Pramoedya Ananta Toer

"kau pribumi terpelajar! Kalau mereka itu, pribumi itu, tidak terpelajar, kau harus bikin mereka jadi terpelajar. Kau harus, harus, harus bicara pada mereka, dengan bahasa yang mereka tahu"

Sabtu, 29 Juni 2013

Theater/ drama/ sandiwara dari yang pakem hingga kotemporer

Entah bagaimana pendapat orang, tapi dalam pikiran saya hanya terdapat dua cabang dalam seni peran yang seringnya kita sebut theater atau drama, yaitu modern dan tradisional. Sering kali anggapan orang adalah pementasan drama lokal seperti ludruk, ketoprak, kentrung dan lain sebagainya adalah bagian dari theater tradisional meskipun ketika pementasannya menggunakan perlengkapan modern, misalnya dengan menggunakan permainan cahaya atau juga ketika dengan menggunakan layar proyektor sebagai "background effect".

Istilah 'modern' dan 'tradisional'pun saya rasa kurang tepat dalam masalah ini, sebab istilah ini pada dasarnya (secara umum) hanya menunjukkan "apa dan bagaimana yang baru, serta apa dan bagaimana yang lama?" Sebenarnya "Drama lokal" bisa saja disebut modern, toh yang selama ini dikatakan sebagai "Theater modern" yang sebenarnya adalah budaya impor yang di negara asalnya sana adalah bagian dari tradisi alias "tradisional". Tradisi, kebiasaan.

Sedang pementasan theater lokal apakah kini masih menjadi bagian tradisi/kebiasaan dalam masyarakat kita? Iya/tidaknya saya kembalikan kepada sidang pembaca yang budiman.

Ibarat pohon, seni peran adalah pohon yang memiliki banyak cabang, dari dua cabang utama~sebut saja "pakem" dan "kontemporer" nantinya akan tumbuh cabang-cabang yang lain. Demikian dalam pikiran saya, debat saya butuhkan agar saya mengerti letak kesalahan saya.

Sederhana saja, yang saya sebut "kotemporer" itu yang diluar pakem, atau sudah terpengaruh oleh hal-hal kekinian, misalnya saja (andai kata) ada pementasan wayang orang dengan mengangkat lakon "Duryudana mencabut subsidi BBM" ada kemungkinan tokoh-tokoh dalam lakon ini mayoritas masih pakem, tapi istilah-istilah dalam dialognya bisa jadi adalah istilah kekinian. Saya katakan juga "mayoritas tokohnya adalah pakem" dimana ada-terdapat kemungkinan masuknya tokoh-tokoh lain diluar pewayangan, entah itu Superman, Batman, Naruto atau bahkan Jokowi.

Pada intinya, kunci drama adalah gerak~tentunya gerak yang ditonton, dalam bahasa Prancis disebut "drame" artinya "lakon serius" yang melarang adanya unsur humor. Bahkan seorang Aristoteles punya pendapat akan drama "a representation of an action", permainan atau akting atau lakon~lakon asalnya adalah bahasa Jawa "lakon, nglakoni"-laku, melakukan.

Dalam istilah Jawa juga terdapat "sandiwara" toh kurang lebih juga sama bentuknya dengan drama meskipun istilah sandiwara ini adalah rangkaian dari kata "sandi" dan "wara". Sandi berarti rahasia, dan "wara" pemberitahuan. pesan terselubung. Adapun istilah "theater" yang apabila dirunut asal bahasanya adalah dari Yunani, "theater" berarti pertunjukkan drama atau dunia sandiwara yang spektakuler. Dalam masyarakat Indonesia istilah "theater" menjadi sangat luas, karena tidak saja menunjukkan pada suatu pertunjukkan tapi juga pada kelompok-kelompok theater, bahkan sering pula merupakan gedung bioskop.

Kiranya tidak perlu membahas hal-hal yang jauh seperti adanya istilah "klasik", "melankolis", "humor" atau bahkan "realisme sosialis" sebab semua itu adalah isme-paham yang senantiasa dikaitkan dengan keadaan dan pikiran senimannya. Seni tidak mementingkan 'isme-isme', sebab dia memerlukannya, seni adalah untuk seni sekaligus seni untuk rakyat. Kita tidak akan mungkin menyerahkan seni/kesenian dalam kediktaktoran "isme", sebagaimana ketika anak didik saya (Karter, Kartika Teater) terlibat dalam debat dengan seorang rekan yang mengaku seniman-pandai memang tapi tidak memiliki pengertian alias tidak mengerti. Anak didik saya tersebut (dari penjelasannya) mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan dari rekan yang saya yang sebelumnya sempat melakukan sabotase terhadap performa anak-anak Karter (Kartika Teater), tapi (masih menurut penjelasan dari anak didik saya) setiap jawaban darinya adalah "salah".

Perdebatan itu seputar masalah pementasan operet (istilah baru lagi), menurut rekan saya ini "operet" bukanlah bagian dari theater, tentunya dengan menyertakan hujatan tanpa ampun kepada saya, nah kinilah saya jawab hujatan yang sekaligus ketidak mengertian rekan saya ini.

Operet adalah bentuk sederhana dan bisa juga dikatakan sebagai bentuk "kasar" dari drama musikal, saya kata demikian sebab yang terjadi disini adalah pementasan "lipsing" kuncinya pada gerak dan mimik, diatas sudah saya jelaskan bahwa kunci dari drama adalah gerak. Jadi, apakah operet masih dikatakan diluar teater? Alasan saya untuk hal ini dan kenapa Karter (Kartika Teater) seringnya mementaskan operet adalah karena keterbatasan sarana-prasarana, bahkan inventaris properti dan kostum adalah sangat minim, selain juga karena agenda sekolah yang dapat diikuti oleh Karter tidak memungkinkan Karter menampilkan drama lain selain operet. Jadi, cerdaslah sedikit.


Tulisan ini merupakan kelanjutan dari judul-judul sebelumnya: Yang Pernah Ada, berlanjut dengan Kreatif-inovatif untuk menjadi bangsa yang kuat, Dari musikalisasi puisi dan operet hingga saya menulis Secercah harapan sebelum saya tulis ini... demikian, semoga dapat menjadi penjelasan.

Jumat, 28 Juni 2013

Secercah harapan

Karter, tidak henti-hentinya saya mengagumi kelompok ini, kelompok theater SMP binaan saya. Kartika Theater, bukan karena saya punya posisi sebagai pembina maka saya kagum sembari membangga-banggakan keberadaan mereka. Bukan. Malah saya sempat berencana membubarkan kelompok ini dulu, dan semangat merekalah yang menggagalkan niatan saya itu. Kini, inilah saluran dimana saya dapat dengan leluasa menularkan idealisme.

Tentunya juga karena peristiwa penggagalan niat saya itulah kekaguman saya muncul, bagaimana tidak? Semangat dan keceriaan malah mereka tampilkan-tunjukkan ketika intimidasi mengancam hari-hari mereka nantinya, pun ketika sabotase dan cibiran sedang deras menghujam kearah mereka. Sebenarnya saat itu pula saya sudah memprediksi segala hal yang akan menimpa mereka nantinya, dan terbukti: intimidasi!. Tidak akan terjadi sekali-duakali nantinya, berkali-kali bahkan mungkin.

Sekaligus saya yakin, pasti, tidak akan ada-terdapat kesempatan bagi mereka untuk membela diri, bahkan sekedar untuk melakukan "klarifikasi-klarifikasi".

Dan tentunya saya yakini kini, sejarah mempertemukan kami, hingga muncul narasi-narasi yang terangkai dalam sajak:

sejarah mempertemukan kita
kau bersama cita-citamu
aku bersama cita-citaku

kita dalam idealisme
dan mengibarkannya
dengan cara masing-masing

ingat!
Sejarah telah mempertemukan kita
dan sejarah hanya menulis
kisah orang-orang besar
maka
jadilah orang yang berjiwa besar

merdeka!

Semoga saja, merekalah Indonesia yang sedang saya cari, semoga