Pramoedya Ananta Toer

"kau pribumi terpelajar! Kalau mereka itu, pribumi itu, tidak terpelajar, kau harus bikin mereka jadi terpelajar. Kau harus, harus, harus bicara pada mereka, dengan bahasa yang mereka tahu"

Selasa, 05 Februari 2013

Ber"bhineka tunggal ika" bukan berseragam

"Bhineka tunggal ika" slogan yang masih cukup populer ditelinga, turut melengkapi lambang negara Indonesia, garuda pancasila.

Pancasila sendiri, sebagaimana pandangan Ir. Soekarno adalah konsepsi yang digali dari watak khas budaya nusantara, yang berarti ia bukan hanya sekedar Jawa, ia hasil dari kebudayaan nusantara. Inti sari pancasila sebagaimana pandangan Ir. Soekarno adalah pada nilai kegotong royongan, menurut Soekarno pancasila dapat diperas (saya sering artikan "disederhanakan") menjadi trisila: sosionasionalisme; sosiodemokrasi; dan ketuhanan. Dan kemudian dapat diperas lagi menjadi ekasila yaitu gotong-royong.

Sosionasionalisme, adalah paham kebangsaan yang tidak sama seperti kebangsaan di Eropa, kebangsaan di Indonesia lewat sosionasionalisme adalah kebangsaan yang tidak hanya cukup mencintai tanah air dan berbangga-bangga terhadapnya saja, tapi kebangsaan yang lebih didasarkan pada kecintaan terhadap rakyat jelata, kebangsaan yang memperjuangkan nasib rakyat jelata. Tentunya adalah kebangsaan atau nasionalisme yang mengupayakan perbaikan hidup sesama. Gotong royong.

Sosiodemokrasi, adalah demokrasi yang tidak hanya sekedar mengurusi kehidupan politik, tapi demokrasi yang juga mengurusi kehidupan politik sekaligus kehidupan ekonomi dan sosial-budaya, dengan begitu maka Indonesia akan terhindar dari gaya liberalisme-individualistik sebagaimana yang terjadi dalam masyarakat yang melaksanakan demokrasi liberal, yaitu masyarakat yang negaranya hanya mengatur kehidupan politik, hanya seputar pemilu, selebihnya~diluar kehidupan politik adalah urusan individu, ya ekonominya, ya budayanya termasuk juga pendidikan dan agamanya. Masyarakat yang demikian itu nantinya akan terjerumus dalam persaingan individual yang "anti sosial", hanya memikirkan kesenangan pribadi tanpa ada belas kasih terhadap sesamanya. Lain dengan sosiodemokrasi dimana semua itu diatur atas dasar kebersamaan. Gotong royong.

Tentang ketuhanan sepertinya sudah cukup jelas bahwa Indonesia yang diharapkan adalah suatu bangsa yang berkeTuhanan Yang Maha Esa, bangsa yang beragama bukan negara agama.

Gotong royong, bhineka tunggal ika, pernah pula terjebak dalam penafsiran tunggal oleh regim ORBA dengan tipikal 'keseragaman' bukan keragaman. Sampai sekarangpun masih belum mampu terlepas dari bentuk-bentuk penyeragaman, memang pada dasarnya memanfaatkan nilai-nilai luhur adalah pilihan efektif untuk melanggengkan kepentingan.

Bhineka tunggal ika, tan hanna darma mangrwa demikian secara lengkap yang berarti berbeda-beda tetapi tetap satu jua, tiada kebenaran yang mendua. Tidak ada alasan apapun yang dapat dijelaskan untuk melakukan upaya penyeragaman, hal itu dapat mematikan kemanusiaan sendiri meskipun kemanusiaan bersifat universal, sama dimanapun dan kapanpun tapi penyeragaman hanya akan menimbulkan ketertundukkan yang mematikan potensi kemanusiaan itu sendiri.

Isi dari penyeragaman hanya ada dua: fanatisme buta dan ketakutan, dua-duanya adalah keterasingan, terjadi akibat dipaksakan.

Dalam Surah Al-Hujuraat 13 dikatakan "Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal."

Demikian, dimana pada dasarnya manusia memang diciptakan berbeda-beda dengan ciri khasnya masing-masing baik ras maupun kebiasaannya, berbeda. Terkait pula dengan hasil dari kebudayaan masing-masing, yaitu menjawab dan menyelaraskan atau menaklukkan alam, jangankan bicara antara bangsa, Indonesia sendiri yang terdiri dari beragam suku adalah sudah pasti memiliki keragaman adat dalam masyarakat masing-masing. Keragaman adat inilah hasil kebudayaannya, hasil temuan masyarakat setempat dalamupayanya menyelaraskan diri atau bahkan menaklukkan alam, yang serta merta juga turut menyertakan etika-estetikanya masing-masing. Hal demikian ini gunanya agar manusia dapat belajar satu sama lain, melengkapi satu sama lain, gotong-royong, jadi bukan penyeragaman.

Bakat dan watak manusia itu juga dibentuk oleh alam, oleh tantangan, maka penyeragaman dapat mematikan potensi-potensi kemanusiaan seperti itu. Kebenaran (tauhid) itulah yang seragam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar