Pramoedya Ananta Toer

"kau pribumi terpelajar! Kalau mereka itu, pribumi itu, tidak terpelajar, kau harus bikin mereka jadi terpelajar. Kau harus, harus, harus bicara pada mereka, dengan bahasa yang mereka tahu"

Selasa, 22 Januari 2013

Dari "Krisna gugah" sampai pada taktik "politik Poros"

Sore gerimis, sepinya mengiris-iris...

Saya pernah ndengerin rekaman wayang orang yang judulnya "krena gugah" dua seri, sebenarnya saya tidak begitu mengerti tentang wayang, jangankan ceritanya, tokoh-tokohnya hanya itu-itu saja yang saya hafal. Untuk mengerti jalan cerita rekaman wayang inipun saya harus memutarnya berulang-ulang. Waktu itu bukan hanya orang tua saya saja yang heran, mungkin setan dalam otak saya juga keheranan mendapati saya begitu tekun mendengar cerita wayang, sebab waktu itu saya lebih suka mendengar koleksi kaset metal saya. Kalau pas ada kegiatan panggung musik pun pilihannya pasti seputaran metal, punk, grunge atau sejenisnya, bukan wayang.

Tekun sekali waktu itu, hingga kini kalaupun ada yang minta saya ceritakan, tapi hanya kisah itu saja, Krisna gugah.

Berawal dari persiapan perang baratayudha, antara Kurawa dan Pandawa, kedua belah pihak menyusun strategi dan menggalang kekuatan termasuk berebut dukungan dari Krisna yang sudah tersohor bijaknya. Titisan dewa, sakti mandraguna.

Untuk mendapatkan dukungan dari Krisna ini, baik Kurawa maupun Pandawa harus mampu membangunkan Krisna dari tidurnya di dalam sebuah sumur, sumur jalathunda namanya dan dijaga oleh seorang anak Krisna. Dalam perjalanan menuju sumur, Pandawa mendapati rintangan bertemu raksasa dan Kurawa yang bersama Prabu Baladewa harus direpotkan dengan anak Krisna, dan yang mengalahkan anak Krisna ini adalah Baladewa, tapi yang masuk lebih dahulu ke dalam sumur adalah Pandawa.

Begitu masuk ke dalam sumur, Arjuna atas saran Punakawan menjemput roh Krisna ke kayangan. Di kayangan, Krisna sedang berbincang-bincang dengan para dewa tentang perang baratayudha yang memang harus terjadi agar kebaikan dapat mengalahkan kejahatan. Para dewa banyak memberi saran kepada Krisna agar perang baratayudha nantinya dapat menjadi suatu tontonan yang menarik bagi para dewa di kayangan.

Dari pertemuan ini juga terdapat rencana-rencana tentang siapa harus melawan siapa dalam perang tersebut, jadi skenarionya sudah ada.

Belum selesai pembicaraan tiba-tiba saja Arjuna muncul meminta Krisna untuk kembali ke raganya di sumur jalatunda. Berhasil membawa Krisna ke raganya, datanglah Kurawa dan Prabu Baladewa, dua pihak bertemu dan Krisna yang baru bangun tidur berada diantara mereka. Terjadi perebutan, masing-masing bikin alibi atau semacamnya untuk merebut dukungan Krisna.

Krisna yang sudah dari awal mendapat pesan dari para dewa harus memutar otak, belum juga selesai malah terjadi perkelahian antara Bima dengan Baladewa. Kekuatan dahsyat beradu, Baladewa mencabut keris pusakanya dan diterjangkan kearah Bima, meleset. Bima sigap melompat-menghindar, keris menghujam ke tanah. Blar!.

Terdengar suara kesakitan setelah ledakan akibat keris yang ledakkannya ini tadi (mungkin) mirip suara bom cluster milik Israel. Dewa Bumi muncul dengan lagak kesakitan bertanya-tanya siapa yang telah berani mengusik kedamaiannya. Buru-buru Baladewa meminta maaf, dan kemudian Dewa Bumi malah mengucap sumpah bahwa kematian Baladewa nantinya adalah dengan dicepit tujuh bumi.

Seketika pula Dewa Bumi pergi meninggalkan dua kelompok yang tengah berseteru ini, dan Baladewa jadi resah permohonan maafnya tidak diterima malah ia mendapat sumpah. Keresahan inipun dimanfaatkan oleh Krisna, ia sarankan kepada Baladewa untuk menebus kesalahannya dengan melakukan pertapaan di sebuah gunung. Sementara lupa dengan misi awal untuk merekrut Krisna.

Dalam perjalanan untuk bertapa, Baladewa mendapat godaan, ia bertemu seorang gadis desa yang rupawan, jatuh hatilah Baladewa dan berkeinginan untuk meminang gadis tersebut. Belum lagi terkabulkan, Krisna muncul dan gadis desa tersebut ternyata adalah Arjuna yang sedang menyamar. Gagal lah pertapaannya.

Oleh Krisna kemudian Baladewa disarankan untuk saling berbagi kepada rakyat jelata, bersama istri dan beberapa pengawal berangkatlah Baladewa mencari rakyat untuk disedekahi. Dalam perjalanannya ia bertemu seorang kakek yang sama-sama sedang ingin beristirahat pada sebuah pondok.

Baladewa diminta oleh Krisna untuk merendahkan hati dan melayani siapapun yang dijumpainya, kakek tua ini sangat ludu dan punya adat yang sedikit kurang ajar, beberapa kali Baladewa terpancing emosinya hingga pada saat tak tertahankan lagi. Hampir-hampir sang kakek menerima uper cut dari Baladewa, sekali lagi Krisna muncul, dan kake tadi ternyata adalah Petruk (salah satu dari Punakawan). Gagal lagi usaha Baladewa untuk menyucikan dirinya atas perbuatannya.

Terakhir kalinya, Baladewa disarankan untuk melakukan pengasingan, bertapa seorang diri di Grojokan sewu. Berangkatlah Baladewa tanpa diikuti oleh pengawal maupun istrinya. Dan hilang pula satu kekuatan dahsyat yang tadinya berpihak pada Kurawa yang ternyata pada akhirnya juga diketahui merupakan kehendak dari para dewa agar pada saat perang Baratayuda pertempuran dapat berjalan seimbang.

Sebenarnya bukan hanya pihak Kurawa yang mendapat perlakuan semacam itu oleh Krisna, tetapi juga pihak Pandawa dengan terbunuhnya Antareja-anak Bima, yang karena kemampuannya dikhawatirkan dapat menumpas pasukan Kurawa sebelum terjadi perang. Antareja diketahui memiliki kekuatan pada bibir dan lidahnya, siapapun yang terkena lidahnya akan musnah, juga dengan bekas dari lidah Antareja. Sakti.

Lebih lanjut, sebagaimana yang diketahui umum, pada akhirnya pihak Pandawalah yang menjadi pemenang, sedang pihak Kurawa musnah.

Kalau saya ingat lagi cerita ini hampir mirip dengan sejarah "poros-porosan" yang terjadi pasca reformasi 1998. Setelah Presiden Soeharto tumbang, pemerintahan dipegang oleh BJ Habibie sebagai pemerintahan transisi, presiden terpilih berikutnya adalah Gus Dur dengan taktik "poros" rancangan Amien Rais untuk menggagalkan Megawati sebagai presiden, tentunya untuk mengungguli kekuatan suara PDIP yang keluar sebagai pemenang pemilu. Pada waktu itu, presiden tidak dipilih langsung oleh rakyat, tapi lewat sidang MPR. Dan taktik "poros" Amien Rais berhasil membendung kekuatan PDIP dengan menyatukan parpol-parpol Islam.

Lengsernya Gus Dur pun juga merupakan taktik "poros" Amien Rais yang menggalang kekuatan untuk mengungguli dominasi presiden-ini sebenarnya warisan orde lama yang hampir dilupakan oleh kalangan politik masa itu, dan Gus Dur memanfaatkannya: dekrit yang berisi (1) pembubaran MPR/DPR, (2) mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat dengan mempercepat pemilu dalam waktu satu tahun, dan (3) membekukan Partai Golkar sebagai bentuk perlawanan terhadap Sidang Istimewa MPR. Namun dekrit tersebut tidak memperoleh dukungan dan pada 23 Juli, MPR secara resmi memakzulkan Gus Dur dan menggantikannya dengan Megawati Sukarnoputri.

Memang ada berbagai intrik dibalik semua itu yang tidak mungkin bagi saya untuk menjelaskan, hanya sekedar tangkapan dan ingatan saya saja. Dan pada waktu itu, peran Amien Rais ini malah seperti peran Krisna dalam cerita Krisna gugah. Loncat sana, loncat sini, hadang sana-hadang sini, entah apa maunya, hanya dia sendiri yang bisa menjelaskan.

Bukan maksud saya membuka tabir cerita lama, mengungkit-ungkit masa lalu, tapi (sekali lagi) hanya sekedar mencari Indonesia yang bagi saya tidak ada salahnya dengan mereka-reka ulang kejadian demi kejadian yang berhasil saya tangkap-saya ingat.

Wayang adalah satu tradisi bangsa, meskipun ia datang dari tanah seberang-negeri Hindustan, tapi wayangnya adalah dari Jawa, dan telah mengalami beberapa kali revolusi, sering pula kisah-kisah wayang ini menginspirasi tokoh-tokoh politik negeri ini ataukah memang perwatakkan bangsa ini ada dalam tradisi wayang tersebut? Entah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar