Ki hajar Dewantara pernah mengedepankan trilogi pendidikan dalam upaya membentuk karakter dan mentalitas manusia Indonesia, trilogi tersebut adalah kerja sama antara keluarga-sekolah dan masyarakat, ketiganya harus serentak menjadi motor pembentuk karakter dan mentalitas generasi bangsa. Jika salah satu saja komponen ini tidak berfungsi sebagaimana mestinya maka salah satu komponen akan menjadi pusat konsentrasi, tumpuan, dan ini tidak baik sebab pada dasarnya malah menghancurkan tumpuan tersebut.
Inilah kenyataan yang ada terdapat di negeri ini, ketika hanya sekolah yang kini menjadi tumpuan, satu-satunya tumpuan, sekolah yang seharusnya merupakan lembaga pendidikan ini malah bergeser fungsinya, yaitu sebagai suatu hal yang layak dijual, indikasi awalnya adalah ketika sekolah merasa dibutuhkan oleh masyarakat, lalu ia membandroli dirinya untuk diperjual-belikan.
Sebaik apapun kebijakan pendidikan oleh pemerintah pusat sudah pasti dilapangan penerapannya lain, seperti halnya dengan telah dihapuskannya RSBI, apakah nantinya masih ada terdapat kelas "mandiri" atau model sekolah unggulan dan semacamnya? Yang tentunya semua itu~jangankan berpihak kepada rakyat, kepada pembukaan UUD 1945 saja tidak. Penghapusan RSBI sudah tepat, sangat tepat karena menghindarkan bangsa ini dari bentuk negara kelas, dan semoga saja pelaksanaan pendidikan nantinya juga demikian, lebih merakyat.
Saya pikir kebijakan pendidikan ini sudah tepat, tinggal bagaimana komponen-komponen pendidikan sebagaimana yang dimaksud dalam trilogi pendidikan Ki Hajar Dewantara tadi melaksanakannya, terutama sekali adalah sekolah yang sepertinya sedang memikul beban yang terlalu berat disini. Beban berat tentunya ketika sekolah menjadi satu-satunya tumpuan dari pendidikan dia masih harus berhadap-hadapan dengan kenyataannya saat ini, ia harus lepas dari kenyataan bahwa ia adalah barang pasar.
Kepekaan sosial akan dapat dimunculkan tidak hanya ketika sekolah mulai menerapkan kurikulum yang menekankan hal tersebut kepada siswanya, tapi perlu juga dukungan dari keluarga dan masyarakat, jika keluarga dan masyarakat bersifat terbuka maka kepekaan sosial akan terlatih dengan sendirinya, begitupun dengan sekolah. Sebaliknya jika keluarga dan masyarakat bersifat tertutup maka yang muncul hanyalah apatisme dan ketidak pedulian, padahal kepekaan sosial ini perlu, selain membangun suatu generasi yang peduli terhadap sesamanya juga dapat memperkuat sanksi sosial yang ada, kecuali jika memang masyarakat tidak menginginkan sanksi sosial tersebut, maka yang terjadi mungkin akan lebih tidak sehat dari lingkungan yang ada saat ini.
Kedisiplinan itu hanya dapat muncul dari kebiasaan, bukan karena ketakutan, dan kebiasaan akan dapat dibina dan berhasil guna ketika sanksi sosial ada, jika tidak maka yang terlahir adalah generasi yang apatis, masa bodoh dan dengan keadaan seperti itu kecurangan dan perilaku yang cenderung bebas tidak bertanggung jawab akan mudah ditemui.
Kalau pendidikan sendiri sudah terjebak pasar, ya jangankan berpikir tentang kedisiplinan, yang ada malah harapan bahwa sanksi sosial yang berawal dari kepedulian sosial tersebut benar-benar hilang, sebagaimana prasyarat kapitalisme: peran negara sekecil-kecilnya dan peran pasar sebesar-besarnya, prasyarat itu juga berlaku dalam hal pendidikan ketika ia terjebak dalam pasar.
Begitupun dengan permasalahan kemanusiaan, tanpa adanya kepekaan sosial yang terjadi adalah penelantaran terhadap kemanusiaan, meskipun ada terdapat rumusan peraturan perundangan dengan segenap sanksinya, tapi tanpa adanya kepekaan sosial yang menjamin adanya sanksi sosial dan kedisiplinan peraturan perundangan tersebut hanya akan jadi tulisan pasal-pasal semata. Toh hukum di negeri ini juga masih berpeluang untuk masuk dalam situasi "tawar-menawar".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar