Pramoedya Ananta Toer

"kau pribumi terpelajar! Kalau mereka itu, pribumi itu, tidak terpelajar, kau harus bikin mereka jadi terpelajar. Kau harus, harus, harus bicara pada mereka, dengan bahasa yang mereka tahu"

Jumat, 08 Februari 2013

Ijazah, ilmu, amal dan kemanusiaan

Tadi pas ndengerin khotbah Jum'at ada konsepsi menarik, sekali lagi saya gagal mendengar nama Bapak Khotibnya, yang pasti tadi saya sholat Jumat di Masjid Sabilillah. Membahas tentang keikhlasan, pas sekali dengan yang sedang saya pikirkan: ikhlas tanpa batas.

Begini bunyi konsepsi tadi "orang jadi rusak karena tidak berilmu. Orang berilmu rusak karena tidak diamalkan, orang mengamalkan ilmu jadi rusak karena tidak ikhlas", jadi bisa dikatakan untuk jadi manusia adalah tidak perlu ijazah. Orang berijazah pada kenyataannya (sementara di negeri ini) tidak memberikan banyak hal pada bangsanya, seringnya malah menambah kesusahan kepada bangsanya dengan perilaku korupsi.

Memang tidak perlu kiranya sampai terheran-heran dengan realitas, kewajaran dari masyarakat "kekinian" adalah pola pikir yang memandang bahwa ijazah adalah salah satu syarat untuk bertahan hidup, entah bagaimana mendapatkannya, ini adalah keterasingan terhadap kemanusiaan dan ini adalah hal wajar.

Semuanya sudah serba terlanjur dalam masyarakat kita, terlanjur terkonsep dalam alam pikir masyarakat, sulit untuk merubahnya, bukan berarti tidak bisa berubah, hanya sulit. Ijazah adalah latar belakang, sama seperti masyarakat bangsawan kita yang menang atas dasar latar belakang, masyarakat yang banyak yang selalu diposisikan sebagai pihak yang kalah berusaha untuk mengungguli masyarakat bangsawan dengan turut menciptakan latar belakangnya dengan ijazah-ijazah.

Bukan hanya sedemikian itu, bagi para penganut marxis (bukan sosialisme ilmiah tapi yang komunis) memandang bahwa pendidikan dalam masyarakat kapitalis akan menjadi proses bagi penyebaran ideologi kapitalisme agar tatanan itu tetap bertahan, yaitu menciptakan manusia-manusia yang menjadi bagian dari berjalannya mesin kapitalisme. Pendidikan adalah upaya mereproduksi ideologi, cara pandang, pengetahuan, dan keterampilan agar kapitalisme bisa berjalan. Dan sepanjang sejarahnya, pendidikan Indonesia diisi oleh mereka yang berasal dari kaum feodal dan borjuis, ada benang merah disini, yaitu kemapanan baik oleh bangsawan dari kaum feodal maupun para borjuis lama dan baru. Jika ada yang protes maka saya sarankan melihat fakta yang ada dimana pendidikan hanya mengupayakan terbentuknya masyarakat kelas, berdasarkan klasifikasi kelas sosial. Inikah negara bangsa?.

Mahalnya biaya pendidikan dan tidak adanya kesempatan menikmati pendidikan yang layak dan merata adalah peluang untuk menciptakan suatu tatanan masyarakat yang berdasarkan klasifikasi kelas sosial. Sebenarnya semua itu sudah cukup untuk menjelaskan keadaan yang ada, tapi bagi saya belum, sebab dalam kondisi yang serba terlanjur ini ada kesempatan yang sederhana dan belum dicoba sama sekali, yaitu membenahi fungsi pendidikan bagi masyarakat, dimana masyarakat sampai saat ini masih dianggap sekedar sebagai konsumen, membenahi fungsi pendidikan yang didalamnya juga adalah mencari dan mengembalikan jati diri guru.

Guru, mereka ini pada dasarnya kini juga termasuk dalam kelompok manusia yang terasing dari kemanusiaannya, jadi guru untuk bertahan hidup, padahal guru disini diharapkan jadi "pelita" dalam kegelapan, dalam etika Jawa (saya tidak menyebut etika kejawen) guru adalah "sumur sinaba" tempat para manusia menimba ilmu. Guru adalah orang yang telah memperoleh pencerahan yang tidak akan menutup keingintahuan para siswanya sebagaimana yang tertulis dalam kitab atharwa weda XX.21:2, bahkan bagi umat hindu seorang guru yang telah memiliki kecerdasan dan kebijaksanaan seorang sarjana dianggap sebagai pengejewantahan dewa-dewa.

Kecerdasan dan kebijaksanaan seorang sarjana, dalam kisah Mahabarata orang seperti ini disimbolkan dalam tokoh Durna, tapi kita tidak sedang membahas pewayangan kali ini, kita sedang membahas ilmu dan keikhlasan. Kembali pada konsepsi dari mimbar Jum'at tadi, yang sejatinya juga menutut kehidupan yang sederhana sebagaimana pernah diungkapkan oleh Pramoedya Ananta Toer "semakin tinggi sekolah bukan berarti semakin menghabiskan makanan orang lain. Harus semakin mengenal batas" yaitu semakin dalam ilmu yang dimiliki orang maka seharusnya semakin dalam pula ia mengenal kemanusiaan, tidak saja hanya terkait hubungan antara manusia tapi juga tentang hubungan manusia dengan tuhan. Tidak terbayang jika keadaan akan tetap sama dimana guru dan para manusia berilmu malah terasing atas kemanusiaannya, sedang kita sama-sama sedang mengharapkan kehadiran seorang pemimpin yang baik yang berkualitas, pemimpin yang baik lahir dari masyarakat yang baik.

Kenapa terjadi keadaan dimana orang berpendidikan malah terasing adalah karena dalam kapitalisme-liberalist pendidikan menjadi lahan bisnis yang menguntungkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar