Dapat istilah menarik pagi ini, disorientasi lingkungan, sebenarnya saya baca kemarin waktu membagi tulisan ke beranda face book, pada suatu artikel yang membahas tentang fenomena kesurupan, dibahas lewat jalur ilmiah bukan metafisika, disitulah saya baca istilah "disorientasi lingkungan" sebagai salah satu point temuan. Juga baru kemarin saya ketahui istilah "tourette" yang merupakan judul lagu dari Nirvana.
Kalau dipikir, akhir-akhir ini sering terlihat hal-hal dan kejadian yang menggambarkan perilaku disorientasi lingkungan, seperti kehadiran para pembalap di jalanan, jalanan, bukan sirkuit. Atau seperti halnya hilangnya jati diri sebagaimana umumnya terjadi, terkait pula dengan penempatan diri pada waktu dan tempat secara tidak lazim. Ataukah mungkin sama dan dapat disejajarkan dengan keadaan "anti sosial"? Entah, yang pasti negeriku semakin tambah lucu.
Bisa saja dengan mudah ditemui bagaimana suatu lebaga beralih fungsi dengan tidak semestinya sebab sudah pasti orang-orang didalamnya juga sedang mengalami disorientasi lingkungan, seperi lembaga pendidikan yang lebih memberi kesan seperti lembaga politik atau bahkan lebih mirip usaha dagang, atau seperti parpol yang malah jadi lebih identik dengan penyalur tenaga kerja dan sebagainya yang sangat mudah untuk dijumpai. Sebagaimana juga suporter sepak bola yang memang lebih mirip prajurit kerajaan.
Kita bicarakan Sekolahan saja, biar lebih mudah menggambarkannya, sekolah adalah lembaga pendidikan, tempatnya orang belajar. Orang belajar adalah orang yang berubah, dari tidak bisa menjadi bisa, dari tidak tahu menjadi tahu, belajar dan berubah. Dan proses belajar tanpa diikuti oleh perubahan~khususnya tingkah laku, adalah kesia-siaan.
Dengan begitu perlu adanya usaha yang sungguh-sungguh dalam proses belajar, mendisiplinkan diri adalah jadi penting sebelum didisiplinkan. Disiplin, terkait menempatkan segala sesuatunya dengan tepat dan benar, termasuk menempatkan diri pada tempat dan waktu secara tepat dan benar. Tanpa semua itu, saya tidak yakin perubahan bisa terjadi.
Tapi akan jadi tambah kacau ketika sekolah sebagai wadah perubahan tersebut malah ikut kehilangan jati dirinya, jangankan bicara perubahan, untuk bertahan sebagai manusiapun sepertinya adalah ketidak mungkinan. Pohon yang menghasilkan buah yang berkualitas hanya akan tumbuh dari tanah yang berkualitas pula, dan tentunya dengan cara merawat yang "berkualitas". Belajar tanpa ada perubahan sikap itu ibarat pohon tiada berbuah, alias percuma.
Pemimpin dan pejuang yang berkualitas hanya akan tumbuh dari lingkungan masyarakat (sebagai tanahnya) yang berkualitas. Kecenderungan perilaku disorientasi lingkungan memang bersifat individu, hanya saja ketika lingkungan tidak segera membenahi dan malah turut mendukung perilaku tersebut maka dapat dianalogikan seperti sebidang tanah yang memang tidak layak untuk ditanami.
Cukup mengherankan memang jika tumbuh padi diatas pasir, tidaklah mungkin tumbuh pohon apel didasar laut.
Manipulasi lingkungan pun sepertinya tidak akan memberi apapun terhadap perubahan-perbaikan, yang ada malah mengarah pada penyesatan yang tidak terperi, salah satu dampaknya adalah keterasingan. Manusia-manusia yang berkualitas dan bermanfaat bagi manusia yang lain hanya akan muncul dari lingkungan yang berkualitas pula. Tapi bagaimana mengolahnya? Dan seperti apakah lingkungan yang berkualitas itu jika individu-individunya saja malah terjebak pada keterasingan dan jadi tambah parah mengalami disorientasi lingkungan?. Mari bertanya pada rumpun yang bergoyang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar