Pramoedya Ananta Toer

"kau pribumi terpelajar! Kalau mereka itu, pribumi itu, tidak terpelajar, kau harus bikin mereka jadi terpelajar. Kau harus, harus, harus bicara pada mereka, dengan bahasa yang mereka tahu"

Minggu, 10 Februari 2013

Indonesia bukan kafir! (1)

Paham kebangsaan, ia bukanlah isme-isme sebagaimana kapitalisme, liberalisme dan komunisme, ia berdiri sendiri, muncul dari pengalaman bersama. Kebangsaan yang muncul akibat kebanggaan berlebih terhadap bangsa itu sendiri hanya akan menjadikan penistaan terhadap kemanusiaan, selanjutnya adalah penistaan dan pengkerdilan terhadap bangsa itu sendiri.

Sepanjang catatan sejarah terdapat banyak momentum tentang kebangsaan, dari fasisme dimana kebangsaan muncul dan terjebak kebanggaan atas ras unggul yang sejatinya hanyalah kejahatan terhadap kemanusiaan, pada dasarnya hanyalah ketakutan akan kekalahan dalam suatu kompetisi, suatu kompetisi yang menjadi ilusi dari hubungan antar manusia, antar bangsa. Hingga pertentangan antara nasionalisme dengan isme-isme yang ada dan pernah ada.

Di Indonesia sendiri, kebangsaan pernah menjadi sumber pertentangan, tarik-ulur kepentingan antara kaum nasionalis dengan agama~disini khususnya adalah Islam, hingga hari ini pun masih terkesan demikian. Kaum agama memandang nasionalisme dikhawatirkan akan menempatkan bangsa ini pada fitnah dan kesyirikan. Lebih jauh lagi juga tentang kekhawatiran jika nasionalisme hanya akan mengarah pada paham kesukuan jahiliyah yang serta-merta ketakutan akan munculnya chauvinisme sebagaimana kasus Jerman, Italia dan Jepang pada perang dunia ke dua.

Sama sekali belum disadari bahwa paham kebangsaan di Indonesia adalah dalam rangkaian paham-paham yang diharapkan mampu mengawasi dan mengoreksi pelaksanaannya, yaitu paham ketuhanan dan kemanusiaan yang diwujudkan dalam persatuan Indonesia. Suatu kecenderungan konvergensi nasional tentang pandangan hidup kosmopolitan, dengan begitu nilai-nilai kebangsaan Indonesia harus dibangun secara aktif bukan merupakan hasil dari perkembangan alamiah yang serba kebetulan, apalagi hanya sekedar reaksi terhadap keadaan.

Dalam masalah ini saya hanya dapat membahas permukaannya saja, tentang ketatanegaraan-kebangsaan dan keagamaan masih saya pelajari dan hanya pada bagian-bagian terkecilnya saja yang sementara ini saya mengerti. Cukuplah mengatakan~sebagaimana pandangan kaum nahdliyin bahwa "menjadi Islam 100% di negeri ini, adalah juga menjadi nasionalis 100%" dan bagaimanapun juga terjadinya bangsa ini adalah kehendak tuhan, atas berkat rahmat Allah Yang Mahakuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas.

Pun dalam sejarahnya bangsa ini telah dibela mati-matian oleh kalangan santri dan ulama, tercatat dalam sejarah tentang resolusi jihad NU yang mengobarkan perang fenomenal 10 November 1945, perang pertama bagi bangsa Indonesia menghadapi ancaman bersenjata pihak asing. Pada tahun 1983 juga tercatat (dalam artikel yang ditulis Salahuddin Wahid dalam buku "mencari Indonesia: Meninjau masa lalu menatap masa depan") dimana pernah terjadi musyawarah nasional alim-ulama yang mengeluarkan "deklarasi tentang hubungan Islam dengan pancasila" yang beberapa intinya antara lain: (1) pancasila bukan agama, tidak dapat menggantikan agama dan tidak dapat dipergunakan untuk menggantikan kedudukan agama; (2) sila Ketuhanan Yang Maha Esa mencerminkan tauhid menurut pengertian keimanan Islam, (3) penerimaan dan pengamalan pancasila adalah perwujudan dari umat Islam Indonesia untuk menjalankan syariat agamanya. Selanjutnya adalah perjuangan para ulama dalam menegakkan tauhid sebagai benteng utama dari serbuan pengaruh-pengaruh negatif yang dapat melemahkan bahkan merusak bangsa ini.

Pada intinya adalah tidak tepat menyebut Indonesia adalah kafir, sebagaimana pernah kita saksikan drama pemerintahan pasca reformasi, dimana kaum nasionalis mampu dan mau duduk bersama membangun bangsa, dari kolaborasi antara Gus Dur-Megawati, berlanjut dengan Megawati-Hamza Haz, serta penolakan dua ormas besar di negeri ini, NU dan Muhammadiyah terhadap berlakunya tujuh kata piagam jakarta kedalam UUD 1945.

Membela keberlangsungan bangsa dan negara adalah wajib, sebab bangsa dan negara juga merupakan sarana untuk dapat beribadah, berdaulat dalam beribadah, tentunya semua orang tidak ingin aktivitas ibadahnya terganggu apalagi terancam. Musuh bersama disini adalah "mentalitas maling" dan proyek bersamanya adalah pembangunan watak dan karakter bangsa yang kuat, watak dan karakter bangsa yang tidak mudah rapuh dan tidak mudah berbuat dosa.

Sepanjang pengetahuan saya belum pernah saya temui upaya negara untuk menyerang agama, seringnya malah terjadi pembelaan negara terhadap agama.

[Selanjutnya: Indonesia bukan kafir! (II)]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar