Baru pulang dari latihan teater sama komplotan Karter langsung ngetik jurnal, masih juga dalam pencarian Indonesia, sebenarnya tadi siang juga sempet nulis tapi bukan jurnal, cerita dan belum juga selesai. Berat juga ternyata untuk bercerita.
Tadi pas di jalan sempat juga mengawasi seorang pejalan kaki yang menyeberang, depan gerbang sekolah ada zebra cross, aturannya adalah tempat orang menyeberang, sekarang dilengkapi pula dengan cat merah school area, untuk aturan jalan saja kita masih harus menggunakan bahasa Inggris. Sangat klasik.
Ada juga perlengkapan trafic light, denger-denger katanya akan disiapkan semacam trafic light di Surabaya sana yang pakai tombol untuk mengatur nyala lampu. Masalah ini saya masih awam, dan belum ada kabar lanjutan.
Biarlah, kata orang sekitar akan lebih aman dengan cara seperti itu, tapi masih mungkin, mungkin saja aman dan mungkin saja kondisinya tetap. Mengingat belum juga terbentuk etika dalam masyarakat, khususnya dalam hal ini adalah etika pengguna jalan.
Aturannya sudah cukup jelas dengan perangkat rambu-rambu yang bertebaran disetiap ruas jalan, termasuk juga dengan kehadiran Pak polisi yang siap menertibkan jalanan, sebagaimana yang diketahui anak-anak SD. Yang jadi masalah adalah etikanya, baik pengendara maupun pejalan kakinya, termasuk juga kendaraan-kendaraannya. Kendaraan memang hanya benda, bukan makhluk dan memang terlepas dari masalah etika, dan itu tidak berlaku di Indonesia yang mana kendaraan ternyata juga sering dan banyak melanggar etika dan estetika. Nah lho, bagaimana bisa?.
Coba lihat saja trend kendaraan masa kini, ukuran dan fasilitasnya yang termasuk kapasitas CC nya-yang terakhir ini saya sedikit ngawur tentang cc yang sebenarnya tidak begitu saya mengerti selain kata orang kebanyakan-kalau ccnya besar maka kecepatan akan tinggi dan bensinnya boros. Dan kendaraan dengan CC yang besar sangat banyak bertebaran di negara dengan hutang yang besar ini, saya pikir kendaraan-kendaraan tersebut melanggar kepantasan untuk berada di jalanan Indonesia raya. Pun juga dengan ukurannya, yang lagi trend adalah kendaraan dengan body lebar, benar-benar tidak pantas bergaya melenggang di jalanan sempit kota-kota nusantara.
Sering pula didapati sindiran yang bisu (bisu sebab tidak ada yang mendengar dan memperhatikan) mengenai kehadiran anak jalanan yang kumal diantara mobil-mobil mewah yang berlintasan. Ironis.
Kembali pada penyebrang jalan tadi, sementara trafic light belum dapat difungsikan, sementara yang nyala hanya warna kuning yang berkedip genit, jalan dari arah utara ke selatan kondisinya padat merayap, dan dari arah sebaliknya cukup beringas dengan kecepatan yang "terburu-buru". Maklum, sudah mulai masuk jam lima sore, tiap-tiap pekerja sedang ingin segera mencapai rumah, ada juga pelajar dan mungkin beberapa pekerja yang baru berangkat, semua diburu waktu. Pun dengan supir angkot yang sekaligus diburu setoran.
Setelah berhasil menerobos kemacetan si penyeberang berada di tengah jalan, sejajar dengan marka jalan menunggu lintasan yang beringas tadi sedikit tenang. Saya awasi dari kejauhan sepertinya ada kesempatan itu, sepi memang dan si penyeberang buru-buru melangkah. Mungkin tebakan saya dengan si penyeberang sedang mirip, yaitu kondisi jalan untuk menyeberang adalah aman, tapi diluar dugaan ada tiga sepeda motor terlihat sedang adu kecepatan. Awalnya saya hanya lihat dua, pun seperti itu yang dilihat oleh si penyeberang yang ternyata diantara dua tersebut ada satu yang terselip dan sedang asyik bermanufer.
Lolos dari dua kendaraan, hampir saja dengan satunya yang bermanufer hingga dekat dengan tepi jalan, si penyeberang sebenarnya sudah berada dalam batas aman tapi posisinya sejajar dengan kendaraan tadi, berlanjut dengan suara khas rem mendadak dan umpatan khas anak negeri. Keduanya hampir saja bertengkar kalau saja si pengendara motor tidak cepat sadar untuk selekasnya pulang.
Saya juga sudah terlalu sering mengalami hal tersebut hingga dalam pikiran saya sudah terkonsep suatu kesimpulan. Sering saya merasa jika hendak menyeberang bahwa pengendara-pengendara pada umumnya malah akan menambah kecepatan begitu tahu akan ada yang menyeberang. Entah, apa karena merasa dirugikan hingga merasa harus mengambil hak para penyeberang? Dan kesimpulan saya adalah yang kuat yang menang, siapa cepat dia dapat. Edan.
Etikanya adalah mendahulukan pejalan kaki, lebih-lebih adalah menjaga keselamatan bersama para pengguna jalan. Dan sepertinya tidak berlaku seiring dengan menguatnya hukum rimba disetiap sudut negeri ini, didalam gedung maupun di jalanan adalah sama saja, hukum rimba.
Mungkin tidak perlulah membahas hal yang demikian rumit, dimanapun dan kapanpun selama masih di negeri ini, ruas trotoar sering dimanfaatkan untuk berjualan, entah hanya dengan tenda ataupun dengan memakir kendaraan yang pasti mengurangi hak para pengguna jalan terutama keselamatan dan kenyamanan pejalan kaki.
Jukir, tukang becak dan sopir angkot pun turut hadir merayakan keadaan, semuanya serba ingin menang, serba ingin berkuasa tanpa ada sedikitpun kesadaran untuk saling memanusiakan manusia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar