Pramoedya Ananta Toer

"kau pribumi terpelajar! Kalau mereka itu, pribumi itu, tidak terpelajar, kau harus bikin mereka jadi terpelajar. Kau harus, harus, harus bicara pada mereka, dengan bahasa yang mereka tahu"

Senin, 28 Januari 2013

Vasco Da Gama dan Syah Ismail lewat Novel "Suluk Malang Sungsang"

Dari kemarin saya mulai membaca novel Syaikh Siti Jenar tujuh jilid, sudah sejak ramadhan kemarin sebenarnya saya mulai membaca, kemarin melanjutkan jilid enam. Dari yang saya baca ini, saya sampai pada bagian yang menceritakan sepak terjang Vasco Da Gama, petualang yang berhasil menyusun rute perjalanan laut Portugal ke India. Pahlawan bagi bangsanya, rampok bagi bangsa timur, permulaan dari kekuatan kolonial pertama.

Saya juga suka penulisan Pak Agus Sunyoto yang menggambarkan perwatakan Da Gama dari tampilan fisiknya, terutama dari wajahnya.

 Ia adalah perwira muda angkatan laut Portugis berpangkat kapten mayor yang dikenal orang di sekitarnya sebagai manusia kejam, telengas, tak kenal ampun, dingin, suka menghina orang, dan ahli dalam menyiksa tawanan. Gambaran tentang Vasco Da Gama sendiri bukanlah sesuatu yang berlebihan. Bagi mereka yang paham perwatakan manusia berdasar bentuk wajah, tentu akan mengamini gambaran itu. Matanya cekung dan tersembunyi di bawah alis tebal bentuk pedang melengkung mencerminkan kerakusan dan keganasan serigala yang memendam hasrat tak terpuaskan dan penuh diliputi kebencian. Hidungnya yang bengkok paruh rajawali menyembunyikan kelicikan dan jiwa pendendam seekor ular yang bercabang lidahnya, setiap ucapannya berbalut pamrih beracun. Tulang pipinya yang menonjol pada wajahnya yang tirus membiaskan keculasan dan kepura-puraan musang yang selalu mengintai kelengahan lawan. Bibirnya yang selalu terkatup sinis mengungkapkan kesombongan dan kekejaman buaya yang tak kenal ampun.

Demikian yang ditulis oleh Pak Agus pada halaman 207, ingin juga rasanya memiliki kemampuan menulis seperti itu. Saya sangat tertarik dan termotivasi karenanya. Lebih lanjut Pak Agus juga memberi perbandingan sosok dan perwatakan Vasco Da Gama yang terjebak dalam sempitnya kehidupan serba hitam-putih ini dengan sosok Syah Ismail, nama yang sebenarnya baru saja saya kenal, tentu lewat bukunya Pak Agus ini.

Syah Ismail, guru suci Tarekat Safawiyah yang menobatkan diri sebagai raja (syah) Persia. Dari kisah yang di tulis oleh Pak Agus ini, Syah Ismail memiliki bentuk wajah dan perwatakan yang mirip seperti Vasco Da Gama. Sama-sama ganas, sama-sama rakus dan tak kenal ampun. Perbedaannya~sebagaimana yang ditulis Pak Agus adalah jika Vasco Da Gama memandang hanya ada dua agama di dunia ini yaitu Islam dan Kristen dan dianggapnya saling bermusuhan satu sama lain, dan Syah Ismail memandang hanya dua agama juga yaitu sunni dan Syiah. Sama-sama berbalut kefanatikan hingga hanya terdapat dua jalan dalam mata mereka: sesat dan apa yang mereka sebut "jalan tuhan".

Jika Vasco Da Gama menganggap dirinya sebagai ksatria pilihan tuhan, Syah Ismail lebih pada kehadiran tuhan kepada dirinya, mungkin pengaruh Hindu atau mungkin juga dia memperoleh celah untuk ia manfaatkan, yaitu pola pikir masyarakatnya yang masih beranggapan bahwa raja adalah titisan tuhan.

Ada juga tulisan Pak Agus selanjutnya pada halaman 266 yang menceritakan kabar tentang kekejian dua orang tokoh tersebut, yaitu di Jawa, masyarakat Jawa kuno menggambarkan Syah Ismail dengan kebiasaan mereka akan perlambangan-perlambangan. Syah, sah yang berarti "menyingkir" dan "semal" yang berarti tupai. Siluman tupai.

Begitupun desas-desus tentang rencana Portugis untuk menyerang Nusa Jawa, Portugis mendapat julukannya pula disini, kata Portugis dilafal peranggi, menyerang secara membabi buta yang memberi kesan bahwa Portugis adalah kawanan siluman kerbau putih bermata kucing. Sedangkan pemimpinnya, Vasco Da Gama dianggap sebagai siluman bernama Kala Srenggi, siluman babi hutan bertaring besar yang berasal dari Nusa Pranggi (negara kacau). Demikian kurang-lebih yang ditulis oleh Pak Agus, selengkapnya baca sendiri.

Saya tertarik dari kisah ini adalah suatu usaha penaklukan atas dasar kerakusan yang bertopeng agama, baik oleh Vasco Da Gama maupun oleh Syah Ismail. Saya tertarik sebab akhir-akhir ini juga sering saya dengar tentang wacana negara khilafah yang mencuat diberbagai jejaring sosial dan selebaran-selebaran yang menolak pelaksanaan demokrasi dan mendukung terbentuknya khilafah, negara yang berdasarkan pada syariah.

Saya tidak begitu mengerti tentang ketatanegaraan, pun tentang keagamaan, hanya saja~sebagaimana imajinasi saya akan dua tokoh yang saya sebut diatas, apakah dalam khilafah nantinya manusia akan terhindar dari penguasaan manusia atas manusia? Atau jangan-jangan malah mengembalikan manusia pada permasalahan sebelumnya dimana manusia malah menuhankan manusia?.

Dan bukankah sangat mudah saat ini untuk kita temui kerakusan dan kepalsuan yang bertopeng keluhuran? Sungguhpun saya tidak mengerti. Begitu juga dengan demokrasi, yang pada dasarnya adalah sistem yang tidak pernah baku, tidak pernah ada "blue print" untuk melaksanakannya, kita menyesuaikan demokrasi dengan segala yang ada dan yang kita miliki. Tidak ada "cetak biru" untuk demokrasi meskipun Amerika Serikat ngotot dengan bentuk demokrasinya sebagai demokrasi yang terbaik, pun kita juga harus ngotot untuk menyempurnakan demokrasi kita yang tidak hanya sekedar permasalahan politik. Demokrasi adalah pancasila, demokrasi adalah bhineka tunggal ika, kita harus mulai untuk memanusiakan manusia meskipun berada dalam keragaman, dan jargon kita adalah "rahmatan lil'alamin".

Lewat tulisan ini saya juga sempatkan untuk menyampaikan (sebenarnya adalah kejengkelan saya) bahwa Indonesia adalah bukan kafir, sebab kita hanya mengenal dua kafir: Kafir dzimmi dan kafir harbi, tidak ada yang namanya kafir Indonesia atau semacamnya. Tidak ada.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar