Pramoedya Ananta Toer

"kau pribumi terpelajar! Kalau mereka itu, pribumi itu, tidak terpelajar, kau harus bikin mereka jadi terpelajar. Kau harus, harus, harus bicara pada mereka, dengan bahasa yang mereka tahu"

Rabu, 27 Februari 2013

Politik penyanderaan, dari realitas hingga kisah wayang

Politik penyanderaan, suatu istilah yang baru saya kenal, mungkin juga baru kita kenal atau hanya saya yang mengenal? Sebab saya dapati dari lamunan saya sendiri. Awalnya mendengar istilah ini dari teman-Pak Sholichul Hadi, ketika berkomentar tentang kasus Anas Urbaningrum.

Memang jadi suatu pertanyaan "kenapa Pak Anas baru buka-bukaan setelah ditetapkan sebagai tersangka? Kenapa tidak emarin-kemarin?" Atau bahkan bukan hanya Pak Anas, tapi memang inilah kebiasaan masyarakat Indonesia? Kebiasaan yang sulit ditinggalkan sebab orientasi hidup hanya "stop" pada urusan duniawi, hedon, pun dapat bermanfaat untuk membangun alibi saat kecurangan mulai tersentuh hukum.

Kasus penyanderaan biasanya dilakukan oleh seseorang atau kelompok untuk menuntut atau meminta dengan cara menahan seorang korban, menyembunyikan disertai dengan ancaman. Seperti film-film aksi, penyanderaan selalu dilakukan oleh para bandit untuk memeras atau menuntut pihak lain melakukan sesuatu yang diinginkan oleh si bandit.

Kalau di film biasanya si bandit mati untuk mengakhiri film tersebut, korban penyanderaan biasanya bebas meskipun dengan penuh luka dan tuntutan bandit dapat digagalkan. Tapi itu film. Lain kalau sudah terjadi dalam kenyataan hidup, apalagi dalam dunia politik.

Dalam dunia politik biasanya korban penyanderaan~kalau korbannya ini manusia, akan tetap bebas, tidak sedang dalam belenggu. Pelakunya, banditnya sama saja seperti di film-film yaitu suka menebar ancaman, tidak terdapat kawan dan lawan yang abadi, semuanya serba kepentingan. Seperti juga yang terjadi akhir-akhir ini, dimana beberapa tokoh politik negeri ini mampu mempertahankan jabatannya dengan cara menyandera (mengancam) yang biasanya diawali dengan kecurangan yang dilakukan secara berjamaah, lalu masing-masing saling mengancam akan membuka aib masing-masing jika terdepak nantinya. Atau terjadi sebagaimana yang dikisahkan oleh lakon wayang "Banowati":

Pertentangan dua kubu, Pandawa dan Kurawa, semakin menghebat, keduanya semakin aktif membangun aliansi, laga bharatayudha semakin jelas terlihat didepan mata. Pada suatu kesempatan Sengkuni memberi petuah kepada Duryudana untuk merangkul kerajaan Mandaraka dibawah pemerintahan Prabu Salya dengan cara meminang salah satu putri dari Prabu Salya.

Sebelum Duryudana berangkat meminang salah satu putri Prabu Salya, terdengar kabar bahwa seorang putri Prabu Salya yang bernama Erawati diculik oleh Baladewa untuk diperistri dan seorang lagi yang bernama Surthikanti dilarikan Karna untuk maksud yang sama. Tinggal satu orang lagi yang bernama Banowati, dan hal ini membuat Duryudana ragu sebab Banowati adalah kekasih dari musuh bebuyutannya, Arjuna.

Tapi yang namanya politik tentunya harus menggelitik, keraguan harus disamarkan agar tidak terlihat lawan. Pinangan harus segera dilakukan, perang sudah akan dikobarkan. Berangkatlah Duryudana ke Mandaraka dan pinangannya diterima oleh Prabu Salya sebab seserahannya yang berlimpah ruah, akan tetapi Banowati menolak halus pinangan tersebut dengan mengajukan syarat bahwa ketika menjelang pernikahan, saat prosesi siraman harus dilakukan dengan dimandikan diruang tertutup dan yang memandikan adalah Arjuna.

Sebenarnya ini merupakan pukulan telak bagi Duryudana yang langsung tersinggung, tapi disampingnya adalah sengkuni yang licik dan mahir berkata-kata. Sengkuni kembali memberi petuah agar Duryudana tetap meminang Banowati demi kerajaan Hastina, Duryudana dibujuk dan dibakar nasionalismenya-tentunya dengan turut meniupkan kebencian terhadap kadang Pandawa.

Godaan kekuasaan menutupi kehormatan seorang raja, kekhawatiran nantinya Arjuna akan mendahului menikahi Banowati yang berarti lepasnya satu aliansi menjadi ancaman tersendiri, maka Duryudana harus tetap menikahi Banowati.

Setelah menikah, hati Banowati masihlah milik Arjuna, dikisahkan juga tentang perselingkuhan antara Arjuna dan Banowati hingga Banowati melahirkan seorang anak yang wajahnya mirip dengan Arjuna, atas hal ini para dewa mengabulkan permintaan Arjuna untuk menyelamatkan nasib anak dan kekasih gelapnya itu. Dikabulkan, bayi yang diberi nama Lesmana tersebut seketika berubah wujud jadi sosok yang lain, dan dewa-dewa turut menyembunyikan aib tokoh yang dipilihnya.

Dipihak lain, ada tokoh bernama Aswatama yang sebenarnya lakon hidupnya juga terpengaruh oleh kejadian-kejadian ini sebab tokoh ini juga mencintai Banowati dan memendam dendam baik terhadap Pandawa (khususnya Arjuna) dan Kurawa, tapi dia tidak masuk dalam maksud saya untuk menjelaskan "politik penyanderaan" ini. Cukuplah tentang cinta segitiga antara Banowati, Duryudana dan Arjuna yang bukan sekedar sebagai kisah pelengkap perseteruan, tapi sekaligus (ketiganya) adalah korban dari politik, aktor utamanya disini adalah Sengkuni, siapa lagi?.

Dari kisah diatas yang menjadi korban penyanderaan sebenarnya adalah Banowati yang nanti pada akhir kisahnya ia juga terbunuh, dibunuh oleh sang pemuja rahasia, Aswatama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar