Tidak bosan-bosan menulis tentang perlawanan aparat-aparat musik "underground" terhadap kemapanan, sebagaimana tidak pernah bosan untuk mendengar karya-karya mereka, meskipun sementara hanya dapat menulis tentang yang saya ingat, tapi pengalaman bagi saya adalah hal yang paling asyik untuk ditulis.
Kebosanan benar-benar melanda saya ketika saya memutuskan untuk meninggalkan kegemaran saya berolah raga, ada dua bidang olah raga yang saya pilih waktu itu: silat dan sepak bola, dan waktu itu saya pikir dua hal ini tidak akan banyak membantu saya nantinya. Sebagai seorang bek kanan di dua SSB (Gajayana dan Bina Bola) saya memiliki tubuh yang kurang proposional, terlalu kurus meskipun saya punya "sprint" dan gaya mirip Christian Panucci, tapi toh pada dasarnya waktu itu saya hanya termotivasi oleh ramainya suporter sepak bola, dalam hal ini terutama aremania. Jadi saya pikir kemungkinan karir saya bakalan "stop" hanya sebagai suporter.
Sebagai seorang pesilat pun tidak menguntungkan bagi saya, meskipun berhasil menguasai seluruh teknik (sikap) dasar dan berhasil merangkai gerakan untuk suatu momentum tapi saya mengalami kejenuhan akut waktu itu, tidak saja karena ujian kenaikan tingkat yang terlanjur saya bayar terus diundur, tapi juga karena saya sadari bahwa perkelahian jalanan sangat berbeda dengan beladiri, apalagi ketika terjebak tawuran diterminal atau di stadion, sama sekali berbeda.
Semenjak naik ke kelas tiga kehidupan berubah drastis, saya lebih sering di terminal dan alun-alun daripada di sekolah, mungkin karena kejenuhan juga saya jadi seperti itu, sementara saya sedang mengenal hal-hal yang dapat menganulir dogma-dogma, dogma yang senantiasa membuat bingung ketika dihadapkan dengan realitas. Hal-hal itu adalah musik "underground", pertama sekali yang saya kenal adalah genre grunge dan black metal.
Lucunya waktu itu adalah ketika pertama saya kenali mereka sebagai geng berandalan, sebuah kelompok yang mencari cara menghilangkan kebosanan dengan berkuasa di jalanan, dan punk adalah kelompok sasarannya. Tidak butuh waktu yang lama untuk saya sadari bahwa mereka adalah kumpulan para pecinta musik yang terbagi-bagi dalam faksi-faksi atas dasar jenis musik yang mereka dengarkan.
Tiap hari, begitu sore menjelang, jalanan diseputaran alun-alun berubah menjadi daerah hegemoni yang selalu siap jadi tempat pertempuran. Anak-anak punk pada waktu itu sering terlihat di depan Gajahmada Plaza, sedang para grungers berkuasa di halaman Ramayana Dept. Store. Di alun-alun yang waktu itu masih sesak dengan kehadiran warung-warung permanen terlihat lebih meyeramkan, ditiap pojokkannya ada pohon beringin yang dihuni oleh kalangan pemuda berambut panjang, Brigade Long Hair, ditengah-tengahnya ada kerumunan anak metal yang selalu siap menghajar anak-anak punk.
Di terminal Arjosari lain lagi ceritanya, selain preman dan anak jalanan (waktu itu anak jalanan tidak terpengaruh oleh kehadiran simbol-simbol punk) juga ada pasar gelap, menyediakan aneka kebutuhan yang tidak terdapat di pasar pada umumnya, dari obat-obatan, ganja, senapan, buku kiri dan album kaset musik "underground" yang tidak akan mungkin ada di toko kaset. Suasana juga cukup tegang disini dengan isu kehadiran intelijen dan persaingan antar pedagang. Saya kenal wacana kiri dari sini, meskipun pada waktu itu yang saya kenali hanyalah tindakan-tindakan "protes" terhadap pemerintahan, dimana kebijakannya yang selalu merugikan banyak orang tapi hal tersebut juga selalu ditutup-tutupi.
"Underground" menjadi jendela untuk melihat keluar waktu itu ketika buku-buku, media massa dan kesenian sendiri yang terhalang dan bahkan dimanfaatkan oleh regim berkuasa untuk menutup mata masyarakat terhadap kebenaran, maka "underground" menjadi satu-satunya jalur penghubung masyarakat yang terisolir secara politik terhadap kenyataan. Hal ini juga mengingat adanya koran-koran fotokopian (buletin) yang sebagian juga dikelola oleh pelaku "underground" ini.
Begitupun dengan keberadaan warung kopi, bahkan di Aceh yang pada waktu itu diberlakukan DOM keberadaan warung kopi malah jadi suatu tindakan subversif, di Malang sebenarnya adalah sama hanya saja tidak berlaku DOM disini, saya memulai belajar wacana politik disini selain dari syair lagu Iwan Fals dan musik "underground".
Yang saya sadari waktu itu adalah kehadiran kaum "kaum underground" ini sebagai bentuk perlawanan terhadap penindasan, mereka hadir bukan sekedar untuk menolak penindasan tapi juga menggambarkan akibat-akibat dari penindasan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar