Pramoedya Ananta Toer

"kau pribumi terpelajar! Kalau mereka itu, pribumi itu, tidak terpelajar, kau harus bikin mereka jadi terpelajar. Kau harus, harus, harus bicara pada mereka, dengan bahasa yang mereka tahu"

Minggu, 03 Februari 2013

Refleksi dari "Huize Weltevreden" tentang borjuasi anak negeri

Sehari ini, ternyata saya harus menunggu sore untuk menemukan keistimewaannya, dan yang saya khawatirkan adalah hujan. Tenggorokan masih sakit, flu masih betah menghuni tubuh saya, mungkin lain kali saya akan terbunuh oleh virus ini.

Membuka gambar peta wilayah Indonesia, ada pertanyaan "adakah suatu saat saya dapat menjelajahinya untuk menemukan gambaran nyata kebangsaan yang dicita-citakan? Atau bahkan mungkin keluar dari garis teritorialnya? Atau sekedar duduk-diam membaca literatur (yang) ala kadarnya?".

Selama ini memang seperti itu, saya hanya duduk membaca tiap catatan yang ditulis oleh orang-orang terkenal sembari bercermin pada kondisi lingkungan~kali ini saya sertakan permohonan maaf kepada sebentuk lingkungan yang menyimpan "gemuruh badai" dalam kedamaiannya: Huize Weltevreden, selama ini tempat itu memang jadi bahan pengamatan saya, jadi objek refleksi yang selalu menyediakan inspirasi untuk tulisan saya. Maaf.

Bagaimana tidak, tipikal orde baru masih terpelihara disana, sedangkan feodalisme dan kolonialisme juga masih ada dalam masyarakat. Salah satu tujuan proklamasi 17 Agustus 1945 adalah untuk menghapus hal tersebut, gagal dan tambah terpuruk dijaman ORBA, karakter bangsa semakin tidak jelas akibat regim hegemonik yang memaksakan penafsiran tunggal pancasila tersebut kepada masyarakat.

Sungguh sangat mengherankan awalnya bagi saya dengan kondisi semacam itu, tapi setelah menemukan fakta-fakta yang ada yang terefleksikan dari tingkah laku dan kondisi lingkungan pengamatan saya maka saya tidak heran, bahkan muncul keinginan bertahan untuk sekedar melawan.

Dari yang saya baca, pemerintahan orba adalah eranya developmentalisme-belum saya temukan penjelasan yang pasti akan hal ini selain saya ketahui "pembangunan" yang dilaksanakan pada masa itu orientasinya hanya pada pembangunan fisik atas dasar kepentingan penguasa, pembangunan mental-spiritual sama sekali tidak tersentuh kecuali kedisiplinan yang atas dasar ancaman, meskipun memang terdapat upaya untuk membangun karakteristik kebangsaan yaitu melalui P4 tapi pada dasarnya hanya sekedar hegemoni, sekedar penafsiran yang dipaksakan tanpa ada ruang dialog untuk proses penyempurnaan etika-estetika. Analoginya seperti seorang anak yang sedang terlihat belajar karena takut dengan gurunya yang sedang mengawasi sembari membawa AK 47.

Kontradiktif dengan apa yang saya yakini selama ini, pemimpin yang baik akan muncul dari masyarakat yang baik pula. Terkait dengan kepemimpinan sebagaimana yang ditulis lewat status facebook oleh teman saya Anindito Dh Armando "Pemimpin dan cara kemimpinan lahir dari suatu keadaan (sikon) masyarakat pada suatu tempat dan waktu tertentu. Tak heran bila seorang pemimpin yg ingin tetap berkuasa dengan cara mempertahankan keadaan dimasyarakat agar tidak berubah"~ sebagaimana yang saya amati tiap hari.

Mungkin akan muncul gagasan jika harus ada perubahan dalam masyarakat/lingkungan untuk melahirkan pemimpin yang baik, tapi lewat pengalaman dan pengamatan saya selama ini adalah tidak mungkin merubah kondisi lingkungan tanpa harus melakukan penyingkiran, sebab keadaan sudah terlanjur kacau pun dengan kehadiran orang-orang yang mempertahankan status quo. Mungkin "revolusi budaya" ala Mao Zedong adalah pilihan tepat untuk mengatasi hal ini, hanya mungkin.

Feodalisme menyumbang pola pikir kebangsawanan yang sulit untuk dihilangkan, begitupun dengan kolonialisme yang mempertahankannya, dengan gaya borjuasi yang lebih mengedepankan penghormatan dan ketertundukan yang berlebihan. Secara langsung juga menginginkan perbudakan dengan terlebih dahulu menyuburkan keterasingan. Tidak pernah sekalipun disadari jika kehormatan yang diinginkan dari tindakan seperti itu (memperbudak dan menciptakan keterasingan) adalah merendahkan martabat orang lain yang berarti adalah tindakan yang sama sekali tidak terhormat.

Tidak banyak yang dapat dilakukan, sekedar membuka ruang dialog untuk membangun etika-estetika untuk mewujudkan suatu bangsa yang beradab dan bermartabat. Rangkaian gerbong kereta datang-pergi bergantian di depan saya, dapat kabar lewat phonesell gerbong kereta yang saya tunggu tidak mungkin datang untuk hari ini. Saya beranjak pergi dengan meninggalkan sajak sepenggal diatas bangku stasiun:

siang kian memuncak sayang
keretamu tak kan datang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar