Saya sempatkan merenung ini tadi, ketika sedang khusuk ngopi dipinggir jalan. Tidak terawih, memanglah sudah jadi kebiasaan saya seperti ini. Sebetulnya dalam keadaan semacam ini saya harus menjauhi segala macam jejaring sosial, pikiran labil menebak apapun dari sudut pandang paling pesimis hingga terdengar narasi berulang-ulang "kemenangan bukan lagi milik yang benar, sebab keadilan tercipta oleh kekuasaan".
Istilah kekiniannya "galau", tentu, bagaimana tidak jika kerap kali mendapati penyimpangan yang terang-terangan dibela-diwajarkan. Cemburu? Memang, harus diakui itu. Tidak ada lagi yang dapat saya akui-saya rasai.
Ketimpangan-ketimpangan diharapkan ada-terdapat dan wajar, tentu untuk mempertahankan kemapanan kelas sosial. Kebenaran dan keadilan hanyalah pengganggu kemapanan. Tanpa daya perlawanan, sekedar penyaksian. Astaga.
Bagaimana mungkin kesadaran akan kenyataan sedemikian ini memaksa untuk bertahan dalam ketabahan? Dipaksa tunduk dalam ketertindasan, pengasingan. Sadar, perjuangan berujung pada kesia-siaan. Atau memang sedang "terhasut sepi?" Ini bukan tulisan yang serius, hanya menyempatkan diri mencatat sebentuk keadaan, dimana dan kapan aku kini berada, tentu dengan segenap penyaksian dan umpatan. Menyendiri tanpa pembelaan.
Sekali lagi "kemenangan bukan lagi milik yang benar, sebab keadilan adalah rekayasa kuasa" segala yang diwajarkan hanyalah upaya kekuasaan, penyimpangan dan penindasan jadi wajar hanya karena upaya kekuasaan.
Aku sedang berdiri, memandangi kenyataan yang berlangsung pada sebuah bangunan, institusi, tempat dimana kekacauan kerap disamarkan.
"Ya Allah biha, ya Allah biha, ya Allah biha, ya Allah bi-husnil khatimah"
......................................................................................................................................
"Suro diro joyoningrat lebur dening pangastuti" betapa tegas menjawab narasi yang berulang-ulang.
Suro = Keberanian.
Diro = Kekuatan.
Joyo = Kejayaan.
Ningrat = kekayaan, Kemewahan..
Lebur = Hancur, Musnah
Dening = Dengan
Pangastuti = Kebijaksanaan, Kasih Sayang, Kebaikan
Segala sifat picik, licik, kerdil dan keangkara murkaan hanya bisa dikalahkan dengan sikap bijak, lembut hati dan sabar. Kembali menundukkan panca indera, menggapai ketenangan hati untuk kembali mencari: Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar