Demokrasi sampai saat ini masih menjadi suatu tatanan yang dicita-citakan, terkadang juga harus dipaksakan.Sepertinya kita lupa pentingnya kebijakan berbasis keragaman yang dapat memperkokoh kehidupan politik, ekonomi dan sosiokultural.
Kita mengenal demokrasi pancasila, demokrasi yang tidak hanya mengurusi kehidupan politik, tapi juga mengurusi kehidupan ekonomi dan sosial budaya, suatu tatanan kemasyarakatan atas dasar kegotong royongan, memang masih cenderung labil, tapi bukankah demokrasi sendiri adalah konsep yang belum matang?.
Demokrasi pancasila labil karena mudah untuk dimanipulasi, hanya diperalat untuk kepentingan sepihak. Sejarah telah sering berbicara tentang hal ini, bagaimana mudahnya rezim berkuasa menjalankan kebijakan secara sewenang-wenang dengan mengatasnamakan demokrasi pancasila, tapi toh pancasila juga memiliki kecenderungan untuk dimanipulasi. Semuanya memang tergantung dengan pola pikir penguasa yang ada, tapi permasalahannya adalah masyarakat Indonesia kini sepertinya belajar dari regim penguasa, yaitu tentang penafsiran tunggal, memanipulasi demokrasi dan bahkan pancasila untuk melanggengkan kepentingan sepihak.
Misalnya saja pada~atau mungkin pernah atau bahkan sedang terjadi/berlangsung pada suatu organisasi yang terbagi-bagi dalam faksi-faksi~ sebagaimana pendapatnya Nietzsche bahwa "dimanapun ada makhluk hidup, di situ ditemukan kehendak untuk kuasa. Bahkan dalam abdi ditemukan kehendak menjadi tuan" yaitu dimanapun ada kumpulan manusia disitu pasti juga sedang berlangsung suatu pertarungan kekuasaan, menjadi pihak dominan adalah tujuan dari orang yang gila kekuasaan, lebih gila lagi ketika berharap dapat mendominasi tanpa harus turut memegang (bertanggung jawab) suatu jabatan. Istilah populernya kini adalah "Sengkuni", tokoh wayang yang tiba-tiba jadi ikon politik.
Kembali pada permisalan diatas, dalam suatu organisasi yang didalamnya adalah suatu petarungan kekuasaan, ketuanya selalu menggembar-gemborkan pelaksanaan demokrasi dengan mayoritas suara atas segala kebijakan yang ada dalam organisasi tersebut, mayoritas suara adalah dimana kebijakan ditentukan oleh suara terbanyak yang mendukung kebijakan dengan mengabaikan suara/kepentingan minoritas. Hal demikian sebenarnya malah rawan manipulasi, dalam kondisi suatu organisasi yang terpecah dalam faksi-faksi, pihak yang dekat dengan kekuasaan adalah pihak yang diuntungkan.
Pernah dulu seorang teman cerita, dalam organisasinya yang memang pada dasarnya terdiri atas beragam faksi, dia menyoroti perilaku rekan-rekannya yang cenderung dominan, ada terdapat dua faksi menurut teman saya dalam organisasinya yang sepertinya ketua dari organisasi tersebut terkesan tidak memihak pada salah satu faksi yang ada, dan teman saya ini sepertinya berada pada faksi yang tidak dominan. Dalam setiap mengambil keputusan, ketua organisasi selalu mengatakan bahwa keputusannya adalah hasil dari dia mengumpulkan pendapat (bertanya) kepada beberapa anggota yang dia anggap telah mewakili pendapat seluruh anggota yang padahal orang-orang yang selalu ditanya oleh si ketua adalah salah satu faksi yang dominan dalam organisasi tersebut.
Atau seperti yang telah menjadi kebiasaan pemerintahan kita, dimana dukungan parlemen lebih penting terhadap pemerintahan dari pada suara rakyat. Tanpa persetujuan DPR, tidak ada yang dapat dilakukan oleh eksekutif kita. Lebih parah lagi dimana kepentingan koalisi lebih berarti daripada kepentingan rakyat, terus terang hingga hari ini saya masih meragukan hubungan antara kepentingan rakyat banyak dengan keterwakilan rakyat di parlemen bahkan keterwakilan kepentingan rakyat dalam koalisi.
Musyawarah mufakat ternyata juga rawan manipulasi, tentunya terjadi akibat adanya upaya mendominasi kepentingan, dari sepanjang pengalaman saya tiap kali turut dalam musyawarah yang terjadi adalah adanya seting jalannya musyawarah, masih mending jika yang terjadi adalah dominannya mereka yang pandai bicara, tapi kalau suatu musyawarah sudah diseting maka yang ada adalah manipulasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar