Pramoedya Ananta Toer

"kau pribumi terpelajar! Kalau mereka itu, pribumi itu, tidak terpelajar, kau harus bikin mereka jadi terpelajar. Kau harus, harus, harus bicara pada mereka, dengan bahasa yang mereka tahu"

Senin, 11 Februari 2013

Perlawanan musik "underground"

Sore-sore mau menyelesaikan beberapa draf tapi terganggu oleh kondisi, penyakit silih berganti datang, terakhir ini tenggorokkan serasa sakit buat nelan dan pundak sebelah kanan rasanya ngilu. Beberapa referensi juga gagal saya temukan, jadi beberapa draf masih belum dapat diterbitkan.

Mencoba mengulangi kebiasaan yang sudah cukup lama saya tinggalkan, tapi dengan beberapa modifikasi, yaitu bersantai dengan mendengarkan musik, dari dulu pilihan saya adalah lagu-lagu karya Iwan Fals dan Kurt Cobain walaupun ada beberapa lagi karya musisi lain tapi karya dari dua musisi yang saya sebut ini adalah yang paling sering saya dengarkan dulu.

Kali ini saya mendengarkan lagu-lagu karyanya Kurt Cobain dengan band Nirvananya yang dituding sebagai pelopor musik grunge, sampai hari ini masih belum saya pahami apa yang membedakan genre "grunge" ini dengan musik rock yang lain. Hanya satu yang saya temukan ketika sedang menyelesaikan skripsi saya dulu, bahwa grunge ini adalah bentuk lain dari punk dengan nuansa musik yang lebih kelam dan berat. Sama-sama mengusung tipikal kritik sosial tapi grunge lebih menekankan pada sudut pandang kefrustasian, selalu terlihat pada bagian akhir lagu-lagu yang beraliran grunge yaitu jerit kemarahan dan keputus asaan, dan inilah ciri khasnya. Kurt sendiri sebagai maestro musik "grunge" mengatakan bahwa dia adalah punk.

Saya kenal warna musik ini sejak duduk dibangku SMP, pada waktu itu banyak genre musik yang bukan mainstream menyerbu jalanan dan dianut oleh banyak kalangan pemuda dan pelajar, sebut saja punk, grunge, black metal, grind core, hard core dan lain sebagainya, terakhir masuk adalah ska yang sepertinya akhir-akhir ini menjadi pilihan alternatif ditengah kebosanan.

Sekitaran tahun 1996-97 warna-warni musik ini merubah pola tingkah laku pemuda di jalanan, sebagai alternatif pilihan untuk memberontak kemapanan, tentunya adalah kemapanan musik yang jadi mainstream yang pada perkembangannya adalah juga turut mendobrak gaya hidup dan pola pikir masyarakat kebanyakan. Terjadi pertempuran simbol antara masyarakat kebanyakan dengan para penggiat musik-musik "underground" ini, bahkan juga didalam alam "underground" ini juga muncul perseteruan yang menghebat waktu itu hingga sering kali terjadi perang fisik di jalanan.

Tekanan politik yang mengupayakan keseragaman oleh regim hegemonik orde baru menuntut masyarakat untuk dapat berpikir aman, tidak banyak pilihan dalam banyak hal bagi masyarakat, termasuk dalam kehidupan politik yang penuh tekanan dan manipulasi membuat energi pemberontakkan menumpuk dan mencari celah pelampiasan, energi itu menemukan salurannya lewat musik yang lebih berisik dan mengusik telinga-telinga kebangsawanan, kebangsawanan yang korup.

Mungkin momentum 1998 adalah puncak dari fenomena ini, dimana letupan akibat berbaurnya kejenuhan para pemuda-pelajar menemukan posisinya yang lebih politis. Toh pada waktu itu, meskipun yang dominan adalah aparat dan mahasiswa, tapi pada dasarnya para pelaku musik "underground" juga turut hadir membawa atributnya ditengah-tengah kerusuhan. Saya masih teringat salah satu televisi swasta mempertontonkan anak kecil dengan rambut mohawk berwarna merah mengibarkan bendera merah-putih diantara aparat dan kerumunan massa (saya tidak berani menyebut "demonstran" sebab waktu itu juga terjadi kerusuhan dan penjarahan).

Waktu itu saya ada dipihak grunge, sering nongkrong di mall, tidak banyak atribut yang dikenakan, sweater yang dipadu dengan jeans belel, dibandingkan dengan anak-anak metal yang terlihat kompak dengan dandanan serba hitam dan anak-anak punk yang lebih ramai lagi dengan tampilan jalanan khas Amrik itu. Waktu itu saya juga sering meledek teman-teman dari "faksi" hard core yang sering terlihat mengalungkan handuk kemanapun mereka pergi. Sering pula jadi penonton dari pertarungan jalanan antara anak-anak punk dan metal di seputaran alun-alun.

Waktu itu saya juga tertarik berkumpul dengan sekelompok pemuda yang menamakan dirinya "brigade long hair" yang sering terlihat berkumpul disudut utara alun-alun, tidak ada alasan yang dapat saya jelaskan tentang hal ini selain mereka terkesan lebih "Aremania" dan tidak memiliki seteru. Pun kegemaran mereka untuk mendengar dan mengoleksi album musik metal tanah air semacam Power Metal juga merupakan minat saya waktu itu. Pada akhirnya saya juga tergabung dalam kerumunan itu, meskipun berambut cepak dan termasuk masih anak-anak dibandingkan yang lain dengan rambut yang memanjang hingga mirip sedang menyapu jalan waktu berjalan dan rata-rata mereka umurnya sudah cukup jauh diatas saya. Waktu saya punya kesempatan memanjangkan rambut, kelompok ini malah bubar.

Di lingkungan sekolah pun tidak kalah ramai, pas masih SMU ada terdapat banyak faksi musik, punk, grunge, black metal dan para penggemar musik "pop"~untuk mengidentifikasi mereka yang gemar mendengar dan memainkan musik yang lagi populer. Meskipun tanpa perseteruan antar "faksi underground" tapi persaingan memperebutkan pengikut jadi kesan harian di sekolah, korban yang jadi musuh bersama adalah para penggemar musik pop. Pernah pada suatu kesempatan diacara ulang tahun sekolah, teman-teman penggemar musik Dewa 19 menjadi objek hujatan kaum underground ini.

Memang kejenuhan terhadap segala yang mapan akan melahirkan perlawanan-penyerangan terhadap simbol-simbol kemapanan. Bukan tanpa alasan saya menulis semua ini, selain yang saya tangkap dari perilaku pemuda-pelajar saat ini, keadaan yang cenderung mempertahankan kemapanan disatu sisi telah menimbulkan tekanan yang memancing perlawanan. Hal demikian pada mulanya hanyalah sekedar perlawanan simbolik, tapi jika lebih disadari sebenarnya juga telah memunculkan krisis sosial yang berlanjut dengan krisis moral.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar