Pramoedya Ananta Toer

"kau pribumi terpelajar! Kalau mereka itu, pribumi itu, tidak terpelajar, kau harus bikin mereka jadi terpelajar. Kau harus, harus, harus bicara pada mereka, dengan bahasa yang mereka tahu"

Senin, 25 Februari 2013

Budaya dan pendidikan (IV)

Setelah saya menerbitkan judul "Budaya dan pendidikan (III)" saya beberapa kali menerima pesan lewan SMS, nomor-nomornya pun tidak saya kenal, dari pesan tersebut menanyakan hubungan antara kepekaan sosial dan pendidikan.

Memang pada bagian (I) dan (II) pembahasannya seputar teknologi dan pendidikan dan keduanya adalah unsur dari budaya, hal ini berdasarkan rumusan tujuh unsur budaya Koenjaraningrat. Pada bagian ketiganya saya malah membahas tentang kepekaan sosial yang saya awali dari trilogi pendidikannya Ki Hajar Dewantara. Bukan tanpa alasan, budaya dan moral akan selalu bersamaan, budaya akan turut menyertakan nilai-nilai moralnya, dan bicara tentang moral sudah pasti akan juga membicarakan tentang kemanusiaan, moral itu adalah kemanusiaan itu sendiri dengan begitu kepekaan sosial adalah penting disini.

Kepekaan sosial yang saya maksudkan adalah bukan sekedar membangun watak welas asih tapi juga tanggung jawab dan kesadaran untuk menjaga nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri. Selain juga untuk menanamkan kedisiplinan lewat suatu kebiasaan bukan lewat ketakutan. Dengan begitu kepekaan sosial juga mampu memperkuat sanksi sosial yang ada, ini penting. Sebab tanpa adanya kepekaan sosial orang akan cenderung apatis dan masa bodoh, dan jika itu terjadi maka peraturan hanya akan menjadi sekedar peraturan tanpa sanksi. Singkatnya orang akan menganggap peraturan dibuat hanya untuk dilanggar, tidak disiplin karena hanya akan taat ketika ada yang mengawasi. Dan semua ini masih dalam bahasan budaya.

Menumbuhkan kepekaan sosial adalah sangat sederhana, bahkan mungkin tanpa perlu menggunakan teknologi atau retorika yang biasa kita sebut "seruan moral". Akan saling terkait pula dengan kepedulian lingkungan, kebersihan misalnya, kebiasaan masyarakat kita akan hal ini masih cukup rendah, kita akan dapat dengan mudah menemui sampah berserakkan di jalan-jalan dan di sekolah, bahkan pada lokasi yang kita sebut taman. Aturan dan peringatannya sudah cukup jelas "buanglah sampah pada tempatnya" tapi apalah gunanya kalau kita sendiri tidak peduli? Hormatilah pejalan kaki, dimana terdapat wilayah-wilayah milik para pejalan kaki yang sepertinya saat ini para pejalan kaki harus juga berkompetisi dengan kendaraan-kendaraan dan para penjual di wilayah-wilayah tersebut, ini terjadi karena tidak adanya kedisiplinan dan lebih karena kita-kita juga yang tidak mau peduli hingga menelantarkan kemanusiaan, keselamatan orang lain, hak orang lain.

Kepedulian sosial dapat ditumbuhkan dengan keteladanan, misalnya~anggap saja pada kondisi lingkungan dimana didalamnya juga terdapat aturan-aturan tentang segala hal yang dibutuhkan oleh lingkungan tersebut, termasuk juga dengan kedisiplinan dan sudah pasti segala peraturan yang ada adalah untuk menjamin kedisiplinan, menumbuhkan kedisiplinan anggota lingkungan tersebut. Peraturan seperti itu sudah pasti juga menyertakan sanksi bagi pelanggarnya, seperti "point" dalam setiap pelanggaran di sekolah oleh para siswanya. Lalu pada suatu ketika keberadaan sanksi yang ada tidak diindahkan oleh anggota lingkungan tersebut karena para anggota akan taat ketika sedang dalam pengawasan saja, apalagi diluar lingungan. Hal seperti ini akan jadi tambah berbahaya ketika menjangkiti lingkungan yang disebut trilogi pendidikan oleh Ki Hajar Dewantara: keluarga, sekolah dan masyarakat. Apalagi ketika masyarakat tidak lagi memiliki kepedulian, sanksi sosial tidak berlaku dan cenderung mewajarkan situasi-situasi yang penuh dengan kecurangan.

Kalau keadaan semacam itu ada berlaku dalam suatu lingkungan sekolah maka habislah modal sosial sekolah tersebut alias tamatlah riwayatnya sebagai salah satu komponen trilogi pendidikan. Keteladanan penting sebab dalam kondisi sebagaimana diatas peraturan hanya jadi sekedar tulisan, dibuat hanya untuk dilanggar, tindakan paling efektif untuk menganulir adalah dengan memberi keteladanan bagi yang lain, apalagi yang dapat dilakukan jika sanksi tidak berlaku selain mencontohkan keseharusan? Sebagaimana seorang guru tidak perlu lagi segan untuk memungut sampah di dalam kelas saat dia mengajar, itu adalah keteladanan, tidak perlu marah-marah sekedar untuk memperlihatkan kejengkelan. Sebenarnya hal ini saya dapati ketika menjumpai kondisi suatu lingkungan dimana peraturan ada tanpa sanksi dan lebih parah lagi dimana sanksi sosial ternyata juga sedang tidak berlaku.

Gambaran sederhananya, budaya turut menyertakan moral, moral adalah juga kemanusiaan dan dari sanalah terbit juga sanksi sosial lewat peraturan-peraturan yang tidak tertulis, norma, sanksi sosial ada karena kebiasaan dan kesadaran sebagai manusia. Kesadaran akan kemanusiaan selalu muncul sebab adanya kepekaan terutama sekali kepekaan sosial. Kepekaan sosial tidak dapat muncul begitu saja sebab ia harus dibiasakan, tentunya lewat pendidikan. Lingkungan yang menjadi komponen utama penggerak pendidikan adalah sebagaimana yang diungkapkan Ki Hajar Dewantara lewat trilogi pendidikan: keluarga, sekolah dan masyarakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar