31 Desember 2012,
Masih terjebak di rumah, tak banyak kegiatan bahkan, selain menyusun kata pada blog dan membaca beberapa guntingan artikel. Dipenghujung tahun 2012 ini saya semakin "terpenjara dalam rumah!"
Kemarin sempat baca berita di Viva News, Rieke-Teten maju dalam pencalonan gubernur dan wakil gubernur dalam pilkada di Jawa Barat mendatang. Dikabarkan pencalonan kedua tokoh ini memancing kekhawatiran sejumlah pengusaha. "Diduga para pengusaha itu sebelumnya telah bermain-main dengan oknum di
Pemerintah Provinsi Jawa Barat dalam sejumlah proyek yang menggunakan
dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Karena itu, mereka takut
Teten yang mantan pegiat anti korupsi itu terpilih" tulis Viva kemarin.
Kemarin, selesai sholat magrib saya sempatkan menggunting beberapa artikel (kebiasaan saya dari sejak masa kuliah di jurusan pancasila dulu). Dari beberapa artikel di Kompas saya nemu dua judul artikel yang cukup menarik, salah satunya ditulis oleh Budiman Sudjatmiko, anggota DPR dan jejak petualangan politiknya saya rekam sampai hari ini, Budiman menulis judul "Asal-usul kepemimpinan politik", tertanggal 11 Agustus 2012.
Dalam artikel tersebut Budiman menganalogikan pengaruh kepentingan bisnis pada kepemimpinan politik di Indonesia dengan keterlibatan bandar judi sepak bola. Bagi Budiman bandar judi memilih turun langsung bermain bola dan bertransaksi di tengah lapangan hijau. Tidak lagi dari balik layar sebagaimana seorang dalang dalam suatu pertunjukkan wayang.
Pertunjukkan wayang, saya jadi ingat dialog perdebatan awal dalam serat "gatholoco" dalam perdebatan itu tokoh utama, Gatholoco melemparkan pertanyaan pada tiga orang santri "dari suatu pertunjukkan wayang, bagian mana yang paling penting?" lalu tiga santri itu susah payah mencari jawabannya.
Kembali pada artikelnya Pak Budiman, yang sebenarnya mempersoalkan masalah kepemimpinan politik (ingat kepemimpinan politik, bukan kekuasaan raja "kecil"), bagi Budiman kepemimpinan politik dalam demokrasi yang sehat harus berkelindan dengan kerja-kerja perubahan di akar rumput, dan sebaliknya juga perubahan diakar rumput harus berujung pada perubahan kepemimpinan politik. Budiman sangat menyayangkan kerja-kerja para pembuat perubahan di akar rumput ini tidak selalu lancar saat diterjemahkan menjadi perubahan dan kepemimpinan politik, dan ia berpendapat bahwa harus ada revolusi berpikir untuk menata perekrutan kepemimpinan politik.
Satu artikel lagi ditulis Donny Gahraladian dengan judul "Opini, rakyat, dan demokrasi" tertanggal 4 Desember 2012. Mempersoalkan titik lemah dalam demokrasi, dimana demokrasi terus dituntut untuk menyerahkan kekuasaan kepada demos alias rakyat sebagai anti bentuk-tulisnya, dan ini adalah mustahil menurutnya.
Memang demokrasi, sebagaimana yang dipelajari oleh anak-anak sekolah adalah suatu pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Rakyat berdaulat, berkuasa, logikanya kekuasaan oleh rakyat diberikan atau dipercayakan kepada suatu organisasi pemerintahan untuk dijalankan, sebab tidak mungkin rakyat yang banyak ini menjalankan kekuasaannya masing-masing.
Pak Donny mempermasalahkan suatu opinion leader, mengenai parameter yang dipakai untuk mengukur (memunculkan) tokoh-tokoh pemimpin politik, berangkat dari teori hegemoni, dimana didalamnya hegemoni melibatkan proses sintesis yang lebih sublim daripada agregasi dan akomodasi kepentingan belaka. Proses hegemoni, berbagai kepentingan bersintesa menjadi kehendak umum yang mengatasi kepentingan sektoral.
Ditulis pula pendapat Gramsci dalam hal ini, yang menghendaki hegemoni bukan sekedar artikulasi kepentingan sektoral yang berkedok kehendak umum, melainkan kehendak umum sejati melalui integrasi ideologis. Nah Pak Donny memutar persoalan dalam tulisannya, dimana hegemoni yang berlangsung ditanah air saat ini bukan hasil dari integrasi ideologis, hegemoni semata-mata berupa pemaksaan opini kelas hegemonik secara halus sehingga dapat diterima secara luas.
Bagi Pak Donny demokrasi kehilangan transedentalitas dan tereduksi menjadi tubuh dan bahasa. Artinya, demokrasi menjadi sekedar perang opini yang disokong oleh kekuatan modal dan industri, minus kebenaran.
Menjelang Pilkada 2013, banyak pihak mulai bersiap, seperti kisah sebuah kerajaan dengan hingar bingar perebutan tahta. Pun kita juga sedang menghadapi pemilu 2014 dimana segala kepercayaan dan harapan dipertaruhkan.
Ow iya, mengenai cerita tentang perdebatan Gatoloco dengan tiga orang santri belum rampung. Dalam perdebatan itu ketiga santri akhirnya mengaku kalah tanpa sanggup menjawab pertanyaan dari Gatoloco tentang bagian mana yang paling penting dalam suatu pertunjukkan wayang. Jawabannya adalah "blencong" yang paling penting.
Blencong adalah lampu (penerang) yang ada di balik layar yang menghasilkan bayang-bayang wayang. Dalang akan menganggur tanpa kehadiran blencong, wayang tidak akan berbayang, dan penonton hanya akan melihat selembar layar gelap tanpa kehadiran blencong. Pada pentas politik nusantara, blencong ini adalah kehendak dan penderitaan rakyat.
Pagi diakhir tahun 2012, ngopi dengan segenap harapan tentang perubahan dan perbaikan disela-sela bayang kegaduhan politik tahun depan. Cheers.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar