Kemarin sinyal modem bener-bener kacau, sampai tidak dapat diisi pulsa, jadinya hari ini baru dapat membuka blog. Atas kejadian tersebut saya berpikir ulang untuk memenuhi target sehari satu judul dalam waktu setahun kedepan (sudah gagal kemarin), dan mungkin akan lebih baik jika dapat berkonsentrasi dalam satu hal, kenyataannya tulisan saya bukannya tambah tajam malah terkesan tergesa-gesa. Pun ternyata saya tidak memiliki ketahanan fisik untuk hal tersebut (nulis apa olah raga?).
Harus diakui, menjadi penulis blogger adalah sangat mengasyikkan, hanya saja kalau jadi rutinitas malah membosankan. Kedepan harus ada perubahan, sementara saya masih berkutat (tersandera) dalam permasalahan keseharian: tentang kepekaan-kepedulian sosial dan penelantaran kemanusiaan, sudah pasti permasalahan ini akan menyumbang banyak pengaruhnya terhadap tulisan. Saya benci pengkhianat bangsa sebagaimana saya benci untuk di khianati, pun semua orang adalah seperti itu, bagaimana mungkin kita dapat berdamai dengan orang yang mengkhianati hatinya sendiri? Apalagi mencintainya. Ini arahnya kemana? Tapi demikianlah gambarannya, kita senantiasa tidak ingin dikhianati~mengalun pula "21 guns"nya Green Day saat saya mengetik ini.
Ada banyak buku yang harus saya baca ulang, ada banyak kota yang harus saya kunjungi (meskipun untuk sementara saya masih terpenjara di kota sendiri) dan akan lebih banyak hal yang dapat saya tulis sebab ada banyak permasalahan yang harus diselesaikan. Indonesia, bangsa yang diangan-angankan belum juga diketemukan. Malah puitis?.
Kembali lagi pada masalah kepekaan sosial, kemarin di TVRI ada diskusi di suatu Universitas di Bali, membahas tentang korupsi, berawal dari pemilihan istilah "korupsi" yang diyakini adalah upaya untuk memperhalus bahasa. Menurut beberapa pembicaranya sebenarnya bangsa ini tidak mengenal istilah korupsi, bangsa ini hanya mengenal istilah "mencuri", terkait pada sebutan pelakunya maka hal ini harus diperhalus yaitu "koruptor" bukan maling, rampok ataupun garong. Padahal menurut saya lebih pas dengan tiga istilah terkahir tersebut.
Ada beberapa versi pendapat mengenai maraknya korupsi di negeri ini, versi pertama menyatakan bahwa maraknya korupsi terkait dengan semakin terbukanya informasi dibandingkan pada masa ORBA yang cenderung menutup-nutupi kejadian-kejadian yang seharusnya diketahui oleh publik (termasuk korupsi). Dari sudut pandang ini didapati bahwa sebenarnya korupsi adalah sudah menjadi tradisi, hanya saja karena terbukanya informasi maka masyarakat dapat dengan mudah dan cepat mendapati perilaku korupsi dari media massa yang ada.
Pendapat kedua adalah semakin ketatnya aturan hukum, dimana sudut pandang pendapat ini menekankan pada perbaikan peraturan perundang-undangan yang semakin disempurnakan dari waktu ke waktu, dari sini didapati jika sebelum reformasi seseorang dapat saja melakukan korupsi dengan memperalat hukum yang ada, terdapat hal-hal yang masuk dalam kategori perilaku korupsi yang tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan waktu itu dan setelah reformasi banyak hal diatur dalam peraturan perundang-undangan. Bahkan memberi hadiah kepada pejabat bisa saja dikatakan menyuap yang berarti adalah korupsi hari ini.
Pendapat ketiga adalah semakin rendahnya kepedulian sosial dan kepekaan sosial masyarakat, bukan hanya pejabat tapi seluruh lapisan masyarakat. Reformasi juga telah mengarahkan masyarakat pada sebentuk kesadaran individualistik, bukan tanpa sebab hal ini terjadi, bangsa ini seakan telah lelah mendapati dan terlibat dalam konflik-konflik yang pada dasarnya adalah konflik politik pada tataran pemerintahan pusat, masyarakat selalu saja ditempatkan sebagai kelompok yang memeriahkan konflik-konflik tersebut. Kebosanan ini muncul-tumbuh dalam masyarakat dalam bentuk apatisme yang kemudian mempengaruhi pula sikap dan pola pikir masyarakat kebanyakan, ditambah lagi dengan kenyataan bahwa hukum/peraturan-perundangan yang sangat tajam-ketat jika berhadapan dengan masyarakat kebanyakan (orang kecil) tapi tumpul dan seringnya malah terjebak dalam negosiasi ketika berhadapan dengan pejabat dan kaum ber'uang'.
Melemahnya kepekaan sosial-kepedulian sosial ini juga terjadi akibat masyarakat sendiri berorientasi cari selamat, lebih dari sekedar kebosanan untuk terlibat dalam konflik, tapi juga karena trauma. Kecenderungan untuk menghindari permasalahan yang ada yang malah berakibat fatal bagi masyarakat itu sendiri, misalnya saja dengan merebaknya kasus asusila belakangan ini. Kondisi ini pun bukan semata ada-berlangsung secara mandiri, atau muncul karena kecenderungan pola pikir masyarakat sebab sudah pasti ada yang memanfaatkan kecenderungan ini, yang berarti terdapat pihak-pihak yang mengharapkan masyarakat tetap dalam kondisinya; trauma, dimana kebutuhan hidup yang terus membebani dan sempitnya kesempatan kerja membuat masyarakat berpikir ulang untuk mengawasi lingkungannya.
Dengan melemahnya kepekaan dan kepedulian sosial ini maka masyarakat menjadi lahan subur untuk ditanami bibit kecurangan, tiga kerangka kecurangan yang menjadi penyakit segala bangsa: korupsi, kolusi dan nepotisme. Bukan suatu harapan untuk menjadi bangsa koruptif yang berarti suka mencuri yang berarti juga adalah bangsa "maling" bukan Indonesia yang demikian yang ingin diketemukan, tapi Indonesia yang berkepribadian, berketuhanan, berperikemanusiaan. Semoga saja, para negarawan mampu membaca dan mencarikan solusi atas hal ini, kita dapat berharap negarawan seperti Pak Mahfud MD dan Pak Yusril Ihza dapat bekerja sama dalam kerangka "bhineka tunggal ika" untuk membenahi bangsa ini.
Semoga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar