Akhirnya bisa juga membuka dasbor blogger setelah beberapa minggu tidak dapat sinyal secara memadai, rencana untuk mencapai target sehari satu judul sudah tidak dapat dilanjutkan lagi. Tidak mengapa, terus saja menulis.
Masih ingat betul jalannya perdebatan di ILC mengenai RUU KUHAP, disana diatur juga mengenai penyadapan, zina dan santet. Tentang penyadapan sebenarnya itu penting dan sudah seharusnya jadi kewenangan tiap-tiap lembaga pemerintahan, terlepas dari setuju atau tidaknya. Lalu mengenai santet, kalau tidak salah yang diatur adalah permasalahan penawaran jasa dan barang mistik, tapi bukankah ini nantinya akan memunculkan permasalahan yang baru, yaitu fitnah.
Yang saya ingat betul adalah pendapatnya Ayu Azhari dalam acara tersebut, selain karena gerik-tingkahnya ketika didepan kamera yang selalu bikin saya terpesona, dari pendapatnya saya menemukan muasal keruwetan nilai moral, pendapatnya ini menggambarkan pola berpikir masyarakat Indonesia kekinian. Seingat saya Ayu Azhari mengatakan bahwa "hukum undang-undang harusnya berbeda dengan hukum moral" kurang lebihnya seperti itu, dan sampai hari ini saya belum menemukan pengertian dari "hukum moral" yang dimaksud.
Bagi saya segala peraturan perundang-undangan yang ada adalah aktualisasi dari nilai moral yang disepakati, maksud dari "telah disepakati" ini adalah nilai moral yang telah dinyatakan perlu untuk diberlakukan secara umum yaitu nilai-nilai yang merupakan bentuk penyempurnaan dari nilai-nilai sebelumnya untuk mencapai kesempurnaan yaitu kemanusiaan.
Membangun moralitas bukanlah suatu hal yang dapat dilakukan secara instan, seperti mengikuti kursus atau semacamnya, mungkin bisa tapi hanya sebatas pada sopan atau tidak, atau pantas dan tidak pantas.
Misalnya ketika mengikuti kursus bahasa/berbahasa, tentunya tidak sekedar belajar penerjemahan dan pemahaman semata, tapi ada kemungkinan juga mempelajari estetika dan norma sosial yang berlaku dalam masyarakat pemilik bahasa yang sedang dipelajari.
Jangan bercakap-cakap terlalu lama dengan orang Jepang atau orang Amerika karena percuma, sebaliknya jangan terlalu singkat bercakap-cakap dengan orang Arab karena bisa dianggap tidak sopan. Kesopanan berbeda tapi tidak dengan moral, sebab moral memiliki dasar kemanusiaan. Kemanusiaan akan sama dimanapun dan kapanpun.
Permasalahan moral dibangun selama berabad-abad dan mengalami kehancuran berkali-kali, dengan kata lain selama ini manusia mencari kemanusiaannya yang sepertinya selalu masih kurang, meskipun sebenarnya yang kurang itu bukanlah kemanusiaannya tapi kenyamanan orang terhadap kemanusiaan. Sebagaimana pandangan Hobbes lewat "state of nature" dimana manusia (secara individual) pada dasarnya punya sifat egois, negara ada untuk membatasi egoisme itu yaitu dengan memberi batasan hak, tapi karena manusia pada dasarnya tamak dan cenderung menyukai kebebasan daripada keterkekangan maka sepanjang sejarahnya ia akan selalu mencoba mencari peluang bagi kebebasannya, dari sinilah moral yang memiliki dasar kemanusiaan tersebut selalu dibangun dan selalu menemui kehancurannya.
Termasuk dalam hal RUU KUHAP ini, orang sepertinya tidak nyaman dengan kemanusiaannya hingga harus menemui perdebatan yang tidak ada ujung pangkalnya. Apakah zinah seperti "kumpul kebo" dapat diterima sebagian masyarakat dan sebagian tidak? Apakah nikah siri yang pada awal kemunculannya untuk mencegah perzinahan dan dalam perkembangannya malah jadi sarana kebebasan menyimpang ini menjadi tanggung jawab negara atau hanya "stop" sebagai wacana dalam masyarakat? Kita akan selalu membicarakan moral untuk mewujudkan universalisme moral, penyempurnaan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat, mengambil yang bermanfaat, mempertahankan yang baik dan meninggalkan yang buruk.
Saya sangat menyayangkan dalam RUU KUHAP ini tidak menyertakan sanksi bagi pengacara yang tidak mau menangani kasus yang dihadapi oleh masyarakat yang tidak mampu, sebab masyarakat mampu ataupun tidak mampu adalah manusia juga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar