Pramoedya Ananta Toer

"kau pribumi terpelajar! Kalau mereka itu, pribumi itu, tidak terpelajar, kau harus bikin mereka jadi terpelajar. Kau harus, harus, harus bicara pada mereka, dengan bahasa yang mereka tahu"

Sabtu, 29 Desember 2012

Identitas bahasa

29 Desember 2012,
Belum juga selesai membaca "Garis Batas" milik Agustinus Wibowo, sabtu ini ia masih terbaca di Bishkek-Kyrgyzstan. Pecahan raksasa Uni Soviet. Sedang membahas masalah bahasa, tentu sesuai dengan judul bukunya "garis batas" dimana setiap orang membawa "garis batas" yang kita kenal dengan istilah 'identitas' dan bahasa disini menjadi suatu identitas atau salah satu "garis batas" yang memisahkan orang yang satu dengan orang yang lain.

Kemarin sebelum berangkat Sholat Jum'at, TV one mengangkat tema "Madura mendunia" dengan mengundang dua orang nara sumber (mau saya tulis tokoh masyarakat tapi saya kok ya tidak kenal) pada program acara "coffee break". Saya jarang nonton tivi jadi ya kurang begitu mengerti, kebetulan saja pas itu rumah lagi sepi, dan saya punya kesempatan lihat acara TV one.

Dalam percakapan itu masyarakat Madura ingin kebudayaannya dikenal keseluruh dunia, tentu bukan perkara yang mudah. Dari menarik minat wisatawan untuk berkunjung ke pulau yang terapung di sebelah Jawa Timur tersebut, hingga proses komersialisasi produk budaya.

Pernah beberapa kali saya berkunjung ke Madura, ayah saya asalnya dari pulau tersebut jadi pas beliau kangen sama kampung halamannya saya ikut juga, tak banyak obyek wisata yang dapat saya kunjungi. Hanya beberapa saja yang menarik minat saya untuk kembali datang kesana, seperti pasar ikan dan beberapa lokasi bersejarah. Saya suka daging ikan laut dan selalu penasaran dengan sejarah. Pun banyak pula pelajar yang saya kenal, dari temen kuliah dulu sampai anak-anak Madura yang nyasar ke akun facebook saya. 

Mengenai komersialisasi produk budaya lokal dan menarik minat wisatawan mungkin akan menjadi hal yang mudah ketika masyarakatnya sendiri bangga dengan produk budayanya, dengan bangga terhadap produk budaya maka orang tak akan segan memperkenalkannya kepada orang lain, ya mengenalkan identitas budayanya. Seperti penggunaan bahasa dan upaya memperkenalkannya.

Kembali pada persoalan bahasa, jadi ujung tombak budaya dalam pertarungan global kalau boleh dibilang seperti itu. Gambarannya seperti ini: kita orang timur belajar peradaban (mau nggak mau) asalnya dari peradaban orang barat, produk budaya orang barat, nah mau tidak mau kita toh kudu belajar bahasanya dulu untuk mengoperasikan hasil peradaban orang barat tersebut.

Dengan menguasai bahasa asing, kita sama saja membuka pintu yang menjadi tapal batas antar bangsa di dunia, meskipun untuk menerobos batas wilayahnya kita masih harus berurusan dengan birokrasi dan visa, tapi dengan penguasaan bahasa kita sudah memegang satu tiket wisata. Bahasa adalah identitas bangsa.

Dari buku "Garis Batas"nya Agustinus juga diceritakan bahwa masyarakat Bishkek lebih bangga berbahasa Rusia, atau mencampurkannya kedalam bahasa nasional agar lebih memberi kesan intelektual, hampir sama dengan masyarakat Indonesia yang lebih suka menggunakan istilah-istilah dan bahasa asing dalam petualangan intelektualnya.

Memang, sebagaimana yang ditulis Agustinus "identitas tak bisa dibuat dalam semalam", sembari tersenyum dengan kening berkerut saya baca bagian ini pelan-pelan, bayangkan saja ketika pada suatu hari pemerintah tiba-tiba menyatakan "bahasa nasional kita adalah bahasa Madura" berapa banyak sarjana kita yang akan menganggur? Ya dengan situasi seperti itu orang dengan titel apapun, gelar apapun akan kembali menjadi anak TK yang masih belajar berbahasa dengan benar. Tapi untunglah itu hanya khayalan saya.

Tadi siang, sekitar jam satu, salah satu stasiun TV swasta (saya lupa) memutar film tentang seorang gadis yang memiliki kemampuan berkomunikasi dengan hewan (saya nggak tahu judulnya apa) dan dengan kemampuan itu ia mampu menerobos garis batas antara hewan dan manusia, gadis itu berhasil memecahkan permasalahan yang dialami oleh beberapa ekor hewan yang menjadi sahabatnya, termasuk seekor anjing milik seorang presiden, dan mereka bersahabat karena si gadis mampu hadir dalam kehidupan para hewan.

Sabtu sore, ngopi sambil menyadari: saya ini anak Madura yang tidak bisa berbahasa Madura, semoga hanya saya yang seperti ini, pun saya tidak mengerti dengan bahasa internasional (Inggris) betapa saya terkurung pada tapal batas yang tidak menyenangkan, untuk berbahasa Jawa pun saya kurang ahli... 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar