Tadi sempat berbincang-bincang dengan seorang teman, menganalisis setiap potensi dari fakta-fakta yang ada. Memang dalam suatu lingkungan yang tenang tapi menyimpan gemuruh adalah seperti melakukan meditasi diantara banyak ancaman yang senantiasa mengawasi. Walaupun hanya sebatas lingkungan kelompok pengajian.
Dari cerita teman saya ini saya dapati adalah sekumpulan orang yang sedang diombang-ambing keadaan akibat beberapa anggotanya berpolitik, jauh dari bayangan saya tentang perkumpulan pengajian yang berisi orang-orang yang haus akan ilmu, atau sekumpulan orang yang mencari tempat untuk menata hati ditengah kegaduhan rimba politik tanah air. Sempat saya maklumi tadi, bahwasannya dimanapun ada sekumpulan manusia disitu pula akan ada pertarungan untuk saling mendominasi satu sama lain, serta tipikal orang-orang kita hingga saat inipun masih mengupayakan kehormatan-kebangsawanan kalau boleh saya katakan demikian, tapi saya harus menemukan Indonesia, maka permakluman tadi harus saya singkirkan.
Ada beberapa nama disodorkan kepada saya dalam curhatnya, masing-masing punya andil. Kelompok pengajian ini tak ubahnya seperti sekolah, ada pencari ilmu~kalau disekolah ya murid dan penyampai ilmu yang kalau disekolah namanya guru; kalau dipengajian namanya ustad/ustadzah, ada seragam, iuran tidak lupa dengan bentuk arisan atau semacamnya (seperti halnya modifikasi koperasi sekolah), bedanya hanya pada persoalan ijazah.
Pengajian ini punya seorang ketua, ibaratnya kepala sekolah yang membawahi beberapa staff terpilih atas dasar senioritas, sebagaimana organisasi pada umumnya setiap anggota terpilih akan menjalankan fungsi yang telah dibebankan kepada mereka, dari sarana prasarana hingga hal-hal lain seperti perencanaan kegiatan kelompok. Mirip sekolah bukan? Kalau disekolah ada juga staff sarana prasarana, kesiswaan, humas, kurikulum dan sebagainya.
Entah karena hal apa kedudukan-kedudukan seperti itu menjadi maha penting bagi mereka hingga beberapa anggotanya melancarkan taktik dan intrik politik untuk mempertahankan dominasi atau sebut saja status quo.
Saya sebut status quo sebab mendengar penuturan teman saya yang menggambarkan sekelompok orang yang "anti perubahan", anti perubahan sekedar untuk melanggengkan keuntungan-keuntungan pribadi, hal yang sebenarnya telah disadari oleh seluruh anggota dan kemudian menimbulkan "gap" antara penghuni lingkungan.
Anggota muda dan beberapa senior menginginkan perubahan (perbaikan) dengan belajar dari segala kesalahan dan anggota senior lainnya malah bertanya "kenapa harus merubah sesuatu yang sudah ditata?"- menurut kisah teman saya, orang yang "berseloroh" demikian itu punya tipikal seorang oportunis yang juga gemar menyediakan jebakan bagi yang lain. Ketua yang sebagai pemimpin pun katanya tunduk pada orang ini meskipun bersusah payah menyatakan "netral".
Daripada saya berpanjang lebar menulis perwatakan dari orang yang diceritakan oleh teman saya ini, saya akan analogikan saja dengan tokoh wayang, dan sebenarnya juga tadi saya kisahkan kepada teman saya itu tentang tokoh Krisna. Watak terselubung dari orang yang diceritakan oleh teman saya ini saya gambarkan sebagaimana peran Krisna dalam bharatayuda.
Berawal dari pertanyaan yang saya selipkan ditengah gebalau kegalauannya "menurut anda, siapa yang paling baik antara Durna dan Krisna dalam lakon Bharatayudha?" Lalu teman saya menjawab "Krisna yang paling baik, sebab ia membela kebenaran dipihak Pandawa" dan Durno dia katakan sebagai pihak paling buruk.
Memang, Krisna ada dipihak Pandawa, tapi orang modern selalu salah menilai (mungkin hanya sekilas mendengar kisahnya), tapi posisi Krisna bukan sebagai petarung, dalam peperangan ia bertindak sebagai kusir kereta Arjuna, inilah peran utamanya dalam perang selain karena ia telah bersumpah untuk tidak membunuh siapapun dalam perang tersebut, juga karena sebelumnya ia telah banyak memakan korban akibat taktiknya.
Pertama, Krisna menyingkirkan saudara kembarnya sendiri, Baladewa dari aliansi Kurawa, berlanjut dengan siasatnya untuk menyirnakan kesaktian Antareja anak Bima. Krisna pun merupakan pengatur siasat dari kubu Pandawa meskipun ia sendiri menyatakan bahwa keberadaannya adalah netral, selain juga karena petunjuk para dewa untuk membuat peta pertarungan, siapa melawan siapa.
Sedangkan Durna atau biasa ditulis Druna dan biasa dilafal "Durno" adalah seorang guru baik dari Pandawa maupun dari Kurawa, sebagai seorang bagawan kesaktiannya cukup merisaukan hati Krisna, maka dalam pertempuran siasat Krisna pula yang telah membunuhnya. Durna sangat menyayangi anaknya, Aswatama, dan Krisna mengerti lebih dari hal itu, Durna hanya akan dapat dilukai ketika sedang bersedih. Namun permasalahannya adalah Aswatama lari sembunyi saat perang terjadi.
Setelah mengutus mata-mata yang telah mendapati seekor gajah dari pihak Kurawa yang kebetulan bernama Aswatama, maka Krisna mengatakan agar seluruh pasukan nantinya berteriak "Aswatama telah mati!" ketika berhasil membunuh gajah tersebut dalam pertempuran, dan jika Arjuna nanti ditanya oleh Durna tentang kebenaran hal itu maka Arjuna harus menjawab "benar, gajah Aswatama telah mati" dengan memperkecil suara saat mengatakan "gajah", hal ini terjadi karena Arjuna yang diketahui sebagai murid kesayangan Durna dan Arjuna adalah seorang kesatria yang tidak mau berbohong. Dan saat pertempuran terjadi, skenario ini berjalan dengan lancar sesuai rencana, Durna gugur akibat kesedihannya.
Nah demikian itu kurang-lebih sebagaimana yang digambarkan oleh teman saya lewat curhatnya, kisah inipun tadi juga sempat saya ceritakan kepada teman saya itu. Sekedar ingin menyampaikan kepada dia bahwa perlu menggunakan logika dalam menghadapi kondisi seperti itu, yaitu memakai sudut pandang politik dalam menanggapi tindakan-tindakan politis yang dirasa mengancam, toh kita juga harus terus mendidik masyarakat untuk sadar akan kedaulatannya, agar masyarakat terbebas dari mentalitas budak untuk menemukan Indonesia. Penguasaan manusia atas manusia harus didobrak hingga lingkup terkecil masyarakat negeri ini.
Kita harus mewujudkan tiap-tiap lingkungan yang kondusif yang mampu mendidik satu sama lain, intrik dan persengkongkolan hanya akan menimbulkan ketertutupan. Serta kepemimpinan seorang pemimpin, saya kata seperti itu sebab belum tentu seorang pemimpin memiliki kepemimpinan yang mumpuni sebagaimana cerita teman saya dan sebagaimana juga gambaran tokoh Krisna, tidak selayaknya pemimpin malah memihak ketika mendapati perpecahan, bharatayuda adalah kisah yang patut diteladani, mempelajarinya untuk menghindari kesalahan yang sama seperti dalam kisah tersebut. Bagi saya (hanya sekedar berandai-andai) Krisna mampu mencegah pertumpahan darah tersebut sebab dia adalah raja titisan dewa yang sakti dan cukup disegani, ini hanya berandai-andai. Sepatutnya pemimpin memfasilitasi perpecahan dengan keterbukaan untuk memecahkan persoalan yang ada, bukan malah mendukung status quo yang dirasa timpang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar