Pramoedya Ananta Toer

"kau pribumi terpelajar! Kalau mereka itu, pribumi itu, tidak terpelajar, kau harus bikin mereka jadi terpelajar. Kau harus, harus, harus bicara pada mereka, dengan bahasa yang mereka tahu"

Rabu, 23 Januari 2013

Kedisiplinan tidak muncul dari ketakutan

Rabu sore yang seperti biasa, langit masih juga murung oleh kehadiran mendung, kondisi seperti ini diramalkan akan terjadi hingga sebulan kedepan. Dingin dan misterius. Kalau masih kecil dulu malah yang ditunggu yang seperti ini buat main bola, biar seperti yang ada di TV dan memang pada dasarnya main bola sambil hujan-hujan adalah sangat mengasyikkan. Tapi itu dulu, hingga tersiar kabar tentang kesebelasan yang tersambar petir saat bertanding. Kegembiraan jadi redup-hilang.

Itu ketika masih SMP, saya sekolahnya di SMPN 1 Singosari tapi rumah saya ada di Kelurahan Purwodadi Malang, jauh, kalau pas musim kemarau biasanya naik BMX, kalau musim hujan cukuplah dengan angkot. Betapa hebat saya waktu itu.

Mengingat jaman SMP sudah tentu ingat kalau pernah nakal, suka bikin komplotan sama adik kelas atau mengganggu temen cewek, dan untungnya saya sekolahnya terhitung berada diluar wilayah perkotaan, dulu Singosari terkenal dengan wilayah santri, temen-temen saya kebanyakan juga santri waktu itu disamping anak-anak tentara, yang pasti saya terhindar dari pergaulan menyimpang yang lagi trend waktu itu.

Tapi, sejujurnya itu hanya berlangsung dua tahun, pas kelas tiga dan kakak saya sudah tidak lagi jadi teman seperjalanan ke sekolah, toh pada akhirnya saya juga menyimpang. Patut jadi catatan, hal ini tidak melibatkan temen-temen sekolah saya, sebab di kelas tiga hubungan saya dengan mereka merenggang, pun saya harus berterima kasih kepada mereka yang sadar atau tidak mereka juga telah menuntun saya kembali dan sepertinya juga (kalau diingat-ingat) merekalah yang bersusah payah membantu-membela saya. Aku rindu kalian kawan.

Jadi sedih kalau sudah seperti ini, tapi bukan untuk bercerita tentang kenangan, saya masih harus mencari Indonesia. Kenakalan anak SMP, sering disuruh lari keliling lapangan gara-gara terlambat datang, sudah pasti bareng kakak lari-lari berputar di lapangan.

Atau kena "strap" berjemur di lapangan. Nakal. Tapi tidak anti sosial, jaman orba, P4 dan butir-butir pancasila adalah mekanisme gerak dan pikiran setiap orang untuk dapat dikatakan "benar" meskipun pada akhirnya saya sadari semua itu hanyalah tindakan ideologis, penafsiran tunggal terhadap pancasila. Mungkin bagi orang Jawa hal tersebut tidak ada masalah, tapi bagi masyarakat lainnya. Sungguh, hingga hari ini dapat kita rasa dan saksikan dampak hebatnya, perpecahan.

Pernah ada kejadian, kakak kelas 3 B kena skors tiga hari lantaran (entah sengaja atau tidak) menaruh seragam olah raganya menutupi lambang garuda pancasila, juga belum saya ketahui nasib Bapak gurunya waktu itu. Dan yang kena skors bukannya bersedih malah terlihat riang bercerita pada kawan-kawannya yang lain. Kalau imajinasi saya saat ini adalah mereka gembira karena telah berhasil melancarkan aksi pemberontakannya. Betapa agungnya pancasila waktu itu, hingga UUD'45 pun jadi semacam kitab suci.

Ah, pasca reformasi, waktu saya ada di kelas tiga SMU kebanyakan orang malah melecehkan pancasila tanpa harus mendapat skors, kini saya bersama teman-teman saya mengkampanyekan pancasila, bukan dengan penafsiran tunggal, tapi dengan dialog antar generasi untuk membangun karakter bangsa yang berdaulat, bukan bangsa budak.

Memang muncul kelucuan-kelucuan jika mengingat masa-masa SMP, bahkan yang paling menegangkan pun juga ikut teringat, seperti ketika ada kunjungan Presiden Soeharto ke Kota Malang, entah waktu itu saya kelas dua atau kelas satu, yang pasti saya masih bersama kakak saya berangkat ke sekolah. Jalan kaki dari rumah menuju tempat biasa angkot menunggu penumpang di depan rumah bersalin di Jalan Panji Suroso.

Tidak seperti biasanya, setiap hari ketika berangkat sekolah pasti jalanan sudah ramai oleh lalu-lalang kendaraan dan kehadiran penjual koran, sekaligus anak jalanannya juga. Dan waktu itu sepi, banyak bapak tentara berjaga disepanjang jalan, hanya sekali dua kali kendaraan melintas, rupanya waktu itu jalur dialihkan, yang padat adalah di Jalan A. Yani, sedangkan jalur-jalur yang akan dilalui oleh presiden di sterilkan, termasuk di Jalan Panji Suroso ini.

Di tengah perjalanan, saya mendapati seorang petani~waktu itu area persawahan cukup luas di kawasan ini, pak petani ini membawa sabit, rupanya sedang berencana membersihkan sawah dari rumput liar, sabit/arit itulah perlengkapan khas petani yang juga turut menjadi simbol terlarang waktu itu. Palu-arit (jangankan mengibarkannya, menggambarnya di tempat paling tersembunyi adalah "Haram!"). Dan bapak petani itu sedang bawa arit dipinggir jalan yang jadi jalur lintas kendaraan presiden.

Seorang tentara datang menghampiri, dengan sedikit membentak telunjuknya mengarah ke bapak petani, sedang bapak petaninya celingukan tidak mengerti sampai pada akhirnya beliau meringis kearah bapak tentara yang mencoba merampas aritnya. Tidak begitu saya pahami kejadian itu selain penjelasan kakak saya yang sedang sok tahu waktu itu, seputaran lambang dan kengerian G 30S/PKI.

Tidak beruntung bagi saya dan kakak, waktu itu kami harus menambah rute perjalanan kearah timur, lebih dekat dengan pintu terminal angkot untuk mendapatkan mobil hijau, setelah dapat pun masih harus nunggu jalan dibuka, dari dalam angkot saya dapat menyaksikan rombongan presiden melaju dengan kecepatan penuh, salah seorang bapak penumpang bilang mobil-mobil serba hitam itu anti peluru.

Pikiran saya waktu itu masih pada nasib bapak petani, apakah arit yang hanya sebuah mampu memberi ancaman yang berarti terhadap mobil-mobil itu? Ataukah kewibawaan yang serta merta kehormatan seorang presiden dapat runtuh karenanya? Kewibawaan dan kehormatan yang juga dilindungi oleh serangkaian pengamanan ideologis yang sebenarnya malah memberi ancaman bagi banyak orang.

Semoga semua itu hanyalah masa lalu yang dapat kita pelajari kekurangan dan kelebihannya, kita menuju penyempurnaan hidup, tentu hidup yang lebih manusiawi, menyingkirkan peraturan-peraturan yang tidak mendasar bahkan yang tidak manusiawi untuk digantikan dengan peraturan yang lebih baik, tentu demi membangun kepribadian yang dicita-citakan, kedisiplinan sebagai seorang manusia yang tidak muncul dari rasa takut dan segan. Semoga (sebagaimana yang saya dapati lewat surat kabar) tidak ada lagi tindakan pendisiplinan yang tidak mendasar, ancaman hanya akan menumbuhkan ketakutan, bukan kedisiplinan.

Semoga tidak ada tindakan pendisiplinan yang sewenang-wenang demi generasi yang sehat pikiran dan mentalnya. Tindakan kekerasan tidak hanya sekedar tindakan fisik, dengan berkata-kata dan mengintimidasi adalah tindakan kekerasan, dan tidak manusiawi. Kalaupun pernah kita baca di surat kabar tentang tindakan-tindakan pendisiplinan oleh seorang guru yang pada akhirnya malah menjerumuskannya dalam kasus hukum, semoga saja yang demikian itu menjadi bahan belajar bagi kita semua. Pernah memang saya baca yang demikian, seperti protes wali murid yang mendapati laporan anaknya tentanng hukuman seorang guru dengan menumpuk-numpuk muridnya di tengah lapangan basket (apa gunanya?). Atau tindakan-tindakan lainnya yang tidak mendidik, semoga saja dapat menjadi bahan belajar untuk memperbaiki, kita sedang membentuk Indonesia, masa depan anak-cucu kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar