1 Januari 2013,
ketikan pertama awal tahun, ketika memulai, dibelakang saya dua orang masih terkapar. Teguh dan Surya, entah kapan mereka akan bangun. Mendung mengawali pagi, kopi sudah habis, tunggu waktu siang buat menyeduh secangkir lagi.
Lingkup gerak masih terbatas di rumah, tadi sempet keluar sebentar cari rokok. Karena toko disamping tutup maka kudu jalan sekitar 1 km dari rumah lantaran "rokok habis kopi nyaris" seperti syair lagu 'Dokter-suster'nya grup band Jamrud. Untungnya saya tidak bertemu dengan anjing.
Pas jalan-jalan tadi pagi, saya dapati jalan raya di timur rumah terkesan kotor oleh taburan kertas dan bungkus makanan, juga sisa perapian-perapian (jamak, lebih dari satu perapian) dan jalanan lengang seperti lelah habis pesta semalaman.
Dari kemarin malam, bertanya-tanya "sebenarnya sejak kapan tanggl 1 Januari menjadi tanggal merah?", sempat juga dibahas oleh crew GSP ditengah hiruk-pikuk kemeriahan malam pergantian tahun semalam. Letupan-letupan kembang api seperti semalam selalu memunculkan imaji tentang peperangan bagi saya. Perang, sepanjang sejarah manusia "perang" adalah solusi akhir dari perseteruan dan kefrustasian
Ada jawaban: tanggal 1 Januari adalah hari perdamaian sedunia, 1 Januari adalah hari dimana Indonesia pernah menyatakan keluar dari PBB di tahun 1965, 1 Januari adalah hari pembebasan Kuba, pertempuran lima hari lima malam di Palembang antara Indonesia melawan Belanda tahun 1947, juga Abraham Lincoln presiden ke 16 Amrik memproklamasikan emansipasi rasial 1763, dan lain-lain.
Sepertinya dan lebih baik pakai jawaban yang pertama, 1 Januari sebagai hari perdamaian sedunia, lebih universal ketimbang beberapa jawaban lainnya, apalagi ketika memakai jawaban "Indonesia pernah menyatakan keluar dari PBB" malah tidak menyenangkan, kesannya seluruh masyarakat dunia berpesta dengan keluarnya Indonesia dari PBB.
Perdamaian dunia, absurd, bukan tidak masuk akal tapi maksud saya absurd disini adalah "tidak jelas" dimana ketika banyak orang yang mungkin tanpa sadar sedang merayakan hari perdamaian ini juga sedang mendengar dan menyaksikan kelompok manusia yang lain bertempur dengan kelompok manusia lainnya di beberapa belahan dunia, sebut saja Pakistan dengan Taliban dan tidak perlu jauh-jauh di negeri sendiri, Poso. Saya juga sedang keasyikan dalam imajinasi perang disela-sela hiruk-pikuk kembang api dan petasan, juga bising game "command and conquer generals: zero hours".
Perang terjadi karena ancaman, terlepas dari siapa yang mengancam, yang terpenting adalah peran dan fungsi negara yaitu memberikan perlindungan kepada rakyatnya untuk mencapai kesejahteraan rakyatnya. Begitu ada situasi yang mengancam, negara kudu pasang badan, terdepan adalah kekuatan diplomasi berunding dan dibelakangnya ada kekuatan istilah kita adalah diplomasi bambu runcing atau senjata atau militer.
Intinya, perang akan ada jika masih terdapat kekuatan imperium, boleh jadi negaranya menjalankan demokrasi bahkan selalu menganjurkan demokrasi tapi perilakunya ganas-serakah mengancam negara-negara lain.
Saya jadi teringat dengan syair lagu "when the children cry"nya White Lion... no more presidents, and all the wars will end, one united world, under god... ya... sampai hari ini kita masih terjebak dalam batas-batas identitas, melebelli diri dengan identitas-identitas bahkan kebanggaan semu bertajuk nasionalisme yang seringnya juga kita pecundangi demi kepentingan pribadi.
Atau kita nyanyikan saja tembang Imagine milik John Lennon seraya kita katakan "perdamaian itu hanya sekedar imajinasi".
Menjelang siang, jalanan masih juga sepi seperti kota mati, sampah bekas pesta malah menyumbang pada imajinasi, terlihat seperti bekas pertempuran, gosong dan berserak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar