Bersajak dan melawan, ini sebuah grup di facebook yang dibentuk oleh beberapa rekan eks. Teater Diri Malang, umurnya lumayan panjang daripada grup yang lain sementara para pendirinya juga hilang entah kemana. Berganti dengan petugas admin yang belum juga lengser hingga sekarang.
Bicara mengenai grup bersajak ini sebenarnya alamat blogger yang sedang saya gunakan ini juga milik mereka, cuman karena tidak pernah diisi maka saya bajak. Saya yang bikin, dulu, rencananya mau mereka gunakan untuk mendokumentasikan sajak-sajak karya para admin, tapi setelah berbulan-bulan dibiarkan kosong dan daripada sia-sia, maka saya gunakan sebagai blogger pribadi. Gerak dan Pikiran.
Kembali pada pendapatnya Pramoedya, orang terpelajar harus berlaku adil sudah sejak dalam pikiran, kira-kira seperti bagaimana saya sendiri masih belum paham betul. Adil sejak dalam pikiran. Ada baiknya dipikir sama-sama, pelan perlahan sembari saya cerita yang lain.
Memang, pada dasarnya ketimpangan terjadi karena ada perilaku "berat sebelah"-jadinya timpang, aturan dibentuk dan diupayakan dapat berlaku seadil-adilnya bagi segenap masyarakat, jadi timpang sebab juga berlaku "standar ganda" dalam pelaksanaannya, biasanya "standar ganda" ini tidak diatur dalam peraturan tersebut, hanya saja pelaksananya yang memang dari otaknya sudah timpang.
Hasil dari berlakunya standar ganda ini bisa dirasakan oleh seluruh masyarakat Indonesia kekinian, yaitu berubahnya suatu negara yang dibangun atas dasar kebangsaan menjadi sekedar negara kelas dengan pengkotak-kotakan hak dan kewajiban sesuai dengan klasifikasi klas sosial dalam masyarakat.
Kata bapak-bapak di warung tempat biasa saya mampir "hukum itu hanya berlaku bagi rakyat kecil, pendidikan dan kesehatan hanya milik masyarakat kelas atas".
Ngobrol masalah standar ganda tidak lengkap rasanya kalau tidak ngomongin si "adi kuasa" Amrik, ada kesepakatan diam yang secara diam-diam paman Sam ini sebagai salah satu dan paling sering melaksanakan standar ganda, tentunya disela-sela sempit pembicaraan mengenai paman sebagai "polisi demokrasi". Beberapa waktu kemarin tentunya kita masih ingat ketika Korut bersikukuh meluncurkan roket buatannya dan mendapat kecaman hebat dari berbagai negara~termasuk paman sam yang tidak kalah hebat mengecam. Mungkin ceritanya akan lain kalau Korut ini merupakan salah satu sahabatnya paman, aman-aman saja.
Paman juga mengatakan dirinya (berkali-kali) kepada dunia bahwa ia adalah polisi demokrasi, tapi masih juga paman memelihara diskriminasi, sampai hari ini saya masih berpikir "sulit rasanya hidup sebagai seorang muslim di Amrik sana". Sama seperti di negara kita, negara ini diskriminasi masih menjadi masalah utama dalam membangun masyarakat pancasila yang dicita-citakan, kekerasan dalam bentuk apapun masih menjadi bayang ancaman bagi kelompok minoritas, istilah minoritas ini sudah seharusnya hilang dalam benak kita sebagai bangsa, mengingat perjanjian luhur: pancasila dengan "bhineka tunggal ika"nya yang pada dasarnya menuntut kita untuk lebur jadi satu bangsa, bukan lagi 'terdiri atas' latar belakang kelompok.
Dengan mempertahankan (hanya sekedar) istilah "minoritas" saja kita sudah berlaku tidak adil dari pikiran kita, yang nantinya sudah pasti muncul pula rasa suka dan tidak suka. Lagi-lagi: standar ganda.
Pernah saya ceramah di depan kelas, lantaran saya (kok ya) sempet dengar istilah-istilah diskriminatif yang muncul dari keramaian bocah-bocah SMP. Sila ke 2 pancasila, kemanusiaan yang adil dan beradab. Bagaimana menjadi manusia yang adil? Pertanyaan yang muncul pertama dihadapan ruang kelas, banyak jawaban bermunculan, termasuk satu jawaban lugu tapi mengena "tidak pilih kasih pak!" dengan jawaban semacam itu sebenarnya sudah selesai, tapi terlalu sederhana saya pikir, harus diperdalam.
Menjadi manusia yang adil tentunya harus memahami dulu manusia itu sendiri, mengenal manusia itu sendiri. Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna, kalau masih ragu akan hal ini coba saja baca Surah At-Tin, disana ada penjelasannya. Bahwa manusia itu diciptakan dalam bentuk sebaik-baiknya.
Juga disebutkan dalam Surah At-Tin bahwa manusia nantinya juga akan ada yang dikembalikan kepada tempat paling rendah-paling hina akibat perbuatannya. Jadi [ini menurut saya (saya peringatkan) yang minim ilmu agama] manusia itu sempurna, ya sempurna hebatnya pun juga sempurna kelemahannya, lemahnya manusia adalah ketika manusia itu masih bisa lapar ataupun mengantuk, hebatnya manusia adalah berpikir. Kalau sudah mengenal manusia, maka berlaku sebagai manusia, kalau lapar ya makan, kalau ngantuk ya tidur. Adil, terhadap diri sendiri sebagai manusia.
Setelah adil terhadap diri sendiri, tentunya harus adil terhadap orang lain, yaitu ketika telah sadar dengan hebat dan lemahnya manusia, tentunya manusia-manusia lain memiliki hal yang sama. Misalnya kalau sudah tahu dipukul itu sakit ya jangan memukul. Adil.
Selanjutnya Adil terhadap Sang Pencipta, lho... (?)... tentunya ini yang sering kita lupa, yaitu adil terhadap Sang Pencipta Yang Maha Adil. Kita sering minta macam-macam, mungkin hingga sampai main paksa segala, tapi kita kok ya selalu lupa~yang jangankan untuk bersikap adil, mengingatNya saja hampir-hampir kita lupa. Sebenarnya cukup sederhana untuk berlaku adil disini, yaitu menjalankan perintahNya dan menjauhi laranganNya. Adil.
Lalu, bagaimana dengan pendapat Pramoedya tentang adil sejak dari pikiran? Masih bingung, padahal tidak sedang disuruh mikir juga tidak sedang diajak, hanya kembali mengingat tentang segala yang sederhana yang kerap muncul dari diri kita sendiri.
...................................................................................................................................................................
Jean Marais sahabatku yang lebih tua, kompanyon dalam berusaha. Sudah sepatutnya aku bertanya kepadanya.
Para
tukang di bengkel sedang merampungkan perabotan kamar yang dipesan
dengan nama Ah Tjong. Mungkin yang punya rumahplesiran tetangga Nyai
Ontosoroh. Hanya karena pesanan bergaya Eropa orang Tionghoa tidak
memesan pada sebangsanya sendiri. Kuterima order itu melalui orang lain.
Jean sedang memainkan pensil membikin sketsa untuk lukisan yang akan datang.
“Aku
hendak mengganggumu, Jean.” Kataku dan duduk di kursi pada
meja-gambarnya. Ia mengangkat muka memandangi aku. “Tahu kau artinya
sihir?”
Ia menggeleng.
“guna-guna?” tanyaku.
“Tahu-sejauh pernah kudengar. Orang-orang Zanggai biasa lakukan itu, kata orang. Itu pun kalau pendengaranku benar.”
Mulai
kuceritakan padanya tentang keadaanku yang serba tersihir. Juga
pendapat umum tentang nyai-nyai pada umumnya, dan keluarga Nyai
Ontosoroh khususnya. Ia letakkan pensil di atas kertas gambar, menatap
aku, mencoba menangkap dan memahami setiap kataku. Kemudian, tenang dan
campur-aduk dalam beberapa bahasa:
“Kau dalam kesulitan, Minke. Kau jatuh cinta.”
“Tidak, Jean. Tak pernah aku jatuh cina. Memang dara itu sangat menarik, menawan, tapi jatuh cinta aku tidak.”
“Aku
mengerti. Kau dalam kesulitan, itu parahnya kalau orang tak dapat
dikatakan jatuh cinta. Dengar, Minke, darahmudamu ingin memiliki dia
untuk dirimu sendiri, dan kau takut pada pendapat umum.” Lambat-lambat
ia tertawa. “Pendapat umum perlu dan harus diindahkan, dihormati, kalau
benar. Kalau salah, mengapa dihormati dan diindahkan? Kau terpelajar,
Minke, Seorang terpelajar harus juga belajar berlaku adil sudah sejak
dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan. Itulah memang arti terpelajar
itu. Datanglah kau padanya barang dua-tiga kali lagi, nanti kau akan
dapat lebih mengetahui benar-tidaknya pendapat umum itu.”
“Jadi kau anjurkan aku datang lagi ke sana?”
“Aku
anjurkan kau menguji benar-tidaknya pendapat umum itu. Ikut dengan
pendapat umum yang salah juga salah. Kau akan ikut mengadili satu
keluarga yang mungkin lebih baik daripada hakimnya sendiri.”
“Jean, kau memang sahabatku. Aku kira kau akan adili aku.”
“Tak pernah aku mengadili tanpa tahu duduk-perkara.”
“Jean, aku diminta tinggal di sana.”
“Datanglah
ke sana. Hanya jangan lupa kau pada pelajaranmu. Kau tak begitu perlu
mencari order baru. Lihat, masih ada lima potret yang harus
diselesaikan. Dan ini,” ia menepuk kertas sketsa, “Aku hendak melukis
sesuatu yang sudah lama aku inginkan.”
Aku
tarik kertas sketsa di hadapannyaa. Gambar itu membikin aku lupa pada
persoalanku. Seorang serdadu Kompeni, Nampak dari topi bambu dan
pedagangnya, sedang menginjakkan kaki pada perut seorang pejuang Aceh.
Serdadu itu menyorongkan bayonet pada dada kurbannya. Mata wanita itu
membeliak. Rambutnya jatuh terurai di atas luruhan daun bambu. Tangan
sebelah kiri mencoba meronta untuk bangun. Tangan kanan membawa parang
yang tak berdaya. Di atas mereka berdua memayungi rumpun bambu yang
nampak meliuk diterjang angin kencang. Di seluruh alam ini seakan hanya
mereka berdua saja yang hidup: yang hendak membunuh dan yang hendak
dibunuh.
“Kejam sekali, Jean.”
“Ya,” ia mendeham, kemudian menghisap rokoknya.
“Kau suka bicara tentang keindahan, Jean. Di mana keindahan suatu kekejaman, Jean?”
“Tidak
sesederhan keterangannya, Minke. Gambar ini bersifat sangat pribadi,
bukan untuk umum. Keindahannya ada di dalam kenang-kenangan.”
Kutulis dengan senyum gejeh, namun kemudian Kubaca dengan senyum mesem..:)
Referensi:
Toer, Pramoedya Ananta. Bumi Manusia. Jakarta: Lentera Dipantara, 2005
Tidak ada komentar:
Posting Komentar