Pramoedya Ananta Toer

"kau pribumi terpelajar! Kalau mereka itu, pribumi itu, tidak terpelajar, kau harus bikin mereka jadi terpelajar. Kau harus, harus, harus bicara pada mereka, dengan bahasa yang mereka tahu"

Kamis, 28 Februari 2013

Poltik, sepak bola dan musik

Ini tulisan ke lima puluh delapan dan ini adalah hari terakhir bulan Februari, Arema unggul 4-2 atas tamunya Pelita Bandung Raya dalam laga yang kurang enak ditonton dan Korea memutuskan untuk menunda kerja sama pesawat tempur dengan RI.

Saya kembali membaca buku "Palu arit di ladang tebu" masih pada bagian awal, pada bagian yang menjelaskan kondisi politik era demokrasi terpimpin, tembang-tembang Dewa 19 tidak berhenti sejak siang, berulang-ulang dari tembang "elang" hingga "kamulah satu-satunya" hanya satu lagu yang divokali oleh Once, cemburu, selebihnya oleh Ari Lasso. Dunia bola dan musik punya politiknya sendiri dan pada dasarnya kepentingannya adalah sama, dominan.

Politik (parpol dan pemerintah), sepak bola dan musik adalah hiburan bagi masyarakat kebanyakan, terkait apa yang harus didukung dan apa yang harus menjadi sasaran atau tempat setiap umpat dan cacian. Apa yang harus dipertaruhkan. Masing-masing adalah pemicu dari komentar-komentar dan pertarungan gengsi yang tidak hanya terjadi dialami oleh pelaku ketiga ruang hiburan tersebut, tapi juga oleh masyarakat kebanyakan. Semua orang boleh dan bebas berkomentar. Tanpa batasan.

Kita bisa duduk diam didepan televisi menyaksikan tiga hal tersebut secara bergantian atau sekaligus mendapati informasinya secara bersamaan, dengan diam atau dengan menggerutu atau bahkan sambil mengekspresikan sikap secara terbuka, bisa marah-ngomel atau tetap tenang dan tertawa-gembira, mengejek, sebebas kita mengekspresikannya.

Atau cukup dengan diam sembari mengikuti arus utama, tentu arus yang muncul dari komentator-komentator yang sudah disiapkan media massa. Dan pada akhirnya semuanya harus tergantung pada pasar, arus utamalah yang mengorgainir masyarakat kebanyakan untuk menumbuhkan pasar. Hidup jadi sebuah perjudian besar.

Sepak bola dan musik sudah jelas beorientasi pada pasar, politik juga seperti itu meskipun dengan malu-malu. Dunia hiburan, segalanya harus layak diperdagangkan, isu adalah komoditi andalan sebab tiap tingkah dan aksi pelaku (yang ditonton) akan menjadi bahan pembicaraan.

Semua orang butuh bicara, setiap orang perlu menumpahkan emosi yang terhimpit oleh keadaan, dan isu dari aktor-aktor dunia hiburan inilah yang selalu ditunggu untuk menjadi sasaran pembicaraan. Dari polemik sepak bola nasional, persiapan pesta demokrasi yang sekaligus berlangsungnya pilkada di daerah hingga kasus-kasus yang membelit para pekerja seni (juga termasuk para politisi dan atlet sepak bola) menjadi sajian tersendiri, hiburan disela kesibukan sehari-hari yang dapat kita tertawakan, kita cibir atau sekedar kita beri simpati tanpa mampu memberi solusi untuk memecahkan permasalahan yang ada, sebab kita tidak sedang bermain didalamnya, sebaliknya seringnya kita yang dipermainkan karena pasar harus segera terbentuk.

Kita, masyarakat, dibentuk oleh kebingungan lalu dijual, yang membeli adalah kita sendiri, sederhananya masyarakat kebanyakan adalah korban. Jika hal ini disangkal, lalu kenapa para pelaku tidak pernah bertindak atas nama kita, kita sebagai masyarakat yang terjerumus dalam ketidak berdayaan? Hanya kalau sempat saja mereka berbicara atas nama kita, bukan bertindak atas nama kita. Atau kita, hanya sekedar angka-angka yang sedang diperjudikan?.

Malam Jum'at dengan secangkir nikmat yang pekat, berharap dapat menemukan bangsa yang bermartabat, berdaulat dengan senyum hangat yang bersahabat. Cheers.

Rabu, 27 Februari 2013

Politik penyanderaan, dari realitas hingga kisah wayang

Politik penyanderaan, suatu istilah yang baru saya kenal, mungkin juga baru kita kenal atau hanya saya yang mengenal? Sebab saya dapati dari lamunan saya sendiri. Awalnya mendengar istilah ini dari teman-Pak Sholichul Hadi, ketika berkomentar tentang kasus Anas Urbaningrum.

Memang jadi suatu pertanyaan "kenapa Pak Anas baru buka-bukaan setelah ditetapkan sebagai tersangka? Kenapa tidak emarin-kemarin?" Atau bahkan bukan hanya Pak Anas, tapi memang inilah kebiasaan masyarakat Indonesia? Kebiasaan yang sulit ditinggalkan sebab orientasi hidup hanya "stop" pada urusan duniawi, hedon, pun dapat bermanfaat untuk membangun alibi saat kecurangan mulai tersentuh hukum.

Kasus penyanderaan biasanya dilakukan oleh seseorang atau kelompok untuk menuntut atau meminta dengan cara menahan seorang korban, menyembunyikan disertai dengan ancaman. Seperti film-film aksi, penyanderaan selalu dilakukan oleh para bandit untuk memeras atau menuntut pihak lain melakukan sesuatu yang diinginkan oleh si bandit.

Kalau di film biasanya si bandit mati untuk mengakhiri film tersebut, korban penyanderaan biasanya bebas meskipun dengan penuh luka dan tuntutan bandit dapat digagalkan. Tapi itu film. Lain kalau sudah terjadi dalam kenyataan hidup, apalagi dalam dunia politik.

Dalam dunia politik biasanya korban penyanderaan~kalau korbannya ini manusia, akan tetap bebas, tidak sedang dalam belenggu. Pelakunya, banditnya sama saja seperti di film-film yaitu suka menebar ancaman, tidak terdapat kawan dan lawan yang abadi, semuanya serba kepentingan. Seperti juga yang terjadi akhir-akhir ini, dimana beberapa tokoh politik negeri ini mampu mempertahankan jabatannya dengan cara menyandera (mengancam) yang biasanya diawali dengan kecurangan yang dilakukan secara berjamaah, lalu masing-masing saling mengancam akan membuka aib masing-masing jika terdepak nantinya. Atau terjadi sebagaimana yang dikisahkan oleh lakon wayang "Banowati":

Pertentangan dua kubu, Pandawa dan Kurawa, semakin menghebat, keduanya semakin aktif membangun aliansi, laga bharatayudha semakin jelas terlihat didepan mata. Pada suatu kesempatan Sengkuni memberi petuah kepada Duryudana untuk merangkul kerajaan Mandaraka dibawah pemerintahan Prabu Salya dengan cara meminang salah satu putri dari Prabu Salya.

Sebelum Duryudana berangkat meminang salah satu putri Prabu Salya, terdengar kabar bahwa seorang putri Prabu Salya yang bernama Erawati diculik oleh Baladewa untuk diperistri dan seorang lagi yang bernama Surthikanti dilarikan Karna untuk maksud yang sama. Tinggal satu orang lagi yang bernama Banowati, dan hal ini membuat Duryudana ragu sebab Banowati adalah kekasih dari musuh bebuyutannya, Arjuna.

Tapi yang namanya politik tentunya harus menggelitik, keraguan harus disamarkan agar tidak terlihat lawan. Pinangan harus segera dilakukan, perang sudah akan dikobarkan. Berangkatlah Duryudana ke Mandaraka dan pinangannya diterima oleh Prabu Salya sebab seserahannya yang berlimpah ruah, akan tetapi Banowati menolak halus pinangan tersebut dengan mengajukan syarat bahwa ketika menjelang pernikahan, saat prosesi siraman harus dilakukan dengan dimandikan diruang tertutup dan yang memandikan adalah Arjuna.

Sebenarnya ini merupakan pukulan telak bagi Duryudana yang langsung tersinggung, tapi disampingnya adalah sengkuni yang licik dan mahir berkata-kata. Sengkuni kembali memberi petuah agar Duryudana tetap meminang Banowati demi kerajaan Hastina, Duryudana dibujuk dan dibakar nasionalismenya-tentunya dengan turut meniupkan kebencian terhadap kadang Pandawa.

Godaan kekuasaan menutupi kehormatan seorang raja, kekhawatiran nantinya Arjuna akan mendahului menikahi Banowati yang berarti lepasnya satu aliansi menjadi ancaman tersendiri, maka Duryudana harus tetap menikahi Banowati.

Setelah menikah, hati Banowati masihlah milik Arjuna, dikisahkan juga tentang perselingkuhan antara Arjuna dan Banowati hingga Banowati melahirkan seorang anak yang wajahnya mirip dengan Arjuna, atas hal ini para dewa mengabulkan permintaan Arjuna untuk menyelamatkan nasib anak dan kekasih gelapnya itu. Dikabulkan, bayi yang diberi nama Lesmana tersebut seketika berubah wujud jadi sosok yang lain, dan dewa-dewa turut menyembunyikan aib tokoh yang dipilihnya.

Dipihak lain, ada tokoh bernama Aswatama yang sebenarnya lakon hidupnya juga terpengaruh oleh kejadian-kejadian ini sebab tokoh ini juga mencintai Banowati dan memendam dendam baik terhadap Pandawa (khususnya Arjuna) dan Kurawa, tapi dia tidak masuk dalam maksud saya untuk menjelaskan "politik penyanderaan" ini. Cukuplah tentang cinta segitiga antara Banowati, Duryudana dan Arjuna yang bukan sekedar sebagai kisah pelengkap perseteruan, tapi sekaligus (ketiganya) adalah korban dari politik, aktor utamanya disini adalah Sengkuni, siapa lagi?.

Dari kisah diatas yang menjadi korban penyanderaan sebenarnya adalah Banowati yang nanti pada akhir kisahnya ia juga terbunuh, dibunuh oleh sang pemuja rahasia, Aswatama.

Selasa, 26 Februari 2013

Gagasan tentang suatu kebangsaan

Hampir dua bulan dalam pencarian Indonesia, semakin dalam dikenal semakin buram gambaran tentang suatu bangsa. Dibawah mendung yang menghitam dan bayang-bayang ancaman badai yang (mungkin) menyebabkan sinyal modem tidak begitu bersahabat, meskipun bukan suatu penghambat, tapi cukup mempersulit sekedar untuk membuka blog.

Sempat juga terpikir jika nasib bangsa Indonesia tidak jauh beda dengan suku Indian di Amerika sana, tergusur dan punah akibat keganasan pioner Amerika yang serakah, dan bangsa pendatang ini saat ini malah sedang larut dalam kebanggaan nasionalisme diatas tanah jajahannya. Tapi saya pikir lagi bangsa Indonesia tidaklah separah pengalaman suku-suku Indian tersebut, orang Indonesia masih berkembang biak, berlahiran meskipun hidup dalam penindasan sekalipun, sedangkan suku-suku Indian sepanjang yang saya baca menjumpai kepunahan setelah berjuang habis-habisan melawan bangsa pendatang.

Saya bicarakan tentang suku Indian, bukan masalah rasnya, kalau ras, sebagaimana dari pelajaran antropologi, suku Indian ini punya ras yaitu mongoloid. Ras mongoloid diambil dari istilah "Mongolia" suatu bangsa yang juga pernah berjaya dimasanya, bahkan pernah bikin gempar dengan penaklukkannya terhadap Baghdad. Ras mongoloid terdiri atas tiga sub-ras: Asiatik Mongoloid (Cina, Jepang dan Korea), Malayan Mongoloid (Melayu), dan American Mongoloid (suku Indian). Jadi kalau dilihat dari ras, maka sebenarnya suku Indian tidak sedang punah, ras mongoloid di Asia dapat dikatakan lebih berhasil menghadang kehadiran kolonialisme Eropa dibandingkan dengan ras mongoloid yang ada di Amerika.

Di Indonesia sendiri, dalam masalah sejarah penyebaran ras melayu (sub-ras mongoloid) dan belum bernama Indonesia sebenarnya telah ada-terdapat suku-suku asli, suku Wedoid dan Negrito, dua suku ini kemudian terdesak oleh kedatangan bangsa Melayu Austronesia ke Indonesia dan melarikan diri ke tempat-tempat asing untuk mengisolasi diri. Dan saya tidak ingin membahas ini, masalah pesebaran ras selalu membuat saya pusing sejak duduk dibangku SMU dulu.

Saya pikir lebih baik membaca Indonesia sejak jamannya Majapahit saja, itupun masih sering bikin pusing kepala saya. Atau lebih baik sejak masyarakat nusantara menyatakan diri sebagai satu bangsa, sejak terjadinya "Sumpah Pemuda" saja sebab lebih dekat dengan kesepakatan luhur dalam membentuk suatu bangsa yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur.

Lewat sumpah pemuda tersebut maka diharapkan lenyaplah batas-batas suku dan etnic yang ada untuk larut dalam satu kebangsaan Indonesia, termasuk juga dengan batas-batas ras. Lahirlah satu bangsa yang memiliki cita-cita dan nasib yang sama, Indonesia. Momentum ini pun ditanggapi bertahun-tahun kemudian dengan lahirnya rumusan pancasila sebagai kesepakatan luhur, kesepakatan untuk memperjelas arah suatu bangsa yang merdeka, kesepakatan akan cita-cita; gagasan tentang bangunan kemasyarakat yang diharapkan, masyarakat yang berkeTuhanan Yang Maha Esa, masyarakat yang berkemanusiaan yang adil dan beradab.

Barulah dengan momentum proklamasi 17 Agustus 1945 gagasan tersebut menemukan jalan yang lebih terbuka untuk diperjuangkan, tentu diperjuangkan, tidak hanya diperjuangkan dibawah ancaman senjata-senjata kolonial yang mencoba kembali berkuasa di tanah air ini, tapi juga diperjuangkan dengan membangun mentalitas dan karakter masyarakatnya.

Memang, diyakini bahwa pancasila terlahir dari kepribadian bangsa Indonesia tapi masih ada kemungkinan jika hal tersebut hanya disadari oleh beberapa orang saja, tentunya oleh orang yang memiliki kesempatan menempuh pendidikan lebih tinggi dari kebanyakan orang yang ada. Atau istilahnya para teknokrat saja yang menyadarinya.

Maka dengan alasan seperti itulah (mungkin) yang membuat dua regim awal mengambil tindakan untuk melakukan penafsiran tunggal terhadap pancasila, orla dengan demokrasi terpimpinnya dan orba dengan P4 nya. Meskipun demikian orde lama masih lebih baik untuk masalah ini, yaitu dengan usahanya menyetabilkan komponen masyarakat yang ada dan berpengaruh besar waktu itu: komunis, nasionalis dan agama lewat konsepsi NASAKOM nya Ir. Soekarno. Sedang pada masa orba, malah lebih terkesan "Jawaisme" daripada pancasila. Dan keduanya, baik orba dan orla bisa dikatakan gagal mewujudkan kestabilan, orba pernah saya baca dikatakan berhasil dalam mewujudkan kestabilan politik, tapi menurut saya tidak seperti itu sebab yang terjadi adalah ketimpangan. Bagaimana mungkin dikatakan stabil jika hanya menciptakan kemapanan bagi salah satu kelompok dan menindas kelompok yang lain? Konsekuensinya pun masih dapat dirasakan hingga saya tulis ini.

Dan sudah sepatutnya kita sebagai satu bangsa menolak atas penafsiran tunggal terhadap kesepakatan luhur tersebut, penafsiran tunggal terhadap pancasila hanya akan mewujudkan tirani, pancasila harus ditafsirkan secara kreatif dengan membuka peluang-peluang dialogis antar generasi, membangun kesadaran berbangsa yang tidak hanya dimonopoli oleh kalangan teknokrat saja.


Senin, 25 Februari 2013

Budaya dan pendidikan (IV)

Setelah saya menerbitkan judul "Budaya dan pendidikan (III)" saya beberapa kali menerima pesan lewan SMS, nomor-nomornya pun tidak saya kenal, dari pesan tersebut menanyakan hubungan antara kepekaan sosial dan pendidikan.

Memang pada bagian (I) dan (II) pembahasannya seputar teknologi dan pendidikan dan keduanya adalah unsur dari budaya, hal ini berdasarkan rumusan tujuh unsur budaya Koenjaraningrat. Pada bagian ketiganya saya malah membahas tentang kepekaan sosial yang saya awali dari trilogi pendidikannya Ki Hajar Dewantara. Bukan tanpa alasan, budaya dan moral akan selalu bersamaan, budaya akan turut menyertakan nilai-nilai moralnya, dan bicara tentang moral sudah pasti akan juga membicarakan tentang kemanusiaan, moral itu adalah kemanusiaan itu sendiri dengan begitu kepekaan sosial adalah penting disini.

Kepekaan sosial yang saya maksudkan adalah bukan sekedar membangun watak welas asih tapi juga tanggung jawab dan kesadaran untuk menjaga nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri. Selain juga untuk menanamkan kedisiplinan lewat suatu kebiasaan bukan lewat ketakutan. Dengan begitu kepekaan sosial juga mampu memperkuat sanksi sosial yang ada, ini penting. Sebab tanpa adanya kepekaan sosial orang akan cenderung apatis dan masa bodoh, dan jika itu terjadi maka peraturan hanya akan menjadi sekedar peraturan tanpa sanksi. Singkatnya orang akan menganggap peraturan dibuat hanya untuk dilanggar, tidak disiplin karena hanya akan taat ketika ada yang mengawasi. Dan semua ini masih dalam bahasan budaya.

Menumbuhkan kepekaan sosial adalah sangat sederhana, bahkan mungkin tanpa perlu menggunakan teknologi atau retorika yang biasa kita sebut "seruan moral". Akan saling terkait pula dengan kepedulian lingkungan, kebersihan misalnya, kebiasaan masyarakat kita akan hal ini masih cukup rendah, kita akan dapat dengan mudah menemui sampah berserakkan di jalan-jalan dan di sekolah, bahkan pada lokasi yang kita sebut taman. Aturan dan peringatannya sudah cukup jelas "buanglah sampah pada tempatnya" tapi apalah gunanya kalau kita sendiri tidak peduli? Hormatilah pejalan kaki, dimana terdapat wilayah-wilayah milik para pejalan kaki yang sepertinya saat ini para pejalan kaki harus juga berkompetisi dengan kendaraan-kendaraan dan para penjual di wilayah-wilayah tersebut, ini terjadi karena tidak adanya kedisiplinan dan lebih karena kita-kita juga yang tidak mau peduli hingga menelantarkan kemanusiaan, keselamatan orang lain, hak orang lain.

Kepedulian sosial dapat ditumbuhkan dengan keteladanan, misalnya~anggap saja pada kondisi lingkungan dimana didalamnya juga terdapat aturan-aturan tentang segala hal yang dibutuhkan oleh lingkungan tersebut, termasuk juga dengan kedisiplinan dan sudah pasti segala peraturan yang ada adalah untuk menjamin kedisiplinan, menumbuhkan kedisiplinan anggota lingkungan tersebut. Peraturan seperti itu sudah pasti juga menyertakan sanksi bagi pelanggarnya, seperti "point" dalam setiap pelanggaran di sekolah oleh para siswanya. Lalu pada suatu ketika keberadaan sanksi yang ada tidak diindahkan oleh anggota lingkungan tersebut karena para anggota akan taat ketika sedang dalam pengawasan saja, apalagi diluar lingungan. Hal seperti ini akan jadi tambah berbahaya ketika menjangkiti lingkungan yang disebut trilogi pendidikan oleh Ki Hajar Dewantara: keluarga, sekolah dan masyarakat. Apalagi ketika masyarakat tidak lagi memiliki kepedulian, sanksi sosial tidak berlaku dan cenderung mewajarkan situasi-situasi yang penuh dengan kecurangan.

Kalau keadaan semacam itu ada berlaku dalam suatu lingkungan sekolah maka habislah modal sosial sekolah tersebut alias tamatlah riwayatnya sebagai salah satu komponen trilogi pendidikan. Keteladanan penting sebab dalam kondisi sebagaimana diatas peraturan hanya jadi sekedar tulisan, dibuat hanya untuk dilanggar, tindakan paling efektif untuk menganulir adalah dengan memberi keteladanan bagi yang lain, apalagi yang dapat dilakukan jika sanksi tidak berlaku selain mencontohkan keseharusan? Sebagaimana seorang guru tidak perlu lagi segan untuk memungut sampah di dalam kelas saat dia mengajar, itu adalah keteladanan, tidak perlu marah-marah sekedar untuk memperlihatkan kejengkelan. Sebenarnya hal ini saya dapati ketika menjumpai kondisi suatu lingkungan dimana peraturan ada tanpa sanksi dan lebih parah lagi dimana sanksi sosial ternyata juga sedang tidak berlaku.

Gambaran sederhananya, budaya turut menyertakan moral, moral adalah juga kemanusiaan dan dari sanalah terbit juga sanksi sosial lewat peraturan-peraturan yang tidak tertulis, norma, sanksi sosial ada karena kebiasaan dan kesadaran sebagai manusia. Kesadaran akan kemanusiaan selalu muncul sebab adanya kepekaan terutama sekali kepekaan sosial. Kepekaan sosial tidak dapat muncul begitu saja sebab ia harus dibiasakan, tentunya lewat pendidikan. Lingkungan yang menjadi komponen utama penggerak pendidikan adalah sebagaimana yang diungkapkan Ki Hajar Dewantara lewat trilogi pendidikan: keluarga, sekolah dan masyarakat.

Minggu, 24 Februari 2013

Realitas politik nusantara

Kemarin cepat-cepat pulang soalnya mau nonton pidatonya Pak Anas Urbaningrum setelah dinyatakan sebagai tersangka oleh KPK. Sambil tiduran saya ndengerin dari awal sampai akhir, juga dengan pemberitaan setelah-setelahnya. Entah bagaimanapun tanggapan orang tentang hal ini, saya menanggapi dengan sudut pandang saya sendiri bahwa orang politik bicaranya selalu saja "multi tafsir".

Bukan hanya cara bicara orang politik yang "multi tafsir" dengan pemilihan kata-kata yang terkadang mengancam, mendukung dan menolak yang sepertinya ketiga hal tersebut dapat pula ada-bersamaan dalam satu pernyataan, juga dengan sikap dan tingkah lakunya, seperti ketika Pak Peni Suparto "menyeberang" ke partai yang menurut saya sebelumnya adalah seteru dari partai yang ia naungi, dalam kesempatan itu~waktu melamar ke partai tersebut ia masih mengenakan kemeja merah partai sebelumnya. Sebagaimana yang diketahui sebelum melamar ke partai tersebut Pak Peni dipecat dari keanggotaan partainya.

Atau ketika tiba-tiba saja para pengusaha turut bersaing dalam dunia politik yang pada akhirnya dari sudut pandang saya partai politik lebih mirip entertain club sepak bola, dimana pelatih, pemain hingga manajernya dapat saling berpindah tergantung besarnya modal dan kenekatannya. Tidak begitu dimengerti, apakah tindakan-tindakan ini merupakan upaya cari selamat atau cari keuntungan atau keduanya, mengingat beberapa pengusaha juga ada yang bermasalah.

Kembali pada pernyataan Pak Anas, sebenarnya ada beberapa hal yang menarik dalam pernyataannya kemarin, sebelumnya saya pikir beliau tidak akan menepati janji, tapi kemarin Pak Anas dengan pernyataannya telah menepatinya, entah karena apa, disini saya hanya dapat mengikuti dari media massa sembari menebak-nebak.

Berikut penggalan-penggalan pernyataan Pak Anas yang menurut saya cukup menarik:

"Sejak awal saya punya keyakinan penuh tentang tuduhan-tuduhan yang tak berdasar itu. Saya meyakini kebenaran dan keadilan pangkatnya lebih tinggi dari fitnah dan rekayasa. Kebenaran dan keadilan akan muncul-menang dari rekayasa sehebat dan serapi rekayasa itu dibangun. Itu keyakinan saya."
..............................
..........................................
"Apalagi saya tahu petinggi partai Demokrat yakin betul, haqul yaqin, Anas jadi tersangka. Rangkaian ini pasti tidak bisa dipisahkan dengan apa yang dikatakan bocornya sprindik. Ini satu rangkaian pristiwa yang utuh tak bisa dipisahkan, terkait sangat erat. Itulah faktanya. Tidak butuh pencermatan yang terlalu canggih untuk mengetahuinya.

Kalau mau ditarik agak jauh ke belakang, sesungguhnya ini pasti terkait dengan kongres Partai Demokrat. Saya tidak ingin cerita lebih panjang, pada waktunya saya akan cerita. Intinya Anas adalah bayi yang lahir tidak diharapkan. Tentu rangkaiannya menjadi panjang. Itu saya alami menjadi peristiwa politik dan organisasi Partai Demokrat. Pada titik ini saya belum sampaikan secara rinci, tetap ada kontek yang jelas menyangkut rangkaian peristiwa-peristiwa politik itu."
..............................
..........................................

"Saya juga berharap, siapapun yang nanti jadi Ketua Umum Demokrat, bisa menunaikan tugas, bahkan jauh lebih baik dengan apa yang saya tunaikan bersama teman-teman pengurus selama ini. Pasti akan datang ketum yang lebih baik. Saya percaya karena sejarah selalu melahirkan pemimpin pada waktunya.

Apa yang akan saya lakukan ke depan adalah tetap dalam rangka memberi kontribusi dan menjaga momentum bagi perbaikan dan peningkatan kualitas demokrasi di Indonesia, apapun kondisi dan keadaan saya. Yang penting adalah saya akan tetap bersama-sama dalam sebuah ikhtiar untuk membuat Indonesia semakin bagus.

Di hari-hari ke depan akan diuji pula etika Partai Demokrat. Etikanya yang bersih cerdas dan santun. Akan diuji oleh sejarah apakah bersih atau tidak, bersih atau korup. Akan diuji partai yang cerdas memberi gagasan bangsa. Apakah Demokrat ini santun atau sadis, politik santun atau sadisme politik.

Yang paling penting, tidak ada kemarahan dan kebencian. Keduanya jauh dari rumus politik yang saya anut. Mudah-mudahan dianut juga oleh kader-kader Partai Demokrat.

Ada yang berpikir bahwa ini adalah akhir dari segalanya. Hari ini saya nyatakan, ini baru permulaan. Ini baru sebuah awal langkah-langkah besar. Ini baru halaman pertama. Masih banyak hal lainnya yang kita buka bersama untuk kebaikan bersama."

......................................................................


Kembali lagi, bagaimanapun pandangan dan pendapat orang tentang pernyataan Pak Anas ini adalah sah, begitupun dari sudut pandang saya yang sementara ini memunculkan garis-garis peta untuk menebak segala yang sedang berlangsung dan segala yang akan terjadi nantinya.

Sebagaimana yang diungkapkan oleh Pak Anas tentang sadisme politik, saya yakin, haqul yaqin, hal ini akan menjadi tema penting Indonesia kedepan. Dari pengertiannya, sadisme adalah kondisi yang dialami seseorang, secara sederhana adalah kondisi yang menyenangkan dari seseorang mendapati penderitaan orang lain. Inilah yang menurut saya kini lebih menarik daripada yang lainnya. Sadisme politik.

Politik, berbicara mengenai kepentingan, kekuasaan dan peluang secara bersamaan, dalam sosiologi politik dibicarakan tentang bagaimana menyerap dan mengorganisasikan kepentingan-kepentingan tersebut untuk kemudian diarahkan kepada peluang-peluang yang ada. Lalu dengan sadisme politik, berarti menyangkut kondisi kejiwaan seseorang, bisa jadi pengorganisasian dan upaya-upaya meraih peluang tersebut adalah sekedar kepuasan orang-seorang dan penderitaan bagi banyak orang. Bisa jadi seperti itu, atau sekedar tentang hedonisme seseorang, dan yang patut diingat adalah pola politik semacam ini tidak hanya ada terdapat pada gelanggang politik nasional tapi lebih kebawah ke dalam organisasi-organisasi dalam masyarakat juga terdapat yang demikian itu, sadisme politik.

Tapi mau bagaimanapun semua itu juga tergantung dari latar belakangnya, sadisme politik bisa saja muncul karena adanya 'status quo' dengan orang-orang yang merasa nyaman didalamnya, atau bisa juga karena adanya upaya untuk menutup-nutupi kecurangan atau sekedar kesalahan yang pernah atau sedang terjadi, mengingat juga terdapat peran "kresna dan Sengkuni" dalam tiap laga politik tanah pertiwi. Atau memang inilah kenyataan dibalik wajah kesantunan bangsa ini?

Sabtu, 23 Februari 2013

Budaya dan pendidikan (III)

Ki hajar Dewantara pernah mengedepankan trilogi pendidikan dalam upaya membentuk karakter dan mentalitas manusia Indonesia, trilogi tersebut adalah kerja sama antara keluarga-sekolah dan masyarakat, ketiganya harus serentak menjadi motor pembentuk karakter dan mentalitas generasi bangsa. Jika salah satu saja komponen ini tidak berfungsi sebagaimana mestinya maka salah satu komponen akan menjadi pusat konsentrasi, tumpuan, dan ini tidak baik sebab pada dasarnya malah menghancurkan tumpuan tersebut.
Inilah kenyataan yang  ada terdapat di negeri ini, ketika hanya sekolah yang kini menjadi tumpuan, satu-satunya tumpuan, sekolah yang seharusnya merupakan lembaga pendidikan ini malah bergeser fungsinya, yaitu sebagai suatu hal yang layak dijual, indikasi awalnya adalah ketika sekolah merasa dibutuhkan oleh masyarakat, lalu ia membandroli dirinya untuk diperjual-belikan.

Sebaik apapun kebijakan pendidikan oleh pemerintah pusat sudah pasti dilapangan penerapannya lain, seperti halnya dengan telah dihapuskannya RSBI, apakah nantinya masih ada terdapat kelas "mandiri" atau model sekolah unggulan dan semacamnya? Yang tentunya semua itu~jangankan berpihak kepada rakyat, kepada pembukaan UUD 1945 saja tidak. Penghapusan RSBI sudah tepat, sangat tepat karena menghindarkan bangsa ini dari bentuk negara kelas, dan semoga saja pelaksanaan pendidikan nantinya juga demikian, lebih merakyat.

Saya pikir kebijakan pendidikan ini sudah tepat, tinggal bagaimana komponen-komponen pendidikan sebagaimana yang dimaksud dalam trilogi pendidikan Ki Hajar Dewantara tadi melaksanakannya, terutama sekali adalah sekolah yang sepertinya sedang memikul beban yang terlalu berat disini. Beban berat tentunya ketika sekolah menjadi satu-satunya tumpuan dari pendidikan dia masih harus berhadap-hadapan dengan kenyataannya saat ini, ia harus lepas dari kenyataan bahwa ia adalah barang pasar.

Kepekaan sosial akan dapat dimunculkan tidak hanya ketika sekolah mulai menerapkan kurikulum yang menekankan hal tersebut kepada siswanya, tapi perlu juga dukungan dari keluarga dan masyarakat, jika keluarga dan masyarakat bersifat terbuka maka kepekaan sosial akan terlatih dengan sendirinya, begitupun dengan sekolah. Sebaliknya jika keluarga dan masyarakat bersifat tertutup maka yang muncul hanyalah apatisme dan ketidak pedulian, padahal kepekaan sosial ini perlu, selain membangun suatu generasi yang peduli terhadap sesamanya juga dapat memperkuat sanksi sosial yang ada, kecuali jika memang masyarakat tidak menginginkan sanksi sosial tersebut, maka yang terjadi mungkin akan lebih tidak sehat dari lingkungan yang ada saat ini.

Kedisiplinan itu hanya dapat muncul dari kebiasaan, bukan karena ketakutan, dan kebiasaan akan dapat dibina dan berhasil guna ketika sanksi sosial ada, jika tidak maka yang terlahir adalah generasi yang apatis, masa bodoh dan dengan keadaan seperti itu kecurangan dan perilaku yang cenderung bebas tidak bertanggung jawab akan mudah ditemui.

Kalau pendidikan sendiri sudah terjebak pasar, ya jangankan berpikir tentang kedisiplinan, yang ada malah harapan bahwa sanksi sosial yang berawal dari kepedulian sosial tersebut benar-benar hilang, sebagaimana prasyarat kapitalisme: peran negara sekecil-kecilnya dan peran pasar sebesar-besarnya, prasyarat itu juga berlaku dalam hal pendidikan ketika ia terjebak dalam pasar.

Begitupun dengan permasalahan kemanusiaan, tanpa adanya kepekaan sosial yang terjadi adalah penelantaran terhadap kemanusiaan, meskipun ada terdapat rumusan peraturan perundangan dengan segenap sanksinya, tapi tanpa adanya kepekaan sosial yang menjamin adanya sanksi sosial dan kedisiplinan peraturan perundangan tersebut hanya akan jadi tulisan pasal-pasal semata. Toh hukum di negeri ini juga masih berpeluang untuk masuk dalam situasi "tawar-menawar".

Jumat, 22 Februari 2013

Perlawanan aparat "underground"

Tidak bosan-bosan menulis tentang perlawanan aparat-aparat musik "underground" terhadap kemapanan, sebagaimana tidak pernah bosan untuk mendengar karya-karya mereka, meskipun sementara hanya dapat menulis tentang yang saya ingat, tapi pengalaman bagi saya adalah hal yang paling asyik untuk ditulis.

Kebosanan benar-benar melanda saya ketika saya memutuskan untuk meninggalkan kegemaran saya berolah raga, ada dua bidang olah raga yang saya pilih waktu itu: silat dan sepak bola, dan waktu itu saya pikir dua hal ini tidak akan banyak membantu saya nantinya. Sebagai seorang bek kanan di dua SSB (Gajayana dan Bina Bola) saya memiliki tubuh yang kurang proposional, terlalu kurus meskipun saya punya "sprint" dan gaya mirip Christian Panucci, tapi toh pada dasarnya waktu itu saya hanya termotivasi oleh ramainya suporter sepak bola, dalam hal ini terutama aremania. Jadi saya pikir kemungkinan karir saya bakalan "stop" hanya sebagai suporter.

Sebagai seorang pesilat pun tidak menguntungkan bagi saya, meskipun berhasil menguasai seluruh teknik (sikap) dasar dan berhasil merangkai gerakan untuk suatu momentum tapi saya mengalami kejenuhan akut waktu itu, tidak saja karena ujian kenaikan tingkat yang terlanjur saya bayar terus diundur, tapi juga karena saya sadari bahwa perkelahian jalanan sangat berbeda dengan beladiri, apalagi ketika terjebak tawuran diterminal atau di stadion, sama sekali berbeda.

Semenjak naik ke kelas tiga kehidupan berubah drastis, saya lebih sering di terminal dan alun-alun daripada di sekolah, mungkin karena kejenuhan juga saya jadi seperti itu, sementara saya sedang mengenal hal-hal yang dapat menganulir dogma-dogma, dogma yang senantiasa membuat bingung ketika dihadapkan dengan realitas. Hal-hal itu adalah musik "underground", pertama sekali yang saya kenal adalah genre grunge dan black metal.

Lucunya waktu itu adalah ketika pertama saya kenali mereka sebagai geng berandalan, sebuah kelompok yang mencari cara menghilangkan kebosanan dengan berkuasa di jalanan, dan punk adalah kelompok sasarannya. Tidak butuh waktu yang lama untuk saya sadari bahwa mereka adalah kumpulan para pecinta musik yang terbagi-bagi dalam faksi-faksi atas dasar jenis musik yang mereka dengarkan.

Tiap hari, begitu sore menjelang, jalanan diseputaran alun-alun berubah menjadi daerah hegemoni yang selalu siap jadi tempat pertempuran. Anak-anak punk pada waktu itu sering terlihat di depan Gajahmada Plaza, sedang para grungers berkuasa di halaman Ramayana Dept. Store. Di alun-alun yang waktu itu masih sesak dengan kehadiran warung-warung permanen terlihat lebih meyeramkan, ditiap pojokkannya ada pohon beringin yang dihuni oleh kalangan pemuda berambut panjang, Brigade Long Hair, ditengah-tengahnya ada kerumunan anak metal yang selalu siap menghajar anak-anak punk.

Di terminal Arjosari lain lagi ceritanya, selain preman dan anak jalanan (waktu itu anak jalanan tidak terpengaruh oleh kehadiran simbol-simbol punk) juga ada pasar gelap, menyediakan aneka kebutuhan yang tidak terdapat di pasar pada umumnya, dari obat-obatan, ganja, senapan, buku kiri dan album kaset musik "underground" yang tidak akan mungkin ada di toko kaset. Suasana juga cukup tegang disini dengan isu kehadiran intelijen dan persaingan antar pedagang. Saya kenal wacana kiri dari sini, meskipun pada waktu itu yang saya kenali hanyalah tindakan-tindakan "protes" terhadap pemerintahan, dimana kebijakannya yang selalu merugikan banyak orang tapi hal tersebut juga selalu ditutup-tutupi.

"Underground" menjadi jendela untuk melihat keluar waktu itu ketika buku-buku, media massa dan kesenian sendiri yang terhalang dan bahkan dimanfaatkan oleh regim berkuasa untuk menutup mata masyarakat terhadap kebenaran, maka "underground" menjadi satu-satunya jalur penghubung masyarakat yang terisolir secara politik terhadap kenyataan. Hal ini juga mengingat adanya koran-koran fotokopian (buletin) yang sebagian juga dikelola oleh pelaku "underground" ini.

Begitupun dengan keberadaan warung kopi, bahkan di Aceh yang pada waktu itu diberlakukan DOM keberadaan warung kopi malah jadi suatu tindakan subversif, di Malang sebenarnya adalah sama hanya saja tidak berlaku DOM disini, saya memulai belajar wacana politik disini selain dari syair lagu Iwan Fals dan musik "underground".

Yang saya sadari waktu itu adalah kehadiran kaum "kaum underground" ini sebagai bentuk perlawanan terhadap penindasan, mereka hadir bukan sekedar untuk menolak penindasan tapi juga menggambarkan akibat-akibat dari penindasan.

Kamis, 21 Februari 2013

Antara Kresna dan Sengkuni

Orang sering bilang bahwa bharatayudha adalah perang saudara memperebutkan tahta Ngastina, tidak, dua kelompok sesaudara itu hanya bertempur, bukan mereka yang berperang, Kurawa dan Pandawa hanya bertempur. Angkat senjata.

Perang sesungguhnya ada pada meja siasat. Diluar kehendak para dewa, lupakan sejenak tentang itu, sebagaimana sebutir kerikil yang bergeser atas kehendak Yang Maha Kuasa. Lupakan dahulu. Kita bicarakan meja siasat, sebab dimata manusia kebanyakan sebenarnya disanalah perang sesungguhnya. Lupakan juga tentang peran dalang, bukan itu yang harus dibicarakan, toh dalang sebenarnya juga harus tunduk kepada alur cerita.

Bharatayudha adalah perang antara dua kekuatan besar yang samar, Kresna melawan Sengkuni, dua nama besar dengan peran masing-masing di pihak masing-masing. Memang, Kresna menyatakan diri tidak ingin terlibat dalam perang dengan mengatakan bahwa ia tidak akan membunuh seorangpun dalam pertempuran itu, tapi pada dasarnya ia berpihak pada Pandawa, meskipun posisinya dalam medan pertempuran adalah sebagai kusir dari kereta Arjuna.

Sengkuni, Kesatria yang menjadi patih Ngastina pada masa pemerintahan Prabu Duryudana. Ia anak Raja Plasajenar. Nama kecilnya Harya Suman. Ia adalah adik Dewi Gendari, ibu dari para Kurawa. Sekalipun licik dan penakut, tokoh ini dikenal sakti, kebal terhadap berbagai macam senjata (mungkin karena aking takutnya, maka ia belajar ilmu kebal). Sengkuni senantiasa memanas-manasi pihak Kurawa sepanjang cerita Mahabarata, dan dengan kelicikannya ia berhasil merebut kerajaan Indraprastha dari tangan Pandawa lewat suatu permainan dadu. Dalam tradisi wayang Sunda Sengkuni memiliki nama Sangkuning.

Dalam Versi wayang Jawa, Sengkuni digambarkan dalam sosok yang mirip dengan nama itu sendiri Sengkuni, dari kata "saka" dan "uni", yaitu menderita cacad buruk rupa adalah karena hasil ucapannya sendiri. Dalam hal ini Sengkuni bukanlah tipe orang yang mau belajar dari kesalahan, nama itu ia dapat karena wajahnya menjadi buruk setelah dihajar oleh Gandamana-pangeran kerajaan Pancala yang mengabdi pada kerajaan Ngastina pada masa pemerintahan Pandu.

Sengkuni yang ketika itu bernama Suman sangat berambisi merebut jabatan patih menggunakan cara-cara licik untuk menyingkirkan Gandamana.

Pada suatu hari Suman berhasil mengadu domba antara Pandu dengan muridnya yang berwujud raja raksasa bernama Prabu Tremboko. Maka terciptalah ketegangan di antara Kerajaan Hastina dan Kerajaan Pringgadani. Pandu pun mengirim Gandamana sebagai duta perdamaian. Di tengah jalan, Suman menjebak Gandamana sehingga jatuh ke dalam perangkapnya.

Suman kemudian kembali ke Hastina untuk melapor kepada Pandu bahwa Gandamana telah berkhianat dan memihak musuh. Pandu yang saat itu sedang labil segera memutuskan untuk mengangkat Suman sebagai patih baru. Tiba-tiba Gandamana yang ternyata masih hidup muncul dan menyeret Suman. Suman pun dihajar habis-habisan sehingga wujudnya yang tampan berubah menjadi jelek. Hidungnya yang semula "mbangir" jadi bengkok akibat tulangnya patah, matanya sipit seperti menyembunyikan rahasia, bibirnya cekung tertarik kebawah ketika diam jadi perlambang orang yang suka jual omongan dan gemar mengambil tindakan-tindakan tidak terhormat untuk menyingkirkan lawan-lawannya atau sekedar mengatur siasat dan menempatkan orang-orang kesayangannya.

Kresna, juga memainkan peran dalam siasat sepanjang kisah Mahabarata, jika Sengkuni adalah penasihat Duryudana, maka Kresna adalah yang mengatur arah bidak-bidak catur dalam perang Bharatayudha. Tercatat banyak tokoh-tokoh yang ia singkirkan baik dari pihak Kurawa maupun dari pihak Pandawa.

Kresna, putra Prabu Basudewa yang kemudian menjadi Raja Dwarawati, bergelar Prabu Sri Bathara Kresna. Beranama Kresna karena kulitnya yang berwarna hitam. Merupakan saudara kembar Baladewa, Baladewa sendiri berhasil disingkirkan oleh Kresna sebelum Bharatayudha berlangsung, kisah penyingkiran Baladewa terdapat dalam kisah "Krena Gugah", lalu Antareja anak Bima juga disingkirkannya sebelum pertempuran benar-benar terjadi.

Dalam Pertempuran tercatat gugurnya Pendeta Durna adalah akibat siasat licik dari tokoh ini, begitupun dengan tewasnya Sengkuni dan Duryudana di ujung pertempuran, meskipun yang bertarung adalah Bima tapi Sengkuni dan Duryudana menemui ajalnya setelah Bima mendapat nasihat (atau tak tik) dari Kresna.

Kresna pun adalah tokoh yang memiliki peran penting dalam mengaturjalannya pertempuran, dialah yang menentukan siapa bertemu siapa, siapa melawan siapa, siapa terbunuh oleh siapa. Dengan begitu, perang sejatinya berada diatas meja siasat.

Rabu, 20 Februari 2013

Demokrasi dan anarki, mimpi tentang jalan suatu negeri

Tadi sepulang dari SMP saya ketiduran, baru terbangun menjelang magrib, akhir-akhir ini hari rabu jadi hari paling melelahkan buat saya. Saat terbangun tadi pikiran saya masih sama seperti sebelum tidur, permasalahan berputar-putar dan selalu saja saya coba menenangkan diri, tidak perlu serius sebab segalanya serba iseng.

Demokrasi, suatu sistem pemerintahan yang menjadi pilihan bagi banyak bangsa didunia saat ini, bukan karena sedang "trend" kita juga turut memilih demokrasi atau sebagaimana pikiran banyak orang tentang demokrasi sebagai "obat mujarab" untuk menyelesaikan permasalahan. Bukan. Para pendiri bangsa memilih sistem ini karena terdapat kecocokan pola antara demokrasi dengan tradisi, terdapat kecocokan bukan sama sekali mirip, dan demokrasi bukan "obat mujarab" sebab ia perlu disempurnakan.

Pemikir awal demokrasi sendiri, Plato dan Aristoteles malah memandang demokrasi sebagai salah satu pilihan buruk dalam bernegara, ia adalah jalan menuju anarki. Ilustrasi demokrasi dalam hal ini adalah sebuah ruang yang memiliki banyak pintu, ditengahnya ada sebuah meja dan setiap orang memiliki kemudahan untuk menaruh kertas harapan diatas meja tersebut. Agar tidak terjadi kekacauan dalam ruangan tersebut, sebab karena kemudahannya maka setiap orang akan berebut bahkan bertindak curang dengan menghilangkan kertas harapan milik orang lain dari atas meja, dibentuklah suatu organisasi yang memiliki kewenangan untuk mengatur setiap pintu yang ada pada ruangan tersebut.

Lain waktu, karena manusia adalah makhluk yang memiliki kecenderungan untuk berubah maka peraturan-peraturan dibuat untuk menertibkan aktivitas di ruangan tersebut, tapi sisi lain dari manusia yang juga memiliki kecenderungan untuk berkuasa, tamak dan serakah maka terjadilah pola-pola dominasi yang pada akhirnya memancing unsur-unsur kekuatan yang bermunculan baik diluar maupun didalam ruangan. Dalam keadaan tersebut muncul lah suatu kekuatan diluar ataupun menyelinap didalam kekuatan-kekuatan yang ada, kekuatan ini adalah kekuatan anarki, tidak terorganisir tapi memiliki kekuatan dan jumlah.

Anarki adalah paham yang menyatakan bahwa segala penindasan oleh siapapun harus dilenyapkan. Dari asal bahasanya, anarki adalah "tanpa pemerintahan" yang karena menolak penindasan dengan anggapan bahwa segala bentuk negara dan pemerintahan adalah kekuasaan yang menindas, maka anarki juga anti bentuk atau tidak terorganisir. Sebagai teori politik, anarki mengupayakan pembentukan masyarakat tanpa hirarki dalam segi apapun dikehidupannya. Sebagaimana pendapat Pyotr Kropotkin-seorang anarkis Rusia yang menganjurkan suatu anarkisme komunis "Anarkisme adalah sebuah sistem sosialis tanpa pemerintahan. Ia dimulai di antara manusia, dan akan mempertahankan vitalitas dan kreativitasnya selama merupakan pergerakan dari manusia".

Walaupun anarki merupakan cabang dari sosialisme sebagaimana marxisme, pada dasarnya anarki adalah lawan utama kaum marxis, mereka terlibat perdebatan sepanjang sejarah marxisme (sosialisme ilmiah), anarkisme memegang teguh pendapat Bakunin "kebebasan tanpa sosialisme adalah ketidakadilan, dan sosialisme tanpa kebebasan adalah perbudakan dan kebrutalan" sedang kaum marxis memandang anarkisme adalah suatu "utopi" bahkan hingga munculnya paham "new left". Hari ini, kita menyaksikan, ketika komunisme telah lama ambruk, anarki tetap berkibaran hingga dijalanan kota-kota di Indonesia. Tapi tetap saja, anarkisme adalah "utopia".

Paham inipun sebenarnya pernah menarik perhatian pemikir Islam, Hassan Hanafi-pencetus "kiri Islam" yang menyatakan "sudah saatnya kita bergeser dari teologi statis-irasional menuju anarkisme-rasional", tentunya pendapat ini dimaksudkan sebagai autokritik atas bergesernya nilai-nilai dan pola kebangsawanan yang mengatasnamakan agama.

Anarki dan demokrasi adalah mimpi tentang suatu jalan, jalan pemecahan masalah yang membutuhkan proses, anarki adalah mimpi tapi ia ada dimanapun kita temui kelompok manusia, sedang demokrasi adalah mimpi yang senantiasa dibicarakan dan dibangga-banggakan keberadaannya meskipun sulit sekali mengidentifikasi pelaksanaannya ditengah pertarungan kekuatan-kekuatan dominan.

Selasa, 19 Februari 2013

Budaya dan Pendidikan (II)

Tentunya masih ingat dengan tujuh unsur universal kebudayaan, saya mendapatkannya waktu masih duduk di bangku SMU di pelajaran sosiologi, sekalian juga waktu itu saya mengenal Koenjaraningrat sebagai seorang ahli sosiologi, bertahun-tahun kemudian saya juga membaca rumusan ini untuk mencari jalan bagi skripsi saya. Dan dari proses skripsi saya itu saya kenal lagi nama, Clyde Kluckhohn dengan kerangka nilai-budayanya, berbekal dua rumusan inilah saya mengobrak-abrik komunitas punk di Kota Malang terkait gaya hidup dan orientasi gaya hidupnya.

Saya tidak sedang ingin membahas skripsi itu, tapi mengenai pendidikan, dan judul diatas adalah keanehan, bagaimana tidak jika sebenarnya pendidikan sendiri adalah bagian dari kebudayaan, dan saya malah memilih judul "Budaya dan Pendidikan" yang seakan-akan pendidikan itu berada diluar kebudayaan. Tidak, bukan seperti itu maksud saya, meskipun penempatan budaya di negeri ini juga tidak lebih baik, dimana kebudayaan selalu dikesankan berada didalam pendidikan, dan seringnya masyarakat kita selalu membicarakan kebudayaan hanya terbatas pada bagian terkecilnya saja, yaitu kesenian.

 Dari Konjaraningrat ada tujuh unsur budaya yang disebut tujuh unsur universal, anatara lain (1) sistem religi, (2) sistem dan organisasi kemasyarakatan, (3) sistem pengetahuan, (4) bahasa, (5) kesenian, (6) sistem mata pencaharian, (7) sistem teknologi dan peralatan. Dalam urutan tersebut juga dimaksudkan dari unsur yang mudah atau cepat berubah ke unsur yang sukar berubah. Teknologi adalah unsur yang paling cepat berubah akibat adanya interaksi antar kebudayaan dari masyarakat yang berbeda, dan unsur inilah yang rencananya akan dihapus dari daftar mata pelajaran tingkat SMP oleh pemerintah.

Lalu letaknya pendidikan disini mungkin akan banyak yang mengatakan bahwa pendidikan itu ada pada unsur sistem pengetahuan, pun itu tidak perlu untuk disalahkan, tapi ketika berbicara tentang pendidikan dimana pendidikan itu merupakan suatu proses maka letak pendidikan adalah pada proses budaya itu sendiri, terkait dengan bagaimana upaya masyarakat mempertahankan dan membenahi budaya/kebudayaannya.

Pendidikan adalah produk budaya, demikian juga sebaliknya, budaya adalah produk pendidikan, dengan begitu pendidikan adalah gejala kebudayaan. Pendidikan selalu mengalami perubahan dengan mengikuti gejala-gejala pembudayaan, dan yang paling sering disini adalah tentang masalah teknologi dan peralatan yang dalam setiap perkembangannya akan turut membawa perubahan pada unsur-unsur budaya berikutnya. Perubahan tersebut terutama sekali adalah sistem pengetahuan.

Komputer adalah contoh yang baik dalam hal ini, bagaimana perangkat teknologi ini mampu merevolusi pengetahuan banyak masyarakat dunia, terutama sekali dalam bidang informasi disamping segala urusan pekerjaan yang tiba-tiba kini dapat dikerjakan oleh seperangkat teknologi yang terdiri atas CPU, monitor dan keyboard tersebut, bagaimana peran dan fungsi surat dan kartu pos tiba-tiba dapat dipersingkat oleh email dan semacamnya. Lebih terperangah lagi kemudian dimana informasi-informasi diseluruh belahan dunia dapat diperoleh dengan hitungan detik melampaui tayangan televisi dan radio, bahkan lewat internet seseorang bisa saja membangun stasiun radio atau televisinya sendiri kalau dia mau.

Inilah, dari teknologi langsung menuju sistem pengetahuan, efeknya juga berlainan di tiap masyarakat yang secara umum sebenarnya memiliki masalah yang sama dibidang norma sosial akibat revolusi ini. Bahkan dalam masyarakat Indonesia terjadi kebingungan hebat akibat perubahan cepat dan beruntun dari teknologi dan pengetahuan, mungkin karena inilah maka teknologi dihapus dari daftar mata pelajaran tingkat SMP.

Tercatat ada dua unsur budaya yang tidak berdaya akibat perkembangan teknologi ini, yaitu kesenian dan bahasa, tidak seperti RRC dan Jepang dimana bahasa mereka dapat mengambil peran dalam perkembangan ini, bahkan di Malaysia pun terdapat upaya serupa. Hingga hari ini saya belum menemukan teknologi yang saya maksud ini yang berbahasa Indonesia, ada yang lebih dekat yaitu menggunakan bahasa melayu, Malaysia.

Kesenian? Tidak ada harapan, Korea menjadi contoh unik disini dimana negeri itu mampu memanfaatkan perkembangan teknologi untuk mengangkat karya-karya senimannya. Indonesia? Jangankan berharap perkembangan teknologi ini dapat mengaktifkan bidang kesenian, yang ada malah pembajakan yang mematikan potensi kesenian tersebut.

Sebagaimana yang sedang menjadi "trend" dipentas politik nasional, pencitraan, inilah wajah kebudayaan kita, wajah dari cerminan hati kita, wajah dari pendidikan kita yang masih saja mengedepankan nilai estetika tanpa perlu mempertimbangkan etika, tatanan artistik lebih utama disini, seakan mengharap etika akan mampu mengikuti tampilan artistik. Etika itu dibangun juga dari pengalaman, perkembangan teknologi membawa pengalaman yang berarti bagi bangsa ini, kita tidak harus selamanya bermanis muka tapi kenyataan dibelakang adalah kepalsuan dan kebodohan. Atau harus menjadi masyarakat terbelakang dengan topeng yang rupawan?. Salam.

Senin, 18 Februari 2013

Budaya dan Pendidikan

Kurikulum 2013, muncul dalam kehidupan masyarakat sebuah tanda tanya besar mengenai kebijakan ini, sekurang-kurangnya sudah sepuluh kali Indonesia membongkar-pasang kurikulum, dan jika kurikulum ini jadi dilaksanakan maka sudah menjadi yang kesebelas.

Pada dasarnya saya memandang pelaksanaan kurikulum 2013 ini merupakan satu langkah yang baik, hanya satu, tidak lebih sebab ternyata banyak sekali hal-hal yang tidak terkoreksi, sebut saja penghapusan mata pelajaran TIK di SMP serta kabar-kabar tentang penggabungan beberapa mata pelajaran, saya belum mengerti dengan pasti apakah hal ini hanya berlaku pada tingkat SD atau berlaku juga pada tingkat SMP? Masih tanda tanya. Tapi menurut saya penggabungannya kurang proposional.

Karena kurang mengerti maka tidak perlu dibahas, nanti malah menambah kekeruhan. Bahas yang sudah dimengerti dulu, tentang penghapusan matpel TIK di SMP, teknologi disini, hasil dari budaya yang dibangun selama puluhan bahkan mungkin ratusan tahun. Teknologi informasi.

Bukannya maksa, tapi yang namanya teknologi ini adalah salah satu unsur budaya dari tujuh unsur budaya yang dirumuskan Koenjaraningrat, dan ini adalah penting. Para siswa datang kesekolah untuk mendapatkan pengetahuan, pengetahuan itu adalah hasil pengalaman dari generasi sebelum-sebelumnya, termasuk dengan teknologi yang "njelimet" semacam TIK ini. Seringnya pembicaraan budaya/kebudayaan di negeri ini terjebak pada bagian terkecilnya saja, kesenian, bukannya tidak senang dengan bidang kesenian, tapi implikasinya terhadap pembangunan harus jadi pertimbangan.

Teknologi adalah juga seni, dan lebih dari itu teknologi adalah hasil nyata dari upaya manusia dalam mengolah dan menaklukkan keganasan alam, misalnya seperti teknologi informasi yang pada dasarnya adalah upaya manusia untuk menaklukkan alam terkait jarak dan waktu. Cangkul itu teknologi, juga sapu, punya nilai seni dan dua-duanya adalah hasil upaya manusia untuk mengolah dan menaklukkan alam.

Bapak saya, yang terhormat Yanuar Arief, saat masih jaman orba adalah seorang ahli elektro, banyak teman-temannya yang datang ke rumah buat mereparasi perlengkapan elektronik mereka, selain itu banyak juga pesanan untuk membikin perangkat-perangkat audio sampai-sampai pernah bikin studio musik yang sound sistemnya adalah buah tangan bapak. Pernah suatu ketika beliau berkelakar "saya ini seniman" kepada teman-temannya yang kemudian ditanggapi dengan canda tawa, tapi saya pikir kelakar bapak ini adalah serius, bapak adalah seorang seniman daripada seorang pegawai bank. Elektro, teknologi yang punya unsur seni.

Sebagaimana yang saya baca tentang pro-kontra penghapusan matpel TIK dari SMP adalah hanya karena kekhawatiran akan masih banyaknya guru yang gaptek alias gagap teknologi, maka saya ambil sudut pandang lain dimana tidak semua guru mampu membeli perangkat teknologi mengingat kabarnya TIK akan diintegrasikan dengan seluruh mata pelajaran yang ada, jangankan gurunya, siswanya yang belajarpun belum tentu mampu membeli. Sedangkan pemerataan fasilitas pendidikan di negeri ini masih jadi satu pertanyaan, atau bahkan masih sebatas angan-angan.

Jika hal tersebut tidak segera dipecahkan maka akan lebih jelas arah pendidikan negeri ini, yaitu pada suatu masyarakat kelas, sebab hanya masyarakat kelas tertentu saja yang akan menikmati pendidikan, bagaimana tidak, dimana masyarakat yang kebanyakan telah terasing ini masih juga dibebani biaya pendidikan, dan guru pada akhirnya sama seperti pedagang yang harus memiliki modal dagang. Lalu dengan keadaan seperti itu, tidaklah mungkin pendidikan mencapai kehasil gunaan dan kedayagunaan.

Sebagaimana penghapusan bahasa Inggris di tingkat SD yang tiba-tiba saja hal ini mengikut sertakan semangat nasionalisme sempit tentang bahasa, lha wong bahasa teknologi yang ada diseluruh dunia ini adalah bahasa Inggris, kok ya bahasa Inggris mau dihapus, mungkin hal itu bisa dilakukan jika seluruh teknologi di Indonesia ini bahasanya diubah pakai bahasa Indonesia. Saya tidak tahu apa di RRC dan Jepang sana bahasa Inggris diajarkan mulai sekolah dasar atau tidak, yang saya tahu banyak teknologi yang juga memakai tulisan dari dua negeri ini.

Keterbukaan adalah sangat penting dalam alam demokrasi, termasuk keterbukaan untuk menyusun kurikulum pendidikan, rakyat harus dilibatkan dalam hal ini, seluruh rakyat.

Sebagaimana pendapat Maxim Gorky "Hidup berarti sebuah usaha untuk pengetahuan, sebuah perjuangan untuk menaklukkan kekuatan misterius alam demi kehendak manusia. Semua manusia... harus bahu-membahu untuk perjuangan ini yang harus berpuncak pada kemerdekaan dan kemenangan akal-yang terbuat dari seluruh kekuatan dan satu-satunya kekuatan di dunia yang bekerja secara sadar".

Dan pendidikan sendiri adalah bagian dari unsur budaya, yang saat ini pendidikan inilah yang sepertinya memberi pembatasan pada budaya/kebudayaan, atau pikiran saya salah? Jika salah saya mohon maaf dan mohon koreksi. Salam.

Minggu, 17 Februari 2013

Menyelamatkan demokrasi, menyelamatkan bangsa

Masih dalam pembicaraan demokrasi, belum juga menemukan konsep yang sesuai untuk pelaksanaannya, bukan berarti tidak ada sebab di negeri ini telah ada tradisi musyawarah mufakat sebelumnya, hanya saja tradisi ini cenderung ditinggalkan dan bergeser pada sistem liberal dimana kemenangan mutlak dimiliki oleh mayoritas suara. Dan ini salah. Dengan cara seperti itu, pada akhirnya demokrasi yang diterapkan malah menyimpang dari pancasila.

Demokrasi menghendaki perbedaan, begitupun dengan pancasila dimana perbedaan memang diharapkan ada. Bhineka tunggal ika bukan hanya sekedar semboyan, ini adalah konsepsi untuk demokrasi, demokrasi yang diterapkan-disesuaikan dengan pandangan hidup bangsa, demokrasi pancasila. Inilah mengapa demokrasi pancasila tidak mengenal "oposisi" dan "koalisi" sebab yang diharapkan bukan sekedar suara mayoritas, minoritas juga harus diperhatikan. Ingin rasanya membicarakan hal ini dengan Pak Franz Magnis dan Pak Mahfud MD. Mimpi.

Dan yang sering terjadi adalah monokrasi yang menyatakan dirinya sebagai demokrasi dengan sistem mayoritas suara, sebagaimana regim orba yang otoriter dalam kemasan "demokrasi pancasila!". Memang pengertian monokrasi adalah pemerintahan yang dijalankan oleh seorang penguasa. Tapi apa yang terjadi jika struktur organisasi yang ada tidak menjalankan kewenangan dengan semestinya, sebaliknya malah terdapat bayang-bayang kekuasaan yang lebih berwenang diluar struktur organisasi.

Hal demikian tidak saja terjadi pada tataran pemerintahan, sangat mungkin dalam pemerintahan dari pusat hingga daerah untuk memunculkan kondisi seperti itu, apalagi pemerintahan di daerah juga telah menempatkan kepala daerah sebagai penguasa yang absolut, memang ada terdapat DPRD tapi legislatif daerah ini adalah bagian dari pemerintahan daerah. Dan Presiden pun tidak dapat memecat atau memberhentikan kepala daerah kecuali terdapat kepala daerah yang terlibat kasus pidana. Kondisi seperti ini niscaya dalam lembaga-lembaga non pemerintahan, tanpa mengurangi rasa hormat terhadap keberadaan lembaga-lembaga swasta yang pada dasarnya memiliki kebijakan dan aturan-aturan sendiri dalam mengaktifkan organisasinya, tapi keadaan semacam ini malah menyumbangkan "panorama liberalisme" dalam kehidupan berbangsa.

Dengan begitu, bangunan hukum yang dilengkapi oleh sanksi yang tegas adalah pilihan untuk menyeimbangkan demokrasi, toh yang berlaku di negeri ini seharusnya adalah nomokrasi (kedaulatan hukum) di samping demokrasi (kedaulatan rakyat) bukan malah monokrasi.

Para pemikir demokrasi awal, Plato dan Aristoteles sendiri sebenarnya malah menolak konsep demokrasi, sebagaimana yang dijelaskan oleh Aristoteles dalam hal ini, demokrasi merupakan pilihan buruk dari pilihan-pilihan lain yang buruk, demokrasi adalah sistem politik yang berbahaya sebab banyak "demagog" yang bergentayangan didalamnya. Para demagog itu adalah penipu, agitator yang seakan-akan memperjuangkan kepentingan rakyat padahal hanya mementingkan kesenangan dirinya dan membawa demokrasi ke dalam sistem diktaktorial, atau katakanlah "seolah-olah demokrasi".

Kiranya apa yang pernah di pikirkan oleh Aristoteles tersebut dapat menjadi pertimbangan dengan melihat realitas yang ada di negeri ini. Membentengi demokrasi dengan hukum adalah perlu, maksudnya adalah menegakkan hukum dengan mempertegas sanksi yang nantinya akan menjadi pagar sekaligus "ranjau" bagi para demagog.

Sabtu, 16 Februari 2013

Kerisauan yang tidak perlu terhadap komunisme

Pak Mahfud melempar wacana UU Komunis, alasannya adalah karena bangsa Indonesia menyatakan anti komunis tapi tidak memiliki UU yang mengaturnya. Benar juga sebenarnya,sudah cukup lama ideologi komunis dilarang di negeri ini tapi tidak terdapat aturan untuk mempertegas pelarangan tersebut, menurut Pak Mahfud, sanksi yang ada hanyalah sanksi politik dan tidak mengarah ke pidana sehingga masih memungkinkan untuk memberi peluang kebangkitan gerakan ideologi yang dilarang tersebut. Dengan kondisi seperti itu yang ditolak adalah pada tataran ideologi tapi secara hukum bebas, demikian alasan yang dipaparkan oleh Pak Mahfud MD di sela-sela acara “Sinyalemen Kebangkitan Kembali Gerakan Komunis Indonesia” di Pesantren Tebuireng, Jombang, Selasa (12/02/2013)

Saya tidak begitu paham dengan jalan pikir beliau, hanya saja saya pikir memang seharusnya demikian, harus ada aturan dengan sanksi yang tegas, lebih terperinci. Hanya saja saya pikir kalau hal tersebut (UU anti komunisme) benar-benar di undangkan maka sekali lagi pancasila di ciderai. Pancasila tidak mengatakan bahwa komunisme tidak dapat hidup dan berkembang di Indonesia, pancasila lebih menekankan pada semboyan "bhineka tunggal ika". Berbeda-beda tetapi tetap satu jua, tidak terdapat sama sekali sila-sila dalam pancasila yang mengatakan komunisme atau ideologi lain tidak boleh hidup dan berkembang di Indonesia. Pelarangan terhadap ideologi dan keyakinan jadinya sebuah pelanggaran terhadap pancasila itu sendiri.

Komunisme pun tidak perlu diresahkan kemunculannya, fakta yang ada adalah komunisme telah lama ambruk, sejarah telah menunjukkan kegagalan komunisme dalam membangun tatanan masyarakat, bahkan raksasa-raksasa komunisme dunia seperti RRC dan Rusia telah menggeser jauh pandangan ideologinya meskipun simbol-simbol komunisme masih diperlihatkan dan didengungkan, kini minimal ada dua negara yang masih bertahan dengan komunisme, Korea Utara dan Kuba. Persekutuan mereka pun tidak terlalu harmonis dibandingkan dengan persekutuan negara-negara liberal.

Kalau hanya memakai sudut pandang kesejarahan, malah hanya memperlihatkan pengalaman traumatik yang sebenarnya sama sekali tidak perlu. Komunisme dalam sejarahnya memang dicatat melakukan dua kali upaya pemberontakan terhadap pemerintahan yang sah negeri ini, yang pertama yang kita kenal dengan "peristiwa Madiun" dimana Partai Komunis Indonesia untuk pertama kalinya melakukan pemberontakan bersenjata yang pada dasarnya mendapat tentangan yang tidak saja oleh pihak diluar PKI tapi juga oleh tokoh-tokoh komunis itu sendiri, diketahui Tan Malaka menentang dan telah berupaya mencegah meski gagal dan turut menjadi korban pembersihan komunis oleh tentara Indonesia.

Pada masa itu juga diketahui bahwa Soekarno dan para pendiri negara yang serta merta adalah perumus dasar negara tidak melarang kehadiran komunisme, beberapa tahun kemudian PKI berdiri lagi di negeri ini dengan kekuatan yang lebih besar hidup berdampingan dengan kelompok-kelompok lainnya dimasyarakat, termasuk kelompok yang dengan gigih menentangnya. Kali ini perseteruannya adalah dengan kaum agama, khususnya NU yang memposisikan diri sebagai penghalang utama yang reaktif terhadap PKI.

Terjadi persaingan tidak saja dalam tataran ideologi, setiap kebijakan PKI mendapat perlawanan tandingan dari NU. Tercatat seperti berdirinya LESBUMI sebagai reaksi atas hadirnya LEKRA, atau juga dengan GP Anshor dan yang lainnya. Terdapat juga aksi rebutan lahan sebagaimana yang diceritakan dalam buku "Palu arit di ladang tebu" yang memperlihatkan dalam wilayah-wilayah yang menjadi basis komunis seperti di sekitaran pabrik gula juga turut bermunculan pesantren, inilah konflik budaya yang berujung pada konflik politik yang bagi saya adalah kebalikannya yaitu konflik politik yang menunggangi budaya.

Yang terjadi kemudian adalah upaya balas dendam, letupan amarah yang dibina selama beberapa tahun mengakibatkan pertumpahan darah, diperkirakan 78.000-500.000 orang dibantai pada kurun waktu 1965-1966, terdiri atas simpatisan PKI dan orang-orang yang kebetulan dituding sebagai simpatisan PKI. Bahkan kisah lisan yang sering saya dengar lebih mengerikan daripada yang saya baca dari buku-buku. Dan saya bukanlah ahli sejarah untuk menentukan benar-tidaknya, sebagaimana juga saya ketahui ternyata  terdapat permainan selain intrik yang dilakukan oleh kedua belah pihak, selain PKI dan NU ada kekuatan lain yang memanfaatkan perseteruan ini yang pada akhirnya berhasil mengosongkan dua sisi kekuatan besar tersebut tanpa harus ikut bertempur. Saya tidak dapat menyebutkannya selain kekuatan tersebut datang dari pihak yang ingin kapitalisme masuk ke Indonesia, dan syarat kapitalisme-liberalist ini hanya satu yaitu peran negara sekecil-kecilnya sedang peran pasar sebesar-besarnya, jadi pola kebangsawanan feodalis harus dapat dipertahankan untuk dimanfaatkan.

Jika muncul pertanyaan "kenapa kekuatan berbasis agama juga ikut dikosongkan?" Jawabannya adalah pada dasarnya Islam~yang dalam hal ini diwakili oleh keberadaan NU adalah juga penghalang besar bagi kapitalisme, sebagaimana sejarah penolakan Islam oleh kalangan hartawan Mekah karena mereka merisaukan implikasi-implikasi sosial-ekonomi dari risalah Nabi Muhammad SAW.

Kalaupun lagi, penolakan komunisme ini karena komunisme adalah paham yang "atheis" karena dalam dotrinnya mengatakan bahwa "agama adalah candu" sebagaimana pendapat Karl Marx tentang agama, pun bukanlah suatu alasan yang tepat untuk merisaukan kebangkitan komunisme. Selain sejarah yang memperlihatkan bahwa orang-orang penggerak komunis di negeri ini adalah orang yang beragama, sebenarnya yang harus kita tolak itu atheisme, dilarang untuk tidak beragama di Indonesia karena kita ini bangsa yang berketuhanan dan penolakan terhadap komunis adalah tidak penting.

Seharusnya terdapat UU atheisme untuk melaksanakan sila pertama pancasila, bila perlu juga terdapat UU fasisme, UU imperialisme dan lebih penting UU gratifikasi sex daripada harus bersikap "anti-antian" yang pada akhirnya malah mengesankan kemunafikkan.

Jumat, 15 Februari 2013

Negeri tanpa pengabdi

Jum'at Pagi
Kemarin sinyal modem hancur, jadi baru bisa "ngeblog" pagi ini, mungkin target sehari satu judul sudah berakhir dengan "galau"nya sinyal modem kemarin, tapi saya akan tetap menulis untuk menemukan Indonesia.

Karena kemarin tidak bisa "ngeblog" maka saya sempatkan untuk nonton TV sampai malam, hanya ada dua tayangan yang menarik dari dua puluh chanel tv yang ada di rumah, dan keduanya ditayangkan bersamaan saat saya memutuskan untuk mau mengakhiri nonton tv kemarin.

Di TV One ada ILC, judulnya "korupsi meruyak, negeri sekarat" dan di Metro TV ada juga acara serupa cuman saya tidak tahu nama acaranya, begitupun dengan temanya, yang berhasil saya tangkap adalah ada seorang staff kepresidenan yang turut hadir disana. Karena penjelasannya tidak begitu mengena maka saya sering meninggalkan acara ini, saya lebih intens ke ILC.

Memang pada dasarnya kesejahteraan sosial, kestabilan politik dan peran pasar adalah tiga hal yang penting, ketiganya harus jalan, seimbang. Tapi yang terjadi di negeri ini adalah peran pasar lebih besar, kesejahteraan sosial hanya dalih penghibur saja, bagaimana tidak jika warga negara masih juga diposisikan sebagai konsumen. Ini negeri tanpa pengabdi, semua jadi serba pamrih.

Di channel ILC jadi lebih ramai, bukan saja karena dihadiri oleh para profesor, pejabat dan wartawan senior, tapi dari satu tema "korupsi meruyak, negara sekarat" tiba-tiba permasalahan berkembang, meskipun "sang moderator" Pak Karni Ilyas selalu berusaha mengembalikan pembicaraan kepada tema tapi tetap saja komentar dan pandangan-pandangan yang ada sering membuka jalur-jalur permasalahan baru.

Pak Yusril Ihza Mahendra melontarkan pandangannya dengan mengkritik pelaksanaan sistem di Indonesia, menurutnya bangsa ini anti terhadap korupsi, membuat peraturan tentang anti korupsi untuk mengupayakan pemberantasan korupsi tapi masih juga membuka peluang terjadinya korupsi. Beliau mencontohkan dengan penyelenggaraan Pemilukada yang memberikan peluang besar terhadap terjadinya korupsi.

Dari pemaparan yang ada sepanjang acara adalah Pemilukada memiliki banyak kelemahan yaitu tidak adanya pembatasan dalam penyelenggaraannya, asal punya modal langsung maju dalam pencalonan, dan modal yang terutama disini adalah uang. Semakin banayak uang yang dikantongi sebagai modal, maka semakin bebas untuk berbelanja keperluan kampanye. Tidak cukup hanya berhenti disitu, begitu mencapai tujuan, sebagai kepala daerah maka sekaligus harus bersiap untuk pencalonan berikutnya, dana kampanye tentu dari hasil selama menjabat, jadi disamping memikirkan cara untuk balik modal, tentunya juga harus dipikirkan modal untuk bertahan. Selesai? Belum, masih ada penyakit akut lainnya, yaitu nepotisme.

Pandangan kepala daerah yang hadir juga segaris dengan itu, dan pandangan mereka terkesan menyesali penyelenggaraan Pemilukada dengan sistem demokrasi langsung tersebut, sepertinya lebih menginginkan atau bahkan merindukan sistem yang lama dimana kepala daerah dipilih dengan cara keterwakilan atau bahkan penunjukkan sebagaimana yang dilaksanakan pada masa orde baru.

Ada pendapat dari seorang profesor yang tidak saya kenali namanya, yang pasti guru besar tata negara dan bukan Pak Mahfud MD, menyatakan bahwa yang terpenting adalah pembatasan atas penyelenggaraan pemilukada, segala pembatasan harus diatur lebih tegas, termasuk membatasi kewenangan kepala daerah yang memang sampai hari ini masih bersifat absolut.

Hingga saya tinggal tidur tidak ada sama sekali dari tokoh-tokoh tersebut yang mempersoalkan mentalitas, memang peraturan perundang-undangan adalah sangat penting untuk membentuk dan menjalankan sistem, tapi apalah arti suatu peraturan jika dari yang mengatur hingga yang diatur adalah manusia bermental maling? Korupsi, nepotisme, kolusi dan koncoisme itu terjadi hingga daerah, bahkan didaerah dan pada wilayah-wilayah swasta keadaannya sudah cukup mengerikan. Jadi tambah mengerikan adalah ketika hal-hal tersebut juga menjangkiti wilayah pendidikan.

Bagi saya biang keladinya adalah bergesernya status warga negara menjadi konsumen, dimana peran pasar jadi sangat besar, negara hanya membela kepentingan pasar, selanjutnya adalah menimbulkan krisis sosial yang berlanjut pada krisis moral. Penanggulangan dengan cara pembatasan lewat penegasan sanksi adalah sangat penting. Ingin sekali saya berkata kepada seluruh masyarakat negeri ini "orang jadi rusak karena tidak berilmu, orang berilmu rusak karena tidak diamalkan. Orang mengamalkan ilmu jadi rusak karena tidak ikhlas", mengabdi tanpa pamrih sepertinya tidak ada sama sekali di negeri ini, semua orang sepertinya gila hormat, gila kekuasaan.

Dalam acara ILC kemarin Pak Sujiwo Tedjo juga berkesempatan menampilkan kebolehannya sebagai dalang, judulnya kemarin saya tidak sempat membaca sebab terkesima dengan kritik-kritiknya. Yang pasti ketika para kesatria negeri tidak mampu menumpas kebathilan, maka yang jadi tumpuan terakhirnya adalah sosok Semar. Semar, barang sing samar kata orang Jawa, yang dimaksud adalah Tuhan, kehendak Tuhan pada akhirnya teraplikasi lewat tindakan rakyat.

Rabu, 13 Februari 2013

Kapan dapat kita bicarakan kemanusiaan?

Tadi waktu menjalani tugas piket ada beberapa orang siswa menghampiri saya dipelataran ruang guru, sebagai anak-anak mereka cenderungnya lebih banyak bergurau dan bertanya, dari masalah persenjataan; perang dunia; hingga degradasi moral yang sedang dihadapi oleh generasi ini. Syukurlah ada yang menyadari hal ini, meskipun mungkin hanya sekedar pertanyaan "iseng" tapi toh wacana ini sudah ada dikepala mereka.

Ada pertanyaan sedikit "filosofis" tadi, meskipun anak-anak tapi pertanyaannya sampai kebawa pulang "kapan dapat kita bicarakan kemanusiaan?" Awalnya saya pikir pertanyaan ini hanya sekedar main-main hingga ia memperjelas sudut pandangnya "tadi anda bicarakan tentang kemungkinan terjadinya perang dunia ke tiga dengan melihat persiapan negara-negara Asia yang gemar belanja senjata, sedang kemiskinan dan pelanggaran HAM masih jadi tema utama di negara-negara ini" demikian penjelasan sudut pandangnya.

Saya tidak berpikir panjang tadi, saya hanya memberi sudut pandang saya "kemanusiaan hanya dapat dibicarakan oleh kalangan manusia, maksudnya adalah suatu kegoblokkan tersendiri membicarakan moral ditengah-tengah perebutan kekuasaan", mungkin muncul banyak sekali pertanyaan dalam diri siswa itu, begitupun dengan saya "moral? Kalangan manusia? Perebutan kekuasaan? Apa hubungannya dengan kemanusiaan?"

Tentunya adalah pertanyaan awal, "kapan dapat kita bicarakan kemanusiaan?", kapan? Bisa saja kita jawab "setiap saat" tapi apakah nantinya dapat mengena? Apakah pembicaraan atas kemanusiaan ini tidak sekedar hanya 'seruan moral' semata? Kita butuh solusi.

Membicarakan kemanusiaan dengan orang yang gila kekuasaan atau minimal gila hormat adalah kesia-siaan, mungkin malah kita dianggap sebagai seorang munafik. Tapi itu hanya kemungkinan, sebagaimana yang saya dapati dari pengalaman saya, bagaimanapun pengalaman tiap-tiap orang berbeda, dan toh hingga saat ini tetap saja ketika membicarakan kemanusiaan saya harapkan selalu kesadaran dari lawan bicara, termasuk dengan para siswa ini.

Tentang moral dengan kemanusiaan tidak perlu dipertanyakan lagi, kemanusiaan itu ya moral itu tadi, apa saja yang kita anggap menyalahi aturan moral kita anggap sebagai tidak manusiawi, dan kemanusiaan akan tetap sama dimanapun dan kapanpun. Dalam hal perebutan kekuasaan, jangan jauh-jauh berfantasi tentang perang dunia ataupun politik nasional yang memang penuh dengan intrik kepentingan, kepentingan, sudah pasti kekuasaan. Kekuasaan tidak hanya sekedar jabatan, tapi juga mengenai pengaruh. Cukuplah melihat lingkungan masyarakat kita.

Dalam masyarakat kita yang langgeng adalah tradisi feodal yang kuat karena sejak sejarahnya kolonial hal tersebut sengaja dimanfaatkan, tentunya untuk kepentingan kolonial, setelah kemerdekaan juga tidak lebih baik, apalagi masuk jaman orde baru. Masyarakat feodal kita masih terperangah dengan mewahnya kebangsawanan, gila hormat-gila kuasa adalah perilaku dari masyarakat feodal kita.

Tidak pernah sekalipun saya temui orang yang gila kekuasaan ataupun hanya sekedar gila hormat (meskipun keduanya sama saja bagi saya) yang mengindahkan kemanusiaan. Sejarah pada dasarnya telah memberi gambaran contoh kasus tentang hal ini, seperti yang pernah terjadi di Jerman pada masa kepemimpinan Adolf Hitler, dimana bayi-bayi banyak yang dibunuh hanya karena ukuran kepala mereka tidak sesuai standar yang ditentukan oleh pemerintah setempat. Atau sebagaimana yang terjadi di China, ketika pemerintah China menetapkan bahwa satu keluarga hanya boleh memiliki seorang anak, yang selanjutnya setiap keluarga di China memilih anak laki-laki daripada anak perempuan, kalaupun yang terlahir perempuan pastinya kalau tidak dibunuh ya dibuang.

Memang sebagai manusia kita memiliki kebebasan, termasuk bebas dalam menentukan siapa kita, tapi kebebasan itu pada dasarnya harus dapat dipertanggung jawabkan secara moral. Saya kutip cerita sebagaimana yang saya ceritakan kepada para siswa ini tentang cerita yang pernah ditulis oleh Pak Franz Magnis-Suseno:

Saya makan malam di restoran. Akhirnya saya harus membayar Rp. 2.450,-. Saya sodorkan secarik uang Rp. 5.000,-. Waktu saya menghitung-hitung kembalinya, ternyata pelayan restoran tadi mengembalikan Rp. 7.050,-. Sejenak saya senang: sudah makan enak malah masih diberi uang! Tapi segera hati saya menegur: kau harus segera mengembalikan uang kelebihan itu karena kau tidak berhak atasnya. Kalau tidak, pelayan restoran itu sendiri harus membayar kekurangan kasnya kepada pemilik restoran. Jadi saya sadar bahwa secara moral saya wajib untuk mengembalikan uang kelebihan itu. Tetapi sekaligus saya juga menyadari bahwa saya dapat juga tidak mengembalikannya. Saya tidak menggubris teguran suara hati saya. Saya bebas untuk menaati suara hati saya atau tidak. Dan dalam kebebasan itu saya sadari bahwa saya, hanya saya, yang bertanggung jawab atas perbuatan saya. Hanya karena saya memiliki kebebasan, saya dapat dibebani kewajiban moral.(Franz Magnis-Suseno, Etika dasar: masalah-masalah pokok filsafat moral, Kanisius, 1987)

Demikian, jikalau saya hanya memikirkan kesenangan, saya tidak akan mengembalikan uang lebih tersebut. Gila hormat dan gila kekuasaan hanyalah mengenai kesenangan, tidak akan mungkin ada kemanusiaan, bagaimana membicarakan "kemanusiaan" dengan orang yang sedang kehilangan kesadaran manusiawinya?.

Saya hanya dapat menutup obrolan dengan konsepsi "orang rusak karena tidak berilmu. Orang berilmu rusak karena tidak diamalkan, dan orang mengamalkan ilmu jadi rusak karena tidak ikhlas" sebagaimana dapat dengan mudah kita jumpai lingkungan yang penuh dengan pamrih maka rusaklah lingkungan itu, dalam lingkungan sedemikian itu yang ada adalah pertarungan, berebut kuasa, saling menguasai-mendominasi satu sama lain, kesenangan yang dibela, kemanusiaan hanyalah omong kosong di tempat seperti itu.

Atau dapat juga kita katakan bahwa moral yang pada dasarnya kemanusiaan itu adalah juga keikhlasan.

Selasa, 12 Februari 2013

Indonesia bukan kafir! (2)

Kafir, sering kali istilah ini digunakan secara gegabah dan ceroboh. Secara harfiah "kafir" adalah berarti orang yang menyembunyikan atau mengingkari kebenaran, dan dalam Islam adalah orang yang mengingkari nikmat Allah, lawan katanya adalah "syakir" atau orang yang bersyukur.

Tindakan "mengkafirkan" orang atau sekelompok orang tidak hanya terjadi akhir-akhir ini, tindakan ini sudah ada berabad-abad silam, yang umumnya persoalan yang mendasarinya adalah kepentingan kelompok tertentu. Berarti disini adalah tindakan politis, yaitu tindakan untuk mengatasi lawan-lawan politik.

Tindakan seperti ini dikenal dengan istilah "takfir" yang mulanya merupakan masalah teoritik yang berhubungan dengan konsep keimanan, yang kemudian berkembang menjadi persoalan yang bersifat praktik; alat bagi kepentingan (politik) kelompok tertentu. Hal ini terjadi karena perbedaan paham tentang dogma-dogma keimanan yang menjadi sangat berbahaya ketika berada ditangan oknum yang fanatik terhadap kelompoknya.

Banyak hal yang dapat menyebabkan takfir dan yang pasti kesemuanya itu dilandasi oleh kepentingan politik, ketidaktahuan adalah hal yang utama dalam penggunaan takfir sebagai senjata politik, sering menjadi tak tik "name calling" untuk menghabisi peran lawan politik. Sedang dalam Al Quran sendiri tidak terdapat anjuran untuk menghujat, apalagi menimpakan istilah "kafir" secara membabi buta, hanya dua macam kafir yang disebut dalam Al Quran, kafir dzimmi dan kafir harbi.

Memang hanya terdapat dua golongan di dunia ini, yaitu golongan Islam dan golongan kafir, tapi dalam perkembangannya istilah kafir ini malah juga digunakan untuk menyerang sesama kelompok Islam yang berbeda pandangan. Bahkan hanya karena berbeda pandangan politik sering pula terdapat kecenderungan untuk saling mengkafirkan satu sama lain, sebagaimana juga untuk meruntuhkan kewibawaan suatu negara.

Tidak adanya pemahaman mendalam tentang bagaimana suatu negara dapat dikategorikan kafir adalah pangkalnya, pengkategorian negara semacam itu adalah dari kondisi penduduknya, bukan dari sistem hukum yang mendominasi di negara tersebut. Selama negara yang penduduknya mayoritas muslimin dan syi'ar-syi'ar masih ditegakkan maka negara tersebut bukanlah suatu "daulah kafirah". Syi’ar-syi’ar Islam tersebut seperti adzan, shalat berjamaah, shalat Jum’at, shalat ‘Id, dalam bentuk pelaksanaan yang bersifat umum dan menyeluruh.

Sebaliknya jika syi'ar-syi'ar tesebut tidak dilakukan secara umum, hanya sebatas minoritas muslimin, maka negara tersebut bukan negara Islam. Dengan Indonesia, dimana syi'ar-syi'ar Islam dilakukan secara umum dan menyeluruh dengan sendirinya Indonesia adalah negara Islam, bukan suatu "daulah kafirah", bahkan di Indonesia sendiri juga menjamin keamanan dari pelaksanaan syi'ar-syi'ar Islam. Sungguh sangat meragukan ketika suatu kelompok menganggap Indonesia adalah suatu "daulah kafirah" sebab itu hanyalah tindakan politis tidak sedang benar-benar ingin menegakkan syi'ar tapi sekedar kepentingan dan kekuasaan semata.

[sebelumnya: Indonesia bukan kafir (I)]

Senin, 11 Februari 2013

Perlawanan musik "underground"

Sore-sore mau menyelesaikan beberapa draf tapi terganggu oleh kondisi, penyakit silih berganti datang, terakhir ini tenggorokkan serasa sakit buat nelan dan pundak sebelah kanan rasanya ngilu. Beberapa referensi juga gagal saya temukan, jadi beberapa draf masih belum dapat diterbitkan.

Mencoba mengulangi kebiasaan yang sudah cukup lama saya tinggalkan, tapi dengan beberapa modifikasi, yaitu bersantai dengan mendengarkan musik, dari dulu pilihan saya adalah lagu-lagu karya Iwan Fals dan Kurt Cobain walaupun ada beberapa lagi karya musisi lain tapi karya dari dua musisi yang saya sebut ini adalah yang paling sering saya dengarkan dulu.

Kali ini saya mendengarkan lagu-lagu karyanya Kurt Cobain dengan band Nirvananya yang dituding sebagai pelopor musik grunge, sampai hari ini masih belum saya pahami apa yang membedakan genre "grunge" ini dengan musik rock yang lain. Hanya satu yang saya temukan ketika sedang menyelesaikan skripsi saya dulu, bahwa grunge ini adalah bentuk lain dari punk dengan nuansa musik yang lebih kelam dan berat. Sama-sama mengusung tipikal kritik sosial tapi grunge lebih menekankan pada sudut pandang kefrustasian, selalu terlihat pada bagian akhir lagu-lagu yang beraliran grunge yaitu jerit kemarahan dan keputus asaan, dan inilah ciri khasnya. Kurt sendiri sebagai maestro musik "grunge" mengatakan bahwa dia adalah punk.

Saya kenal warna musik ini sejak duduk dibangku SMP, pada waktu itu banyak genre musik yang bukan mainstream menyerbu jalanan dan dianut oleh banyak kalangan pemuda dan pelajar, sebut saja punk, grunge, black metal, grind core, hard core dan lain sebagainya, terakhir masuk adalah ska yang sepertinya akhir-akhir ini menjadi pilihan alternatif ditengah kebosanan.

Sekitaran tahun 1996-97 warna-warni musik ini merubah pola tingkah laku pemuda di jalanan, sebagai alternatif pilihan untuk memberontak kemapanan, tentunya adalah kemapanan musik yang jadi mainstream yang pada perkembangannya adalah juga turut mendobrak gaya hidup dan pola pikir masyarakat kebanyakan. Terjadi pertempuran simbol antara masyarakat kebanyakan dengan para penggiat musik-musik "underground" ini, bahkan juga didalam alam "underground" ini juga muncul perseteruan yang menghebat waktu itu hingga sering kali terjadi perang fisik di jalanan.

Tekanan politik yang mengupayakan keseragaman oleh regim hegemonik orde baru menuntut masyarakat untuk dapat berpikir aman, tidak banyak pilihan dalam banyak hal bagi masyarakat, termasuk dalam kehidupan politik yang penuh tekanan dan manipulasi membuat energi pemberontakkan menumpuk dan mencari celah pelampiasan, energi itu menemukan salurannya lewat musik yang lebih berisik dan mengusik telinga-telinga kebangsawanan, kebangsawanan yang korup.

Mungkin momentum 1998 adalah puncak dari fenomena ini, dimana letupan akibat berbaurnya kejenuhan para pemuda-pelajar menemukan posisinya yang lebih politis. Toh pada waktu itu, meskipun yang dominan adalah aparat dan mahasiswa, tapi pada dasarnya para pelaku musik "underground" juga turut hadir membawa atributnya ditengah-tengah kerusuhan. Saya masih teringat salah satu televisi swasta mempertontonkan anak kecil dengan rambut mohawk berwarna merah mengibarkan bendera merah-putih diantara aparat dan kerumunan massa (saya tidak berani menyebut "demonstran" sebab waktu itu juga terjadi kerusuhan dan penjarahan).

Waktu itu saya ada dipihak grunge, sering nongkrong di mall, tidak banyak atribut yang dikenakan, sweater yang dipadu dengan jeans belel, dibandingkan dengan anak-anak metal yang terlihat kompak dengan dandanan serba hitam dan anak-anak punk yang lebih ramai lagi dengan tampilan jalanan khas Amrik itu. Waktu itu saya juga sering meledek teman-teman dari "faksi" hard core yang sering terlihat mengalungkan handuk kemanapun mereka pergi. Sering pula jadi penonton dari pertarungan jalanan antara anak-anak punk dan metal di seputaran alun-alun.

Waktu itu saya juga tertarik berkumpul dengan sekelompok pemuda yang menamakan dirinya "brigade long hair" yang sering terlihat berkumpul disudut utara alun-alun, tidak ada alasan yang dapat saya jelaskan tentang hal ini selain mereka terkesan lebih "Aremania" dan tidak memiliki seteru. Pun kegemaran mereka untuk mendengar dan mengoleksi album musik metal tanah air semacam Power Metal juga merupakan minat saya waktu itu. Pada akhirnya saya juga tergabung dalam kerumunan itu, meskipun berambut cepak dan termasuk masih anak-anak dibandingkan yang lain dengan rambut yang memanjang hingga mirip sedang menyapu jalan waktu berjalan dan rata-rata mereka umurnya sudah cukup jauh diatas saya. Waktu saya punya kesempatan memanjangkan rambut, kelompok ini malah bubar.

Di lingkungan sekolah pun tidak kalah ramai, pas masih SMU ada terdapat banyak faksi musik, punk, grunge, black metal dan para penggemar musik "pop"~untuk mengidentifikasi mereka yang gemar mendengar dan memainkan musik yang lagi populer. Meskipun tanpa perseteruan antar "faksi underground" tapi persaingan memperebutkan pengikut jadi kesan harian di sekolah, korban yang jadi musuh bersama adalah para penggemar musik pop. Pernah pada suatu kesempatan diacara ulang tahun sekolah, teman-teman penggemar musik Dewa 19 menjadi objek hujatan kaum underground ini.

Memang kejenuhan terhadap segala yang mapan akan melahirkan perlawanan-penyerangan terhadap simbol-simbol kemapanan. Bukan tanpa alasan saya menulis semua ini, selain yang saya tangkap dari perilaku pemuda-pelajar saat ini, keadaan yang cenderung mempertahankan kemapanan disatu sisi telah menimbulkan tekanan yang memancing perlawanan. Hal demikian pada mulanya hanyalah sekedar perlawanan simbolik, tapi jika lebih disadari sebenarnya juga telah memunculkan krisis sosial yang berlanjut dengan krisis moral.

Minggu, 10 Februari 2013

Indonesia bukan kafir! (1)

Paham kebangsaan, ia bukanlah isme-isme sebagaimana kapitalisme, liberalisme dan komunisme, ia berdiri sendiri, muncul dari pengalaman bersama. Kebangsaan yang muncul akibat kebanggaan berlebih terhadap bangsa itu sendiri hanya akan menjadikan penistaan terhadap kemanusiaan, selanjutnya adalah penistaan dan pengkerdilan terhadap bangsa itu sendiri.

Sepanjang catatan sejarah terdapat banyak momentum tentang kebangsaan, dari fasisme dimana kebangsaan muncul dan terjebak kebanggaan atas ras unggul yang sejatinya hanyalah kejahatan terhadap kemanusiaan, pada dasarnya hanyalah ketakutan akan kekalahan dalam suatu kompetisi, suatu kompetisi yang menjadi ilusi dari hubungan antar manusia, antar bangsa. Hingga pertentangan antara nasionalisme dengan isme-isme yang ada dan pernah ada.

Di Indonesia sendiri, kebangsaan pernah menjadi sumber pertentangan, tarik-ulur kepentingan antara kaum nasionalis dengan agama~disini khususnya adalah Islam, hingga hari ini pun masih terkesan demikian. Kaum agama memandang nasionalisme dikhawatirkan akan menempatkan bangsa ini pada fitnah dan kesyirikan. Lebih jauh lagi juga tentang kekhawatiran jika nasionalisme hanya akan mengarah pada paham kesukuan jahiliyah yang serta-merta ketakutan akan munculnya chauvinisme sebagaimana kasus Jerman, Italia dan Jepang pada perang dunia ke dua.

Sama sekali belum disadari bahwa paham kebangsaan di Indonesia adalah dalam rangkaian paham-paham yang diharapkan mampu mengawasi dan mengoreksi pelaksanaannya, yaitu paham ketuhanan dan kemanusiaan yang diwujudkan dalam persatuan Indonesia. Suatu kecenderungan konvergensi nasional tentang pandangan hidup kosmopolitan, dengan begitu nilai-nilai kebangsaan Indonesia harus dibangun secara aktif bukan merupakan hasil dari perkembangan alamiah yang serba kebetulan, apalagi hanya sekedar reaksi terhadap keadaan.

Dalam masalah ini saya hanya dapat membahas permukaannya saja, tentang ketatanegaraan-kebangsaan dan keagamaan masih saya pelajari dan hanya pada bagian-bagian terkecilnya saja yang sementara ini saya mengerti. Cukuplah mengatakan~sebagaimana pandangan kaum nahdliyin bahwa "menjadi Islam 100% di negeri ini, adalah juga menjadi nasionalis 100%" dan bagaimanapun juga terjadinya bangsa ini adalah kehendak tuhan, atas berkat rahmat Allah Yang Mahakuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas.

Pun dalam sejarahnya bangsa ini telah dibela mati-matian oleh kalangan santri dan ulama, tercatat dalam sejarah tentang resolusi jihad NU yang mengobarkan perang fenomenal 10 November 1945, perang pertama bagi bangsa Indonesia menghadapi ancaman bersenjata pihak asing. Pada tahun 1983 juga tercatat (dalam artikel yang ditulis Salahuddin Wahid dalam buku "mencari Indonesia: Meninjau masa lalu menatap masa depan") dimana pernah terjadi musyawarah nasional alim-ulama yang mengeluarkan "deklarasi tentang hubungan Islam dengan pancasila" yang beberapa intinya antara lain: (1) pancasila bukan agama, tidak dapat menggantikan agama dan tidak dapat dipergunakan untuk menggantikan kedudukan agama; (2) sila Ketuhanan Yang Maha Esa mencerminkan tauhid menurut pengertian keimanan Islam, (3) penerimaan dan pengamalan pancasila adalah perwujudan dari umat Islam Indonesia untuk menjalankan syariat agamanya. Selanjutnya adalah perjuangan para ulama dalam menegakkan tauhid sebagai benteng utama dari serbuan pengaruh-pengaruh negatif yang dapat melemahkan bahkan merusak bangsa ini.

Pada intinya adalah tidak tepat menyebut Indonesia adalah kafir, sebagaimana pernah kita saksikan drama pemerintahan pasca reformasi, dimana kaum nasionalis mampu dan mau duduk bersama membangun bangsa, dari kolaborasi antara Gus Dur-Megawati, berlanjut dengan Megawati-Hamza Haz, serta penolakan dua ormas besar di negeri ini, NU dan Muhammadiyah terhadap berlakunya tujuh kata piagam jakarta kedalam UUD 1945.

Membela keberlangsungan bangsa dan negara adalah wajib, sebab bangsa dan negara juga merupakan sarana untuk dapat beribadah, berdaulat dalam beribadah, tentunya semua orang tidak ingin aktivitas ibadahnya terganggu apalagi terancam. Musuh bersama disini adalah "mentalitas maling" dan proyek bersamanya adalah pembangunan watak dan karakter bangsa yang kuat, watak dan karakter bangsa yang tidak mudah rapuh dan tidak mudah berbuat dosa.

Sepanjang pengetahuan saya belum pernah saya temui upaya negara untuk menyerang agama, seringnya malah terjadi pembelaan negara terhadap agama.

[Selanjutnya: Indonesia bukan kafir! (II)]

Sabtu, 09 Februari 2013

Memanipulasi Demokrasi

Demokrasi sampai saat ini masih menjadi suatu tatanan yang dicita-citakan, terkadang juga harus dipaksakan.Sepertinya kita lupa pentingnya kebijakan berbasis keragaman yang dapat memperkokoh kehidupan politik, ekonomi dan sosiokultural.

Kita mengenal demokrasi pancasila, demokrasi yang tidak hanya mengurusi kehidupan politik, tapi juga mengurusi kehidupan ekonomi dan sosial budaya, suatu tatanan kemasyarakatan atas dasar kegotong royongan, memang masih cenderung labil, tapi bukankah demokrasi sendiri adalah konsep yang belum matang?.

Demokrasi pancasila labil karena mudah untuk dimanipulasi, hanya diperalat untuk kepentingan sepihak. Sejarah telah sering berbicara tentang hal ini, bagaimana mudahnya rezim berkuasa menjalankan kebijakan secara sewenang-wenang dengan mengatasnamakan demokrasi pancasila, tapi toh pancasila juga memiliki kecenderungan untuk dimanipulasi. Semuanya memang tergantung dengan pola pikir penguasa yang ada, tapi permasalahannya adalah masyarakat Indonesia kini sepertinya belajar dari regim penguasa, yaitu tentang penafsiran tunggal, memanipulasi demokrasi dan bahkan pancasila untuk melanggengkan kepentingan sepihak.

Misalnya saja pada~atau mungkin pernah atau bahkan sedang terjadi/berlangsung pada suatu organisasi yang terbagi-bagi dalam faksi-faksi~ sebagaimana pendapatnya Nietzsche bahwa "dimanapun ada makhluk hidup, di situ ditemukan kehendak untuk kuasa. Bahkan dalam abdi ditemukan kehendak menjadi tuan" yaitu dimanapun ada kumpulan manusia disitu pasti juga sedang berlangsung suatu pertarungan kekuasaan, menjadi pihak dominan adalah tujuan dari orang yang gila kekuasaan, lebih gila lagi ketika berharap dapat mendominasi tanpa harus turut memegang (bertanggung jawab) suatu jabatan. Istilah populernya kini adalah "Sengkuni", tokoh wayang yang tiba-tiba jadi ikon politik.

Kembali pada permisalan diatas, dalam suatu organisasi yang didalamnya adalah suatu petarungan kekuasaan, ketuanya selalu menggembar-gemborkan pelaksanaan demokrasi dengan mayoritas suara atas segala kebijakan yang ada dalam organisasi tersebut, mayoritas suara adalah dimana kebijakan ditentukan oleh suara terbanyak yang mendukung kebijakan dengan mengabaikan suara/kepentingan minoritas. Hal demikian sebenarnya malah rawan manipulasi, dalam kondisi suatu organisasi yang terpecah dalam faksi-faksi, pihak yang dekat dengan kekuasaan adalah pihak yang diuntungkan.

Pernah dulu seorang teman cerita, dalam organisasinya yang memang pada dasarnya terdiri atas beragam faksi, dia menyoroti perilaku rekan-rekannya yang cenderung dominan, ada terdapat dua faksi menurut teman saya dalam organisasinya yang sepertinya ketua dari organisasi tersebut terkesan tidak memihak pada salah satu faksi yang ada, dan teman saya ini sepertinya berada pada faksi yang tidak dominan. Dalam setiap mengambil keputusan, ketua organisasi selalu mengatakan bahwa keputusannya adalah hasil dari dia mengumpulkan pendapat (bertanya) kepada beberapa anggota yang dia anggap telah mewakili pendapat seluruh anggota yang padahal orang-orang yang selalu ditanya oleh si ketua adalah salah satu faksi yang dominan dalam organisasi tersebut.

Atau seperti yang telah menjadi kebiasaan pemerintahan kita, dimana dukungan parlemen lebih penting terhadap pemerintahan dari pada suara rakyat. Tanpa persetujuan DPR, tidak ada yang dapat dilakukan oleh eksekutif kita. Lebih parah lagi dimana kepentingan koalisi lebih berarti daripada kepentingan rakyat, terus terang hingga hari ini saya masih meragukan hubungan antara kepentingan rakyat banyak dengan keterwakilan rakyat di parlemen bahkan keterwakilan kepentingan rakyat dalam koalisi.

Musyawarah mufakat ternyata juga rawan manipulasi, tentunya terjadi akibat adanya upaya mendominasi kepentingan, dari sepanjang pengalaman saya tiap kali turut dalam musyawarah yang terjadi adalah adanya seting jalannya musyawarah, masih mending jika yang terjadi adalah dominannya mereka yang pandai bicara, tapi kalau suatu musyawarah sudah diseting maka yang ada adalah manipulasi.