah keterasingan yang tak terperi.

Sungguh akan menjadi keheranan tersendiri jika liberalisme yang sebenarnya memiliki dasar pada pengakuan penuh atas hak individual malah dikatakan mengarah dan mengarahkan pada keterasingan. Saya tidak akan membela pandangan saya dengan menyalahkan atau bahkan menghujat pihak yang terheran-heran dengan pandangan ini, semua pihak berhak berpendapat, bahkan menghujatpun saya persilahkan.

Dengan situasi dimana tiap individu memegang mutlak haknya sudah pasti akan terjadi pertarungan hebat antar individu dalam suatu kompetisi untuk saling memperjuangkan haknya, kembali mengupas darwinisme yang memandang manusia adalah hasil dari kompetisi. Darwinisme memandang bahwa pada hakikatnya semua makhluk hidup awalnya memiliki bentuk yang sederhana, mereka berevolusi untuk menaklukkan alam, bertahan hidup. Manusia adalah makhluk yang memenangkan kompetisi dan mampu mendominasi kehidupan di dunia hingga saat ini, tidak cukup berhenti disitu, manusia yang menurut darwinisme adalah kera yang mengalami evolusi untuk menyempurnakan wujudnya juga menyesuaikan diri dalam bentuk ras dan mengalami bentuk-bentuk persaingan selanjutnya, misalnya saja perang dan perbudakan.

Demikian pijakan saya dalam pandangan saya yang bukan maksudnya untuk menghujat atau menilai salah-benar pada kondisi masyarkat Indonesia kekinian, hanya sekedar pandangan, kalaupun ditanya solusi maka saya jawab pembangunan akhlak adalah yang utama, benteng ketauhidan adalah penting dalam pertempuran ideologi semacam ini.

"Jika benar hidup adalah pilihan, maka pilihlah Allah. Diantara pilihan, pilihlah Allah. Bahkan jika tidak ada pilihan, tetap pilihlah Allah." Demikian, sebab bagi saya pilihan selain memilih Allah sebagai zat Yang Maha Hidup dan Maha Memelihara adalah keterasingan. Hingga hari ini, bukan hanya kaum pekerja saja yang mengalami keterasingan, punk dengan segala atributnya bahkan kaum beragama (juga dengan "segala atribut"nya) banyak terjebak dalam keterasingan. Inilah, atribut-atribut yang hadir menempel pada tiap-tiap orang sebab adanya keinginan untuk dilihat, dihormati, disegani yang pada akhirnya (pinjam istilah dari Pak Agus Sunyoto dalam novel "Suluk Malang Sung Sang") mengalihkan kiblat hati seseorang kepada kecintaan terhadap dunia.


(Saya mengetik ini dengan juga sedang memutar lagu-lagu dari Nirvana dan Green Day, saya menyukainya bahkan untuk mengenakan T-Shird musik underground adalah kegemaran saya, tapi saya tidak ingin me-labeli diri saya dengan hal-hal tersebut, apalagi dengan ideologi dan pandangan-pandangan politik. Tidakan itu saya pikir nantinya hanya akan mengkerdilkan saya)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar