Pramoedya Ananta Toer

"kau pribumi terpelajar! Kalau mereka itu, pribumi itu, tidak terpelajar, kau harus bikin mereka jadi terpelajar. Kau harus, harus, harus bicara pada mereka, dengan bahasa yang mereka tahu"

Jumat, 01 Februari 2013

Realitas keterasingan

Jum'at cerah, dari awal bangun tadi sudah malas untuk aktivitas, saya sudah merasa telah terjebak dalam rutinitas, kalau sudah terjebak dalam rutinitas sudah pasti akan mengorbankan kreativitas. Rutinitas adalah istilah untuk menggantikan keterasingan seseorang terhadap kemanusiaannya.

Dalam rutinitas, seseorang ibaratnya sebuah robot dengan program terbatas, jadi tidak ada kesempatan untuk mengembangkan potensi, kalaupun ada itupun hanya suatu kemungkinan kecil. Hidup hanya sekedar menumbuhkan pretensi, selebihnya adalah upaya untuk bertahan hidup.

Saya tidak begitu mengerti, mengapa semua yang ada dan yang ditemui memberi peluang untuk menyeret kepada kecintaan yang berlebihan terhadap dunia, selalu saja saya disadarkan bahwa kecintaan yang berlebihan terhadap dunia hanya akan mempersempit ruang gerak, hidup jadinya tidak bisa lapang sebab terus diburu kecemasan.

Kekayaan dan kehormatan bukan milik orang-seorang, yang seperti itu adalah milik tuhan, kita pun milik tuhan, kita hanya punya kewenangan untuk menjaga dan merawat segala yang dimiliki tuhan tersebut yang ada pada kita, nanti kita kembalikan, tentu dengan pertanggung jawaban penuh kepada Yang Maha Hidup-Maha Pemelihara.

Kecintaan terhadap dunia adalah kondisi yang penuh dengan pamrih, mengharap imbalan yang setimpal, apalagi dengan kecintaan yang berlebihan terhadap dunia. Hal seperti ini menjadi wajib disadari sebab~kata orang "kita harus realistis", realistis, sesuai kenyataan, kenyataannya adalah keterasingan yaitu orang beramai-ramai untuk bertahan hidup, maka harus menyesuaikan diri dengan kenyataan, yaitu ikut terasing yang berarti upaya meninggalkan tuhan yang senantiasa mengawasi dan memelihara manusia.

Harus realistis kata orang sebab hidup bukan permasalahan hitam-putih, tapi ketika mulai ikut membaca "realistis" yang ditemui hanya dua pilihan: bertahan hidup atau jadi sampah, hitam-putih.

Berpikir bahwa hidup hanyalah sekedar untuk bertahan hidup adalah sama dengan menganggap hidup hanyalah semata persaingan, dalam persaingan yang ada hanyalah perjudian, kalah dan menang adalah jawaban, hukumnya hanya satu: yang kuat yang menang.

Kotemplasi rumit beberapa hari ini mengenai keikhlasan, tidak semua jawaban dapat dijelaskan, meskipun cukup sederhana untuk menjawab setiap pertanyaan yang mampir dikepala, sesederhana keinginan tuhan.

Mungkin terlalu idealis sebab hidup harus selalu pamrih, saya tidak menemukan jawaban, sebagaimana belum juga saya temukan Indonesia, hanya Pramoedya yang memotivasi saya hari ini "Sudah lama aku dengar dan aku baca ada suatu negeri di mana semua orang sama di depan hukum. Tidak seperti di Hindia ini. Kata dingeng itu juga: negeri itu memashurkan, menjunjung dan memuliakan kebebasan, persamaan dan persaudaraan. Aku ingin melihat negeri dongengan itu dalam kenyataan".

2 komentar:

  1. Manisnya negeri, pasti juga merasakan pahitnya ancaman.

    BalasHapus
    Balasan
    1. kita selalu dapat belajar dari masalah, Soekarno berharap Indonesia adalah bangsa yang dibangun dari revolusi, ditempa oleh masalah untuk jadi kuat

      Hapus