Jum'at Pagi
Kemarin sinyal modem hancur, jadi baru bisa "ngeblog" pagi ini, mungkin target sehari satu judul sudah berakhir dengan "galau"nya sinyal modem kemarin, tapi saya akan tetap menulis untuk menemukan Indonesia.
Karena kemarin tidak bisa "ngeblog" maka saya sempatkan untuk nonton TV sampai malam, hanya ada dua tayangan yang menarik dari dua puluh chanel tv yang ada di rumah, dan keduanya ditayangkan bersamaan saat saya memutuskan untuk mau mengakhiri nonton tv kemarin.
Di TV One ada ILC, judulnya "korupsi meruyak, negeri sekarat" dan di Metro TV ada juga acara serupa cuman saya tidak tahu nama acaranya, begitupun dengan temanya, yang berhasil saya tangkap adalah ada seorang staff kepresidenan yang turut hadir disana. Karena penjelasannya tidak begitu mengena maka saya sering meninggalkan acara ini, saya lebih intens ke ILC.
Memang pada dasarnya kesejahteraan sosial, kestabilan politik dan peran pasar adalah tiga hal yang penting, ketiganya harus jalan, seimbang. Tapi yang terjadi di negeri ini adalah peran pasar lebih besar, kesejahteraan sosial hanya dalih penghibur saja, bagaimana tidak jika warga negara masih juga diposisikan sebagai konsumen. Ini negeri tanpa pengabdi, semua jadi serba pamrih.
Di channel ILC jadi lebih ramai, bukan saja karena dihadiri oleh para profesor, pejabat dan wartawan senior, tapi dari satu tema "korupsi meruyak, negara sekarat" tiba-tiba permasalahan berkembang, meskipun "sang moderator" Pak Karni Ilyas selalu berusaha mengembalikan pembicaraan kepada tema tapi tetap saja komentar dan pandangan-pandangan yang ada sering membuka jalur-jalur permasalahan baru.
Pak Yusril Ihza Mahendra melontarkan pandangannya dengan mengkritik pelaksanaan sistem di Indonesia, menurutnya bangsa ini anti terhadap korupsi, membuat peraturan tentang anti korupsi untuk mengupayakan pemberantasan korupsi tapi masih juga membuka peluang terjadinya korupsi. Beliau mencontohkan dengan penyelenggaraan Pemilukada yang memberikan peluang besar terhadap terjadinya korupsi.
Dari pemaparan yang ada sepanjang acara adalah Pemilukada memiliki banyak kelemahan yaitu tidak adanya pembatasan dalam penyelenggaraannya, asal punya modal langsung maju dalam pencalonan, dan modal yang terutama disini adalah uang. Semakin banayak uang yang dikantongi sebagai modal, maka semakin bebas untuk berbelanja keperluan kampanye. Tidak cukup hanya berhenti disitu, begitu mencapai tujuan, sebagai kepala daerah maka sekaligus harus bersiap untuk pencalonan berikutnya, dana kampanye tentu dari hasil selama menjabat, jadi disamping memikirkan cara untuk balik modal, tentunya juga harus dipikirkan modal untuk bertahan. Selesai? Belum, masih ada penyakit akut lainnya, yaitu nepotisme.
Pandangan kepala daerah yang hadir juga segaris dengan itu, dan pandangan mereka terkesan menyesali penyelenggaraan Pemilukada dengan sistem demokrasi langsung tersebut, sepertinya lebih menginginkan atau bahkan merindukan sistem yang lama dimana kepala daerah dipilih dengan cara keterwakilan atau bahkan penunjukkan sebagaimana yang dilaksanakan pada masa orde baru.
Ada pendapat dari seorang profesor yang tidak saya kenali namanya, yang pasti guru besar tata negara dan bukan Pak Mahfud MD, menyatakan bahwa yang terpenting adalah pembatasan atas penyelenggaraan pemilukada, segala pembatasan harus diatur lebih tegas, termasuk membatasi kewenangan kepala daerah yang memang sampai hari ini masih bersifat absolut.
Hingga saya tinggal tidur tidak ada sama sekali dari tokoh-tokoh tersebut yang mempersoalkan mentalitas, memang peraturan perundang-undangan adalah sangat penting untuk membentuk dan menjalankan sistem, tapi apalah arti suatu peraturan jika dari yang mengatur hingga yang diatur adalah manusia bermental maling? Korupsi, nepotisme, kolusi dan koncoisme itu terjadi hingga daerah, bahkan didaerah dan pada wilayah-wilayah swasta keadaannya sudah cukup mengerikan. Jadi tambah mengerikan adalah ketika hal-hal tersebut juga menjangkiti wilayah pendidikan.
Bagi saya biang keladinya adalah bergesernya status warga negara menjadi konsumen, dimana peran pasar jadi sangat besar, negara hanya membela kepentingan pasar, selanjutnya adalah menimbulkan krisis sosial yang berlanjut pada krisis moral. Penanggulangan dengan cara pembatasan lewat penegasan sanksi adalah sangat penting. Ingin sekali saya berkata kepada seluruh masyarakat negeri ini "orang jadi rusak karena tidak berilmu, orang berilmu rusak karena tidak diamalkan. Orang mengamalkan ilmu jadi rusak karena tidak ikhlas", mengabdi tanpa pamrih sepertinya tidak ada sama sekali di negeri ini, semua orang sepertinya gila hormat, gila kekuasaan.
Dalam acara ILC kemarin Pak Sujiwo Tedjo juga berkesempatan menampilkan kebolehannya sebagai dalang, judulnya kemarin saya tidak sempat membaca sebab terkesima dengan kritik-kritiknya. Yang pasti ketika para kesatria negeri tidak mampu menumpas kebathilan, maka yang jadi tumpuan terakhirnya adalah sosok Semar. Semar, barang sing samar kata orang Jawa, yang dimaksud adalah Tuhan, kehendak Tuhan pada akhirnya teraplikasi lewat tindakan rakyat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar