31 Desember 2012,
Masih terjebak di rumah, tak banyak kegiatan bahkan, selain menyusun kata pada blog dan membaca beberapa guntingan artikel. Dipenghujung tahun 2012 ini saya semakin "terpenjara dalam rumah!"
Kemarin sempat baca berita di Viva News, Rieke-Teten maju dalam pencalonan gubernur dan wakil gubernur dalam pilkada di Jawa Barat mendatang. Dikabarkan pencalonan kedua tokoh ini memancing kekhawatiran sejumlah pengusaha. "Diduga para pengusaha itu sebelumnya telah bermain-main dengan oknum di
Pemerintah Provinsi Jawa Barat dalam sejumlah proyek yang menggunakan
dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Karena itu, mereka takut
Teten yang mantan pegiat anti korupsi itu terpilih" tulis Viva kemarin.
Kemarin, selesai sholat magrib saya sempatkan menggunting beberapa artikel (kebiasaan saya dari sejak masa kuliah di jurusan pancasila dulu). Dari beberapa artikel di Kompas saya nemu dua judul artikel yang cukup menarik, salah satunya ditulis oleh Budiman Sudjatmiko, anggota DPR dan jejak petualangan politiknya saya rekam sampai hari ini, Budiman menulis judul "Asal-usul kepemimpinan politik", tertanggal 11 Agustus 2012.
Dalam artikel tersebut Budiman menganalogikan pengaruh kepentingan bisnis pada kepemimpinan politik di Indonesia dengan keterlibatan bandar judi sepak bola. Bagi Budiman bandar judi memilih turun langsung bermain bola dan bertransaksi di tengah lapangan hijau. Tidak lagi dari balik layar sebagaimana seorang dalang dalam suatu pertunjukkan wayang.
Pertunjukkan wayang, saya jadi ingat dialog perdebatan awal dalam serat "gatholoco" dalam perdebatan itu tokoh utama, Gatholoco melemparkan pertanyaan pada tiga orang santri "dari suatu pertunjukkan wayang, bagian mana yang paling penting?" lalu tiga santri itu susah payah mencari jawabannya.
Kembali pada artikelnya Pak Budiman, yang sebenarnya mempersoalkan masalah kepemimpinan politik (ingat kepemimpinan politik, bukan kekuasaan raja "kecil"), bagi Budiman kepemimpinan politik dalam demokrasi yang sehat harus berkelindan dengan kerja-kerja perubahan di akar rumput, dan sebaliknya juga perubahan diakar rumput harus berujung pada perubahan kepemimpinan politik. Budiman sangat menyayangkan kerja-kerja para pembuat perubahan di akar rumput ini tidak selalu lancar saat diterjemahkan menjadi perubahan dan kepemimpinan politik, dan ia berpendapat bahwa harus ada revolusi berpikir untuk menata perekrutan kepemimpinan politik.
Satu artikel lagi ditulis Donny Gahraladian dengan judul "Opini, rakyat, dan demokrasi" tertanggal 4 Desember 2012. Mempersoalkan titik lemah dalam demokrasi, dimana demokrasi terus dituntut untuk menyerahkan kekuasaan kepada demos alias rakyat sebagai anti bentuk-tulisnya, dan ini adalah mustahil menurutnya.
Memang demokrasi, sebagaimana yang dipelajari oleh anak-anak sekolah adalah suatu pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Rakyat berdaulat, berkuasa, logikanya kekuasaan oleh rakyat diberikan atau dipercayakan kepada suatu organisasi pemerintahan untuk dijalankan, sebab tidak mungkin rakyat yang banyak ini menjalankan kekuasaannya masing-masing.
Pak Donny mempermasalahkan suatu opinion leader, mengenai parameter yang dipakai untuk mengukur (memunculkan) tokoh-tokoh pemimpin politik, berangkat dari teori hegemoni, dimana didalamnya hegemoni melibatkan proses sintesis yang lebih sublim daripada agregasi dan akomodasi kepentingan belaka. Proses hegemoni, berbagai kepentingan bersintesa menjadi kehendak umum yang mengatasi kepentingan sektoral.
Ditulis pula pendapat Gramsci dalam hal ini, yang menghendaki hegemoni bukan sekedar artikulasi kepentingan sektoral yang berkedok kehendak umum, melainkan kehendak umum sejati melalui integrasi ideologis. Nah Pak Donny memutar persoalan dalam tulisannya, dimana hegemoni yang berlangsung ditanah air saat ini bukan hasil dari integrasi ideologis, hegemoni semata-mata berupa pemaksaan opini kelas hegemonik secara halus sehingga dapat diterima secara luas.
Bagi Pak Donny demokrasi kehilangan transedentalitas dan tereduksi menjadi tubuh dan bahasa. Artinya, demokrasi menjadi sekedar perang opini yang disokong oleh kekuatan modal dan industri, minus kebenaran.
Menjelang Pilkada 2013, banyak pihak mulai bersiap, seperti kisah sebuah kerajaan dengan hingar bingar perebutan tahta. Pun kita juga sedang menghadapi pemilu 2014 dimana segala kepercayaan dan harapan dipertaruhkan.
Ow iya, mengenai cerita tentang perdebatan Gatoloco dengan tiga orang santri belum rampung. Dalam perdebatan itu ketiga santri akhirnya mengaku kalah tanpa sanggup menjawab pertanyaan dari Gatoloco tentang bagian mana yang paling penting dalam suatu pertunjukkan wayang. Jawabannya adalah "blencong" yang paling penting.
Blencong adalah lampu (penerang) yang ada di balik layar yang menghasilkan bayang-bayang wayang. Dalang akan menganggur tanpa kehadiran blencong, wayang tidak akan berbayang, dan penonton hanya akan melihat selembar layar gelap tanpa kehadiran blencong. Pada pentas politik nusantara, blencong ini adalah kehendak dan penderitaan rakyat.
Pagi diakhir tahun 2012, ngopi dengan segenap harapan tentang perubahan dan perbaikan disela-sela bayang kegaduhan politik tahun depan. Cheers.
Pramoedya Ananta Toer
Senin, 31 Desember 2012
Minggu, 30 Desember 2012
Mengenai serat Darmagandul
30 Desember 2012,
Masih juga memilih untuk berdiam di rumah pada hari-hari akhir tahun 2012, hanya sekali keluar rumah, hari selasa kemarin berburu buku "Selimut Debu"nya Agustinus Wibowo. Gagal. Malah membawa pulang terjemahan "Darmagandul" yang ketika sampai di rumah waktu itu (sama sekali) malas saya baca.
Darmagandul, sepengetahuan saya 'kontroversi'nya sama seperti "gatholoco" yang terakhir ini sudah selesai saya baca terjemahannya, juga mendapati pandangan MH Ainun Nadjib tentang "gatholoco" tersebut, yaitu: suatu kritik konstruktif terhadap perilaku umat Islam di nusantara. Kalau menurut saya ini hanya sekedar prosa dan saya mengangguk setuju pada pendapatnya Cak Nun.
Tentang darmagandul, penulisnya sendiri masih misterius hingga kini, saya telusuri dari catatan kawan-kawan di internet hingga ke wikipedia malah memunculkan nama-nama yang berbeda tapi intinya sama, yaitu bercerita tentang keruntuhan Majapahit akibat serbuan tentara Demak yang dibantu Wali songo. Darmagandul terdiri atas tanya jawab antara guru dan murid dan syair-syair tembang, diawali dengan pertanyaan seorang murid kepada gurunya. Muridnya adalah Darmagandul dan gurunya adalah Ki Kalamwadi.
Ada keyakinan dari masyarakat Jawa, Ki Kalamwadi ini adalah nama samaran dari Ronggowarsito, kalam berarti kabar dan 'wadi' berarti rahasia. Tapi toh teori ini gagal, sebab sudah diketahui bahwa serat darmagandul ditulis pada hari Sabtu Legi, 23 Ruwah 1830 Jawa (atau sangkala Wuk Guneng Ngesthi Nata, sama dengan 16 Desember 1900). Sedangkan Ronggowarsito sendiri wafat pada 24 Desember 1873.
Dialog antara guru dan murid dalam serat darmagandul itu adalah suatu tanya-jawab, berawal dari pertanyaan si murid mengenai kapan terjadinya perubahan agama di Jawa, dan si guru menjawabnya dengan bercerita, mulai dari keruntuhan Majapahit hingga pertumbuhan pesat agama Islam yang ia sebut "agama Rasul" dari "ngarab".
Majapahit adalah simbol, nama aslinya Majalengka katanya. Raja terkahirnya bergelar Prabu Brawijaya yang tergila-gila dengan Putri Cempa (dari negeri Campa) yang beragama Islam. Setelah mereka menikah, keponakan sang putri bernama Sayid Rakhmat berkunjung dan memohon kepada sang prabu untuk menyebarkan agama Islam, dikabulkan.
Diikuti oleh kedatangan para ulama yang kemudian berdiam di pesisir utara Jawa, salah satu diantaranya bernama Sayid Kramat yang menjadi guru orang Jawa yang telah memeluk Islam, ia berkedudukan di Benang, Tuban. Seluruh masyarakat Jawa dari pesisir timur hingga barat berguru kepada Sayid Kramat, seorang maulana dari tanah "ngarab" masih keturunan Rasulullah, karenanya ia dipercaya menjadi guru oleh orang Islam.
Prabu Brawijaya memiliki putra bernama Raden Patah dari perkawinannya dengan Putri Cempa. Mendapat nama Babah Patah ketika diangkat menjadi Bupati Demak, membawahi seluruh bupati dari pesisir Demak ke barat. Pertumbuhan agama Islam bertambah pesat.
Para ulama memakai gelar sunan yang berarti budi (kesadaran/buah kesadaran). Pada saat itu budi (kesadaran) para ulama masih baik, memusatkan konsentrasi pada spiritual murni. Prabu keheranan dengan para ulama yang minta disebut sunan ini memiliki olah batin yang sama dengan spiritualitas agama budha
Mungkin Pas itu pikiran Prabu Brawijaya sama seperti yang pernah saya alami, tentang sumarah atau pasrah, sumarah ini merupakan salah satu aliran kejawen tapi saya gunakan istilahnya karena terlanjur pas sama saya. Sumarah. Punya dasar ikhlas tanpa batas, sabar tak berbatas~juga saya comot dari salah satu judul buku yang berkesempatan saya baca.
Memang, hampir tidak terdapat perbedaan olah batin antara masyarakat muslim dan budha, pun juga dengan berbagai agama yang ada, itupun ketika berada dalam tingkatan tertentu, saya sendiri masih mencari-cari tingkatan itu sementara masih saya temukan tentang sumarah tadi yaitu kepasrahan total pada kehendak Allah SWT. Namun jadi catatan tersendiri bagi saya bahwa menjadi Islam adalah bukan menjadi seorang pertapa.
Saya harus berhenti menuliskan pengetahuan saya ini, sebab pengalaman tiap-tiap orang berbeda dan saya tidak mau memperdebatkannya. Kembali pada Serat darmagandul, Hampir seluruh isi Serat Darmagandul merupakan bentuk turunan dari cerita babad yang telah ada sebelumnya. Kitab yang dimaksud adalah Babad Kadhiri yang ditulis pada tahun 1832 oleh Mas Ngabehi Purbawijaya dan Mas Ngabehi Mangunwijaya.
Darmagandul secara serampangan juga pernah saya dengar penjelasannya dari beberapa orang yang pernah saya temui ketika mencari tahu etika kejawen, yaitu darma yang berarti ajaran dan laku/perilaku, mengamalkan ajaran dalam perilaku. Gandul adalah adalah menggelantung, semua yang bergelantung. Dengan penjelasan sedikit nyerempet pada hal-hal yang vulgar, toh tetap saja saya dengar dan saya ingat sampai saat ini.
Saya akan bahas lebih banyak lagi, nanti, setelah rampung saya baca terjemahan darmagandul, selagi masih pagi, ngopi-ngopi cari inspirasi.
Masih juga memilih untuk berdiam di rumah pada hari-hari akhir tahun 2012, hanya sekali keluar rumah, hari selasa kemarin berburu buku "Selimut Debu"nya Agustinus Wibowo. Gagal. Malah membawa pulang terjemahan "Darmagandul" yang ketika sampai di rumah waktu itu (sama sekali) malas saya baca.
Darmagandul, sepengetahuan saya 'kontroversi'nya sama seperti "gatholoco" yang terakhir ini sudah selesai saya baca terjemahannya, juga mendapati pandangan MH Ainun Nadjib tentang "gatholoco" tersebut, yaitu: suatu kritik konstruktif terhadap perilaku umat Islam di nusantara. Kalau menurut saya ini hanya sekedar prosa dan saya mengangguk setuju pada pendapatnya Cak Nun.
Tentang darmagandul, penulisnya sendiri masih misterius hingga kini, saya telusuri dari catatan kawan-kawan di internet hingga ke wikipedia malah memunculkan nama-nama yang berbeda tapi intinya sama, yaitu bercerita tentang keruntuhan Majapahit akibat serbuan tentara Demak yang dibantu Wali songo. Darmagandul terdiri atas tanya jawab antara guru dan murid dan syair-syair tembang, diawali dengan pertanyaan seorang murid kepada gurunya. Muridnya adalah Darmagandul dan gurunya adalah Ki Kalamwadi.
Ada keyakinan dari masyarakat Jawa, Ki Kalamwadi ini adalah nama samaran dari Ronggowarsito, kalam berarti kabar dan 'wadi' berarti rahasia. Tapi toh teori ini gagal, sebab sudah diketahui bahwa serat darmagandul ditulis pada hari Sabtu Legi, 23 Ruwah 1830 Jawa (atau sangkala Wuk Guneng Ngesthi Nata, sama dengan 16 Desember 1900). Sedangkan Ronggowarsito sendiri wafat pada 24 Desember 1873.
Dialog antara guru dan murid dalam serat darmagandul itu adalah suatu tanya-jawab, berawal dari pertanyaan si murid mengenai kapan terjadinya perubahan agama di Jawa, dan si guru menjawabnya dengan bercerita, mulai dari keruntuhan Majapahit hingga pertumbuhan pesat agama Islam yang ia sebut "agama Rasul" dari "ngarab".
Majapahit adalah simbol, nama aslinya Majalengka katanya. Raja terkahirnya bergelar Prabu Brawijaya yang tergila-gila dengan Putri Cempa (dari negeri Campa) yang beragama Islam. Setelah mereka menikah, keponakan sang putri bernama Sayid Rakhmat berkunjung dan memohon kepada sang prabu untuk menyebarkan agama Islam, dikabulkan.
Diikuti oleh kedatangan para ulama yang kemudian berdiam di pesisir utara Jawa, salah satu diantaranya bernama Sayid Kramat yang menjadi guru orang Jawa yang telah memeluk Islam, ia berkedudukan di Benang, Tuban. Seluruh masyarakat Jawa dari pesisir timur hingga barat berguru kepada Sayid Kramat, seorang maulana dari tanah "ngarab" masih keturunan Rasulullah, karenanya ia dipercaya menjadi guru oleh orang Islam.
Prabu Brawijaya memiliki putra bernama Raden Patah dari perkawinannya dengan Putri Cempa. Mendapat nama Babah Patah ketika diangkat menjadi Bupati Demak, membawahi seluruh bupati dari pesisir Demak ke barat. Pertumbuhan agama Islam bertambah pesat.
Para ulama memakai gelar sunan yang berarti budi (kesadaran/buah kesadaran). Pada saat itu budi (kesadaran) para ulama masih baik, memusatkan konsentrasi pada spiritual murni. Prabu keheranan dengan para ulama yang minta disebut sunan ini memiliki olah batin yang sama dengan spiritualitas agama budha
Mungkin Pas itu pikiran Prabu Brawijaya sama seperti yang pernah saya alami, tentang sumarah atau pasrah, sumarah ini merupakan salah satu aliran kejawen tapi saya gunakan istilahnya karena terlanjur pas sama saya. Sumarah. Punya dasar ikhlas tanpa batas, sabar tak berbatas~juga saya comot dari salah satu judul buku yang berkesempatan saya baca.
Memang, hampir tidak terdapat perbedaan olah batin antara masyarakat muslim dan budha, pun juga dengan berbagai agama yang ada, itupun ketika berada dalam tingkatan tertentu, saya sendiri masih mencari-cari tingkatan itu sementara masih saya temukan tentang sumarah tadi yaitu kepasrahan total pada kehendak Allah SWT. Namun jadi catatan tersendiri bagi saya bahwa menjadi Islam adalah bukan menjadi seorang pertapa.
Saya harus berhenti menuliskan pengetahuan saya ini, sebab pengalaman tiap-tiap orang berbeda dan saya tidak mau memperdebatkannya. Kembali pada Serat darmagandul, Hampir seluruh isi Serat Darmagandul merupakan bentuk turunan dari cerita babad yang telah ada sebelumnya. Kitab yang dimaksud adalah Babad Kadhiri yang ditulis pada tahun 1832 oleh Mas Ngabehi Purbawijaya dan Mas Ngabehi Mangunwijaya.
Darmagandul secara serampangan juga pernah saya dengar penjelasannya dari beberapa orang yang pernah saya temui ketika mencari tahu etika kejawen, yaitu darma yang berarti ajaran dan laku/perilaku, mengamalkan ajaran dalam perilaku. Gandul adalah adalah menggelantung, semua yang bergelantung. Dengan penjelasan sedikit nyerempet pada hal-hal yang vulgar, toh tetap saja saya dengar dan saya ingat sampai saat ini.
Saya akan bahas lebih banyak lagi, nanti, setelah rampung saya baca terjemahan darmagandul, selagi masih pagi, ngopi-ngopi cari inspirasi.
Sabtu, 29 Desember 2012
Identitas bahasa
29 Desember 2012,
Belum juga selesai membaca "Garis Batas" milik Agustinus Wibowo, sabtu ini ia masih terbaca di Bishkek-Kyrgyzstan. Pecahan raksasa Uni Soviet. Sedang membahas masalah bahasa, tentu sesuai dengan judul bukunya "garis batas" dimana setiap orang membawa "garis batas" yang kita kenal dengan istilah 'identitas' dan bahasa disini menjadi suatu identitas atau salah satu "garis batas" yang memisahkan orang yang satu dengan orang yang lain.
Kemarin sebelum berangkat Sholat Jum'at, TV one mengangkat tema "Madura mendunia" dengan mengundang dua orang nara sumber (mau saya tulis tokoh masyarakat tapi saya kok ya tidak kenal) pada program acara "coffee break". Saya jarang nonton tivi jadi ya kurang begitu mengerti, kebetulan saja pas itu rumah lagi sepi, dan saya punya kesempatan lihat acara TV one.
Dalam percakapan itu masyarakat Madura ingin kebudayaannya dikenal keseluruh dunia, tentu bukan perkara yang mudah. Dari menarik minat wisatawan untuk berkunjung ke pulau yang terapung di sebelah Jawa Timur tersebut, hingga proses komersialisasi produk budaya.
Pernah beberapa kali saya berkunjung ke Madura, ayah saya asalnya dari pulau tersebut jadi pas beliau kangen sama kampung halamannya saya ikut juga, tak banyak obyek wisata yang dapat saya kunjungi. Hanya beberapa saja yang menarik minat saya untuk kembali datang kesana, seperti pasar ikan dan beberapa lokasi bersejarah. Saya suka daging ikan laut dan selalu penasaran dengan sejarah. Pun banyak pula pelajar yang saya kenal, dari temen kuliah dulu sampai anak-anak Madura yang nyasar ke akun facebook saya.
Mengenai komersialisasi produk budaya lokal dan menarik minat wisatawan mungkin akan menjadi hal yang mudah ketika masyarakatnya sendiri bangga dengan produk budayanya, dengan bangga terhadap produk budaya maka orang tak akan segan memperkenalkannya kepada orang lain, ya mengenalkan identitas budayanya. Seperti penggunaan bahasa dan upaya memperkenalkannya.
Kembali pada persoalan bahasa, jadi ujung tombak budaya dalam pertarungan global kalau boleh dibilang seperti itu. Gambarannya seperti ini: kita orang timur belajar peradaban (mau nggak mau) asalnya dari peradaban orang barat, produk budaya orang barat, nah mau tidak mau kita toh kudu belajar bahasanya dulu untuk mengoperasikan hasil peradaban orang barat tersebut.
Dengan menguasai bahasa asing, kita sama saja membuka pintu yang menjadi tapal batas antar bangsa di dunia, meskipun untuk menerobos batas wilayahnya kita masih harus berurusan dengan birokrasi dan visa, tapi dengan penguasaan bahasa kita sudah memegang satu tiket wisata. Bahasa adalah identitas bangsa.
Dari buku "Garis Batas"nya Agustinus juga diceritakan bahwa masyarakat Bishkek lebih bangga berbahasa Rusia, atau mencampurkannya kedalam bahasa nasional agar lebih memberi kesan intelektual, hampir sama dengan masyarakat Indonesia yang lebih suka menggunakan istilah-istilah dan bahasa asing dalam petualangan intelektualnya.
Memang, sebagaimana yang ditulis Agustinus "identitas tak bisa dibuat dalam semalam", sembari tersenyum dengan kening berkerut saya baca bagian ini pelan-pelan, bayangkan saja ketika pada suatu hari pemerintah tiba-tiba menyatakan "bahasa nasional kita adalah bahasa Madura" berapa banyak sarjana kita yang akan menganggur? Ya dengan situasi seperti itu orang dengan titel apapun, gelar apapun akan kembali menjadi anak TK yang masih belajar berbahasa dengan benar. Tapi untunglah itu hanya khayalan saya.
Tadi siang, sekitar jam satu, salah satu stasiun TV swasta (saya lupa) memutar film tentang seorang gadis yang memiliki kemampuan berkomunikasi dengan hewan (saya nggak tahu judulnya apa) dan dengan kemampuan itu ia mampu menerobos garis batas antara hewan dan manusia, gadis itu berhasil memecahkan permasalahan yang dialami oleh beberapa ekor hewan yang menjadi sahabatnya, termasuk seekor anjing milik seorang presiden, dan mereka bersahabat karena si gadis mampu hadir dalam kehidupan para hewan.
Sabtu sore, ngopi sambil menyadari: saya ini anak Madura yang tidak bisa berbahasa Madura, semoga hanya saya yang seperti ini, pun saya tidak mengerti dengan bahasa internasional (Inggris) betapa saya terkurung pada tapal batas yang tidak menyenangkan, untuk berbahasa Jawa pun saya kurang ahli...
Belum juga selesai membaca "Garis Batas" milik Agustinus Wibowo, sabtu ini ia masih terbaca di Bishkek-Kyrgyzstan. Pecahan raksasa Uni Soviet. Sedang membahas masalah bahasa, tentu sesuai dengan judul bukunya "garis batas" dimana setiap orang membawa "garis batas" yang kita kenal dengan istilah 'identitas' dan bahasa disini menjadi suatu identitas atau salah satu "garis batas" yang memisahkan orang yang satu dengan orang yang lain.
Kemarin sebelum berangkat Sholat Jum'at, TV one mengangkat tema "Madura mendunia" dengan mengundang dua orang nara sumber (mau saya tulis tokoh masyarakat tapi saya kok ya tidak kenal) pada program acara "coffee break". Saya jarang nonton tivi jadi ya kurang begitu mengerti, kebetulan saja pas itu rumah lagi sepi, dan saya punya kesempatan lihat acara TV one.
Dalam percakapan itu masyarakat Madura ingin kebudayaannya dikenal keseluruh dunia, tentu bukan perkara yang mudah. Dari menarik minat wisatawan untuk berkunjung ke pulau yang terapung di sebelah Jawa Timur tersebut, hingga proses komersialisasi produk budaya.
Pernah beberapa kali saya berkunjung ke Madura, ayah saya asalnya dari pulau tersebut jadi pas beliau kangen sama kampung halamannya saya ikut juga, tak banyak obyek wisata yang dapat saya kunjungi. Hanya beberapa saja yang menarik minat saya untuk kembali datang kesana, seperti pasar ikan dan beberapa lokasi bersejarah. Saya suka daging ikan laut dan selalu penasaran dengan sejarah. Pun banyak pula pelajar yang saya kenal, dari temen kuliah dulu sampai anak-anak Madura yang nyasar ke akun facebook saya.
Mengenai komersialisasi produk budaya lokal dan menarik minat wisatawan mungkin akan menjadi hal yang mudah ketika masyarakatnya sendiri bangga dengan produk budayanya, dengan bangga terhadap produk budaya maka orang tak akan segan memperkenalkannya kepada orang lain, ya mengenalkan identitas budayanya. Seperti penggunaan bahasa dan upaya memperkenalkannya.
Kembali pada persoalan bahasa, jadi ujung tombak budaya dalam pertarungan global kalau boleh dibilang seperti itu. Gambarannya seperti ini: kita orang timur belajar peradaban (mau nggak mau) asalnya dari peradaban orang barat, produk budaya orang barat, nah mau tidak mau kita toh kudu belajar bahasanya dulu untuk mengoperasikan hasil peradaban orang barat tersebut.
Dengan menguasai bahasa asing, kita sama saja membuka pintu yang menjadi tapal batas antar bangsa di dunia, meskipun untuk menerobos batas wilayahnya kita masih harus berurusan dengan birokrasi dan visa, tapi dengan penguasaan bahasa kita sudah memegang satu tiket wisata. Bahasa adalah identitas bangsa.
Dari buku "Garis Batas"nya Agustinus juga diceritakan bahwa masyarakat Bishkek lebih bangga berbahasa Rusia, atau mencampurkannya kedalam bahasa nasional agar lebih memberi kesan intelektual, hampir sama dengan masyarakat Indonesia yang lebih suka menggunakan istilah-istilah dan bahasa asing dalam petualangan intelektualnya.
Memang, sebagaimana yang ditulis Agustinus "identitas tak bisa dibuat dalam semalam", sembari tersenyum dengan kening berkerut saya baca bagian ini pelan-pelan, bayangkan saja ketika pada suatu hari pemerintah tiba-tiba menyatakan "bahasa nasional kita adalah bahasa Madura" berapa banyak sarjana kita yang akan menganggur? Ya dengan situasi seperti itu orang dengan titel apapun, gelar apapun akan kembali menjadi anak TK yang masih belajar berbahasa dengan benar. Tapi untunglah itu hanya khayalan saya.
Tadi siang, sekitar jam satu, salah satu stasiun TV swasta (saya lupa) memutar film tentang seorang gadis yang memiliki kemampuan berkomunikasi dengan hewan (saya nggak tahu judulnya apa) dan dengan kemampuan itu ia mampu menerobos garis batas antara hewan dan manusia, gadis itu berhasil memecahkan permasalahan yang dialami oleh beberapa ekor hewan yang menjadi sahabatnya, termasuk seekor anjing milik seorang presiden, dan mereka bersahabat karena si gadis mampu hadir dalam kehidupan para hewan.
Sabtu sore, ngopi sambil menyadari: saya ini anak Madura yang tidak bisa berbahasa Madura, semoga hanya saya yang seperti ini, pun saya tidak mengerti dengan bahasa internasional (Inggris) betapa saya terkurung pada tapal batas yang tidak menyenangkan, untuk berbahasa Jawa pun saya kurang ahli...
Langganan:
Postingan (Atom)