Menjadi suatu kerja besar, membangun kebangsaan bagi suatu masyarakat yang tersusun dari beragam latar belakang, suku, agama dan ras. Inilah Indonesia, dalam persatuannya adalah nasionalisme yang tidak sempit, ia harus memberi ruang penuh bagi segenap paham dan keyakinan didalamnya, meskipun memang sudah seharusnya seperti itu nasionalisme/kebangsaan yang ada.
Nasionalisme yang diinginkan bukanlah suatu nasionalisme yang menjadi rintangan bagi paham atau "isme-isme" yang lain, bahkan terhadap agama. Nasionalisme yang dalam bentuk dasarnya adalah kesadaran yang menyempit tentang suatu masyarakat atas suatu paham, keyakinan, suku dan ras tidaklah dapat diterima lagi. Nasionalisme yang hanya menjadi perintang seperti itu sama saja dengan pembatasan terhadap kemanusiaan, dan ketika nasionalisme tidak lagi sesuai dengan kemanusiaan maka akan memunculkan proses tindas-menindas antar manusia.
Sungguh, kita tidak mengiginkan nasionalisme yang sempit yang tidak ramah terhadap kemanusiaan, apalagi nasionalisme sempit yang mengenyahkan kemanusiaan. Pun tidak pula menjadi suatu harapan ketika nasionalisme yang ada malah mendasarkan diri pada liberalisme~mungkin akan terbaca aneh: nasionalisme-liberalistik, tapi inilah yang sering muncul kepermukaan disamping nasionalisme yang membatasi diri dalam suatu latar belakang- latar belakang masyarakatnya.
Indonesia, Amerika dan Australia adalah contoh terbaik untuk menggambarkan bagaimana suatu nasionalisme dibangun dari beragam latar belakang, tidak berdasarkan agama, suku, dan ras. Tapi tentunya tidak menjadi suatu keinginan untuk menjadikan Indonesia seperti Amerika yang liberalistis. Kita bisa katakan Indonesia adalah Indonesia dengan keragaman yang membuatnya kaya akan warna.
Lalu bagaimana membangun nasionalisme/kebangsaan di Indonesia yang memiliki keragaman jika tidak seperti Amerika dengan menyandarkan diri dengan liberalisme? Tentu bisa, hal demikian sudah terjawab cukup lama, bahkan sebelum negara diproklamasikan.
Pancasila, inilah bentuk nasionalisme yang ditawarkan, ia bukan suatu "isme" yang kaku, rigid. Pancasila memberi ruang yang cukup untuk segenap paham dan keyakinan dalam masyarakatnya, pun juga tidak memberikan kebebasan mutlak kepada masyarakatnya, kebebasan yang ada masihlah berjalan diatas rel revolusi untuk mewujudkan tatanan masyarakat yang dicita-citakan, tentu suatu masyarakat yang berkeTuhanan Yang Maha Esa, suatu masyarakat yang berperikemanusiaan untuk mewujudkan suatu masyarakat yang berkeadilan sosial.
Jadilah tugas maha berat bagi suatu bangsa untuk membangun peradaban yang gemilang, peradaban yang manusiawi sajalah yang dapat kita gunakan.
Bagaimana kesadaran seperti itu dapat diwujudkan? Pertanyaan inilah yang muncul, kita tidak perlu membicarakan wujud nasionalisme jika tidak terlebih dahulu membicarakan kesadarannya, tentu kesadaran berbangsa, kesadaran akan suatu nasionalisme yang berdiri-mewujud dari ladang sejarah suatu masyarakat.
Jauh didalam pancasila tersimpan bentuk nasionalisme yang diharapkan, hal ini sebagaimana pendapat Ir. Soekarno tentang sosio-nasionalisme, dimana nasionalisme ini tidak sama seperti nasionalisme bangsa-bangsa Eropa, suatu nasionalisme yang tidak hanya mencari "gebyar"nya saja atau suatu nasionalisme yang hanya muncul lantaran sepak bola saja. Tapi suatu nasionalisme yang mendasarkan diri pada kecintaan terhadap rakyat jelata, nasionalisme yang memperjuangkan nasib rakyat jelata atau suatu nasionalisme yang didalamnya mengupayakan perbaikan hidup bagi sesama.
Bung Karno mendefinisikan sosio-nasionalisme ini dengan massa-rakyat yakni nasionalisme yang mencari selamatnya massa-rakyat. Pun juga suatu nasionalisme yang menentang pembentukan masyarakat yang berdasarkan kelas sosial, dalam hal ini Bung Karno berpesan “dalam perjuangan habis-habisan mendatangkan Indonesia Merdeka, kaum Marhaen harus menjaga agar jangan sampai nanti mereka yang kena getahnya, tetapi kaum borjuis atau ningrat yang memakan nangkanya.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar