Tadi waktu menjalani tugas piket ada beberapa orang siswa menghampiri saya dipelataran ruang guru, sebagai anak-anak mereka cenderungnya lebih banyak bergurau dan bertanya, dari masalah persenjataan; perang dunia; hingga degradasi moral yang sedang dihadapi oleh generasi ini. Syukurlah ada yang menyadari hal ini, meskipun mungkin hanya sekedar pertanyaan "iseng" tapi toh wacana ini sudah ada dikepala mereka.
Ada pertanyaan sedikit "filosofis" tadi, meskipun anak-anak tapi pertanyaannya sampai kebawa pulang "kapan dapat kita bicarakan kemanusiaan?" Awalnya saya pikir pertanyaan ini hanya sekedar main-main hingga ia memperjelas sudut pandangnya "tadi anda bicarakan tentang kemungkinan terjadinya perang dunia ke tiga dengan melihat persiapan negara-negara Asia yang gemar belanja senjata, sedang kemiskinan dan pelanggaran HAM masih jadi tema utama di negara-negara ini" demikian penjelasan sudut pandangnya.
Saya tidak berpikir panjang tadi, saya hanya memberi sudut pandang saya "kemanusiaan hanya dapat dibicarakan oleh kalangan manusia, maksudnya adalah suatu kegoblokkan tersendiri membicarakan moral ditengah-tengah perebutan kekuasaan", mungkin muncul banyak sekali pertanyaan dalam diri siswa itu, begitupun dengan saya "moral? Kalangan manusia? Perebutan kekuasaan? Apa hubungannya dengan kemanusiaan?"
Tentunya adalah pertanyaan awal, "kapan dapat kita bicarakan kemanusiaan?", kapan? Bisa saja kita jawab "setiap saat" tapi apakah nantinya dapat mengena? Apakah pembicaraan atas kemanusiaan ini tidak sekedar hanya 'seruan moral' semata? Kita butuh solusi.
Membicarakan kemanusiaan dengan orang yang gila kekuasaan atau minimal gila hormat adalah kesia-siaan, mungkin malah kita dianggap sebagai seorang munafik. Tapi itu hanya kemungkinan, sebagaimana yang saya dapati dari pengalaman saya, bagaimanapun pengalaman tiap-tiap orang berbeda, dan toh hingga saat ini tetap saja ketika membicarakan kemanusiaan saya harapkan selalu kesadaran dari lawan bicara, termasuk dengan para siswa ini.
Tentang moral dengan kemanusiaan tidak perlu dipertanyakan lagi, kemanusiaan itu ya moral itu tadi, apa saja yang kita anggap menyalahi aturan moral kita anggap sebagai tidak manusiawi, dan kemanusiaan akan tetap sama dimanapun dan kapanpun. Dalam hal perebutan kekuasaan, jangan jauh-jauh berfantasi tentang perang dunia ataupun politik nasional yang memang penuh dengan intrik kepentingan, kepentingan, sudah pasti kekuasaan. Kekuasaan tidak hanya sekedar jabatan, tapi juga mengenai pengaruh. Cukuplah melihat lingkungan masyarakat kita.
Dalam masyarakat kita yang langgeng adalah tradisi feodal yang kuat karena sejak sejarahnya kolonial hal tersebut sengaja dimanfaatkan, tentunya untuk kepentingan kolonial, setelah kemerdekaan juga tidak lebih baik, apalagi masuk jaman orde baru. Masyarakat feodal kita masih terperangah dengan mewahnya kebangsawanan, gila hormat-gila kuasa adalah perilaku dari masyarakat feodal kita.
Tidak pernah sekalipun saya temui orang yang gila kekuasaan ataupun hanya sekedar gila hormat (meskipun keduanya sama saja bagi saya) yang mengindahkan kemanusiaan. Sejarah pada dasarnya telah memberi gambaran contoh kasus tentang hal ini, seperti yang pernah terjadi di Jerman pada masa kepemimpinan Adolf Hitler, dimana bayi-bayi banyak yang dibunuh hanya karena ukuran kepala mereka tidak sesuai standar yang ditentukan oleh pemerintah setempat. Atau sebagaimana yang terjadi di China, ketika pemerintah China menetapkan bahwa satu keluarga hanya boleh memiliki seorang anak, yang selanjutnya setiap keluarga di China memilih anak laki-laki daripada anak perempuan, kalaupun yang terlahir perempuan pastinya kalau tidak dibunuh ya dibuang.
Memang sebagai manusia kita memiliki kebebasan, termasuk bebas dalam menentukan siapa kita, tapi kebebasan itu pada dasarnya harus dapat dipertanggung jawabkan secara moral. Saya kutip cerita sebagaimana yang saya ceritakan kepada para siswa ini tentang cerita yang pernah ditulis oleh Pak Franz Magnis-Suseno:
Saya makan malam di restoran. Akhirnya saya harus membayar Rp. 2.450,-. Saya sodorkan secarik uang Rp. 5.000,-. Waktu saya menghitung-hitung kembalinya, ternyata pelayan restoran tadi mengembalikan Rp. 7.050,-. Sejenak saya senang: sudah makan enak malah masih diberi uang! Tapi segera hati saya menegur: kau harus segera mengembalikan uang kelebihan itu karena kau tidak berhak atasnya. Kalau tidak, pelayan restoran itu sendiri harus membayar kekurangan kasnya kepada pemilik restoran. Jadi saya sadar bahwa secara moral saya wajib untuk mengembalikan uang kelebihan itu. Tetapi sekaligus saya juga menyadari bahwa saya dapat juga tidak mengembalikannya. Saya tidak menggubris teguran suara hati saya. Saya bebas untuk menaati suara hati saya atau tidak. Dan dalam kebebasan itu saya sadari bahwa saya, hanya saya, yang bertanggung jawab atas perbuatan saya. Hanya karena saya memiliki kebebasan, saya dapat dibebani kewajiban moral.(Franz Magnis-Suseno, Etika dasar: masalah-masalah pokok filsafat moral, Kanisius, 1987)
Demikian, jikalau saya hanya memikirkan kesenangan, saya tidak akan mengembalikan uang lebih tersebut. Gila hormat dan gila kekuasaan hanyalah mengenai kesenangan, tidak akan mungkin ada kemanusiaan, bagaimana membicarakan "kemanusiaan" dengan orang yang sedang kehilangan kesadaran manusiawinya?.
Saya hanya dapat menutup obrolan dengan konsepsi "orang rusak karena tidak berilmu. Orang berilmu rusak karena tidak diamalkan, dan orang mengamalkan ilmu jadi rusak karena tidak ikhlas" sebagaimana dapat dengan mudah kita jumpai lingkungan yang penuh dengan pamrih maka rusaklah lingkungan itu, dalam lingkungan sedemikian itu yang ada adalah pertarungan, berebut kuasa, saling menguasai-mendominasi satu sama lain, kesenangan yang dibela, kemanusiaan hanyalah omong kosong di tempat seperti itu.
Atau dapat juga kita katakan bahwa moral yang pada dasarnya kemanusiaan itu adalah juga keikhlasan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar