Pramoedya Ananta Toer

"kau pribumi terpelajar! Kalau mereka itu, pribumi itu, tidak terpelajar, kau harus bikin mereka jadi terpelajar. Kau harus, harus, harus bicara pada mereka, dengan bahasa yang mereka tahu"

Selasa, 15 Januari 2013

Kekerasan dan hilangnya suatu bangsa

Ada yang tanya "mengapa judul blognya jadi Mencari Indonesia? Bukankah Indonesia itu ada dan tidak sedang hilang?" Demikian tadi pas ngobrol lewat fesbuk. Saya jelaskan tadi bahwa bukannya Indonesia menghilang dari muka bumi ditelan luapan air laut atau dicoret sama PBB karena masalah persepakbolaan yang rumit dan seperti tidak memiliki penyelesaian.

Wilayah kepulauan Indonesia memang masih ada-mungkin hampir mirip dengan wilayah kepulauan jaman Majapahit dahulu, sebagaimana juga dengan penghuninya, pulau-pulau ini masih dihuni oleh masyarakat yang juga (mungkin) hampir sama karakteristiknya dengan jaman feodal tersebut. Tapi Indonesianya yang patut dipertanyakan, Indonesia yang disepakati sebagai nama suatu bangsa sejak tahun 1928 dan memproklamasikan kemerdekaannya pada tahun 1945, suatu bangsa yang dibangun atas dasar keragaman hingga dalam lambang negaranya turut mengusung semboyan "Bhineka tunggal ika".

Patut dipertanyakan karena hingga hari ini belum juga terlihat yang dinamakan orang Indonesia yaitu masyarakat pancasila. Meskipun sipenanya protes saya tetap saja pada pendirian saya untuk mencari Indonesia, petanya adalah sejarah, kompasnya pancasila. Tetap akan saya cari.

Kalaupun boleh jujur, dalam otak saya sekarang mengenai kehancuran suatu bangsa yang katanya "berbhineka" ini adalah sejak 1965, terlihat jelas bahwa bangsa itu enggan untuk "berbhineka". Perbedaan harus dihilangkan meskipun harus dengan cara kekerasan.

Dan kekerasan bisa jadi merupakan salah satu solusi untuk menganulir masalah, menganulir bukan menyelesaikan. Dan kekerasan beragam macamnya, yang cukup populer adalah tindakan fisik yang pada dasarnya muncul dengan didahului kekerasan verbal. Bagi saya semua tindak kekerasan awalnya dari kekerasan verbal.

Bukan hanya semisal bentrok antar suporter yang berawal dari saling ejek, tapi juga seperti tindakan yang jadi kegemaran Amrik, name calling.Upaya mendiskreditkan pihak lain tentunya tidak akan lepas dari tindakan verbal untuk menjatuhkan kewibawaan sasaran selain untuk juga memperoleh dukungan dari banyak pihak.

Dan ini adalah kebiasaan dalam proses pengaruh-mempengaruhi dalam masyarakat sekalipun. Istilahnya "rasan-rasan" atau "ngomongin orang" atau kalau sedang keterlaluan "hasut-menghasut" dan kalaupun biar keren sebut saja "provokasi". Yang terakhir perlu ada pendalaman lebih lanjut, sekarang tidak perlu dibahas, cukup membahas kekerasan dan hilangnya Indonesia yang didamba, Indonesia yang berpancasila, Indonesia yang berbhineka tunggal ika.

Apa hubungannya runtuhnya sebuah bangsa yang menghuni kepulauan Indonesia dengan kekerasan? Tentu ada, sebab peradaban suatu bangsa itu ada karena etika dan estetikanya, bangsa hilang karena kecenderungan biadab yang tidak mengindahkan etika-estetika. Etika akan selalu dicari dan disepakati sebagai temuan suatu bangsa yang mencoba untuk eksis. Nah, sebuah bangsa hilang karena tidak mencapai kesepakatan tersebut, jangankan mempermasalahkan estetika, yang terjadi adalah upaya untuk saling mendominasi satu sama lain dan sudah pasti berujung pada kekerasan yang merupakan-secara tidak langsung pemusnahan satu sama lain.

Kita menolak kekerasan, kekerasan dalam bentuk apapun sebab kita juga menolak tindakan tidak manusiawi. Peradaban adalah hasil, produk dari budaya, dan kita akan selalu menggunakan produk budaya yang nyaman bagi kemanusiaan.

Sedikit sobekan dari Pramoedya Ananta Toer:
"Betapa bedanya bangsa-bangsa Hindia ini dari bangsa Eropa. Disana setiap orang yang memberikan sesuatu yang baru pada umat manusia dengan sendirinya mendapatkan tempat yang selayaknya di dunia dan di dalam sejarahnya. Di Hindia, pada bangsa-bangsa Hindia, nampaknya setiap orang takut tak mendapat tempat dan berebutan untuk menguasainya."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar