Hampir dua bulan dalam pencarian Indonesia, semakin dalam dikenal semakin buram gambaran tentang suatu bangsa. Dibawah mendung yang menghitam dan bayang-bayang ancaman badai yang (mungkin) menyebabkan sinyal modem tidak begitu bersahabat, meskipun bukan suatu penghambat, tapi cukup mempersulit sekedar untuk membuka blog.
Sempat juga terpikir jika nasib bangsa Indonesia tidak jauh beda dengan suku Indian di Amerika sana, tergusur dan punah akibat keganasan pioner Amerika yang serakah, dan bangsa pendatang ini saat ini malah sedang larut dalam kebanggaan nasionalisme diatas tanah jajahannya. Tapi saya pikir lagi bangsa Indonesia tidaklah separah pengalaman suku-suku Indian tersebut, orang Indonesia masih berkembang biak, berlahiran meskipun hidup dalam penindasan sekalipun, sedangkan suku-suku Indian sepanjang yang saya baca menjumpai kepunahan setelah berjuang habis-habisan melawan bangsa pendatang.
Saya bicarakan tentang suku Indian, bukan masalah rasnya, kalau ras, sebagaimana dari pelajaran antropologi, suku Indian ini punya ras yaitu mongoloid. Ras mongoloid diambil dari istilah "Mongolia" suatu bangsa yang juga pernah berjaya dimasanya, bahkan pernah bikin gempar dengan penaklukkannya terhadap Baghdad. Ras mongoloid terdiri atas tiga sub-ras: Asiatik Mongoloid (Cina, Jepang dan Korea), Malayan Mongoloid (Melayu), dan American Mongoloid (suku Indian). Jadi kalau dilihat dari ras, maka sebenarnya suku Indian tidak sedang punah, ras mongoloid di Asia dapat dikatakan lebih berhasil menghadang kehadiran kolonialisme Eropa dibandingkan dengan ras mongoloid yang ada di Amerika.
Di Indonesia sendiri, dalam masalah sejarah penyebaran ras melayu (sub-ras mongoloid) dan belum bernama Indonesia sebenarnya telah ada-terdapat suku-suku asli, suku Wedoid dan Negrito, dua suku ini kemudian terdesak oleh kedatangan bangsa Melayu Austronesia ke Indonesia dan melarikan diri ke tempat-tempat asing untuk mengisolasi diri. Dan saya tidak ingin membahas ini, masalah pesebaran ras selalu membuat saya pusing sejak duduk dibangku SMU dulu.
Saya pikir lebih baik membaca Indonesia sejak jamannya Majapahit saja, itupun masih sering bikin pusing kepala saya. Atau lebih baik sejak masyarakat nusantara menyatakan diri sebagai satu bangsa, sejak terjadinya "Sumpah Pemuda" saja sebab lebih dekat dengan kesepakatan luhur dalam membentuk suatu bangsa yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur.
Lewat sumpah pemuda tersebut maka diharapkan lenyaplah batas-batas suku dan etnic yang ada untuk larut dalam satu kebangsaan Indonesia, termasuk juga dengan batas-batas ras. Lahirlah satu bangsa yang memiliki cita-cita dan nasib yang sama, Indonesia. Momentum ini pun ditanggapi bertahun-tahun kemudian dengan lahirnya rumusan pancasila sebagai kesepakatan luhur, kesepakatan untuk memperjelas arah suatu bangsa yang merdeka, kesepakatan akan cita-cita; gagasan tentang bangunan kemasyarakat yang diharapkan, masyarakat yang berkeTuhanan Yang Maha Esa, masyarakat yang berkemanusiaan yang adil dan beradab.
Barulah dengan momentum proklamasi 17 Agustus 1945 gagasan tersebut menemukan jalan yang lebih terbuka untuk diperjuangkan, tentu diperjuangkan, tidak hanya diperjuangkan dibawah ancaman senjata-senjata kolonial yang mencoba kembali berkuasa di tanah air ini, tapi juga diperjuangkan dengan membangun mentalitas dan karakter masyarakatnya.
Memang, diyakini bahwa pancasila terlahir dari kepribadian bangsa Indonesia tapi masih ada kemungkinan jika hal tersebut hanya disadari oleh beberapa orang saja, tentunya oleh orang yang memiliki kesempatan menempuh pendidikan lebih tinggi dari kebanyakan orang yang ada. Atau istilahnya para teknokrat saja yang menyadarinya.
Maka dengan alasan seperti itulah (mungkin) yang membuat dua regim awal mengambil tindakan untuk melakukan penafsiran tunggal terhadap pancasila, orla dengan demokrasi terpimpinnya dan orba dengan P4 nya. Meskipun demikian orde lama masih lebih baik untuk masalah ini, yaitu dengan usahanya menyetabilkan komponen masyarakat yang ada dan berpengaruh besar waktu itu: komunis, nasionalis dan agama lewat konsepsi NASAKOM nya Ir. Soekarno. Sedang pada masa orba, malah lebih terkesan "Jawaisme" daripada pancasila. Dan keduanya, baik orba dan orla bisa dikatakan gagal mewujudkan kestabilan, orba pernah saya baca dikatakan berhasil dalam mewujudkan kestabilan politik, tapi menurut saya tidak seperti itu sebab yang terjadi adalah ketimpangan. Bagaimana mungkin dikatakan stabil jika hanya menciptakan kemapanan bagi salah satu kelompok dan menindas kelompok yang lain? Konsekuensinya pun masih dapat dirasakan hingga saya tulis ini.
Dan sudah sepatutnya kita sebagai satu bangsa menolak atas penafsiran tunggal terhadap kesepakatan luhur tersebut, penafsiran tunggal terhadap pancasila hanya akan mewujudkan tirani, pancasila harus ditafsirkan secara kreatif dengan membuka peluang-peluang dialogis antar generasi, membangun kesadaran berbangsa yang tidak hanya dimonopoli oleh kalangan teknokrat saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar