Rabu sore, hujan dan flu yang tak kunjung sembuh. Refleksi hari ini adalah filosofi "sepi ing pamrih, rame ing gawe" atau kalau diterjemahkan dalam bahasa Indonesia "sepi dalam pamrih, ramai dalam bekerja" yang bukan berarti bekerja dengan cara acak-acakkan lalu teriak-teriak biar ramai, tapi ramai disini adalah "giat" atau dalam istilah jawanya "sregep".
Filosofi yang selalu menyertai setiap penataran P4 jaman SMP dulu disamping tenggang rasa, "tepo sliro", "mikul duwur mendem jero" dan segala hal yang sifatnya Jawa sentris. Pada waktu itu, meskipun sempat berpikir jika hal demikian dapat dimanfaatkan secara licik oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab, tapi baru beberapa tahun kemudian saya menyadari bahwa disatu sisi filosofi tersebut menyimpan kebaikan dan pada dasarnya adalah upaya penyeragaman setelah saya mengenal istilah "keterasingan" dan "ketergantungan" dari Karl Marx.
Saya selalu gagal menulis tentang ini, tentang filosofi "sepi ing pamrih, rame ing gawe" yang dipelintir sedemikian rupa untuk kepentingan perseorangan. Untuk mempermudah, saya akan ceritakan saja perjumpaan saya dengan salah seorang teman, guru pada salah satu sekolah swasta di Malang.
Saya kenali teman saya ini waktu masih kuliah di Universitas Negeri Malang, beda jurusan dengan saya, kenal akrab sebab sering nongkrong-ngopi diwarung. Sama gondrong.
Sepengetahuan saya, teman yang satu ini adalah mahasiwa "kupu" disebut seperti itu sebab tidak memiliki aktivitas lainnya selain kuliah-pulang, ngopi di kampus kalau ada kesempatan, tapi di sekolah tempat ia mengajar ia lebih dikenal sebagai mantan aktivis, demonstran dan seorang organisatoris, tidak tanggung ada yang bilang ia adalah seorang pendiri dari sebuah organisasi mahasiswa penggiat seni yang sebenarnya nama dari organisasi ini cukup "sangar" untuk didengar alias terkenal, dan sebenarnya sudah ada sebelum teman saya ini masuk.
Tidak begitu saya hiraukan, mungkin itu adalah sekedar tak-tik untuk mendapatkan pengakuan diri dari orang lain, yang saya pikir saat itu adalah karena ia lebih dulu masuk kedalam dunia pendidikan dalam hal mengajar, saya belakangan karena bertahun-tahun terjebak dalam dunia berita alias wartawan, saya berpikir saya harus dapat menggali pengalaman dari teman saya ini. Kami jadi akrab kembali.
Banyak hal yang ia ceritakan kepada saya, sudah pasti seputar lingkungan kerjanya yang katanya banyak berisi orang-orang munafik dan sistem yang ada disana adalah senioritas, sembari terus menghujat nama-nama seniornya, yang dikemudian hari dia katakan "saya tidak mempermasalahkan senioritas disini, saya adalah sedang menghormati mereka", padahal waktu itu saya sedang mengikuti alur pikirannya yang membenci senioritas. Toh pada akhirnya juga saya ketahui bahwa maksud teman saya ini ketika begitu menggebu-nggebu kebenciannya terhadap senioritas lantaran sakit hati yang berlebihan tentang pemberian tunjangan kepada para seniornya yang~katakanlah sedang pelit, sedangkan dia juga ikut mengajukan tapi gagal.
Pernah dengan berapi-api ia menceritakan hal ini hingga (mungkin) tanpa ia sadari bahwasannya saya adalah orang diluar lingkungannya dan tidak memiliki pengaruh apa-apa dengan ceramahnya itu. Tapi saat itu saya adalah juga seorang guru, jadi saya merasa harus mempelajarinya sebab saya juga merasa nantinya saya pasti akan bertemu dengan hal-hal seperti itu. Dan sekaligus pula saat itu saya sadari bahwa seorang guru pun juga sedang terjebak dalam keterasingan, entah setuju atau tidak atau bahkan nantinya saya akan dihujat saya katakan seperti itu dengan tidak bersepakat dengan apa yang dinamakan "sertifikasi" atau semacamnya.
Kembali pada teman saya, dimana sepanjang saya perhatikan ia adalah seorang pembuat onar dilingkungan kerjanya tapi dapat dikatakan posisinya "aman-aman saja" hingga saya ketahui teman saya ini memiliki kewenangan melebihi kewenangan seorang kepala sekolah, orang-orang yang dirasa cukup mengganggu atau mengancam kepentingannya bisa saja ia singkirkan tanpa harus diketahui oleh rekannya yang lain.
Saya cari tahu akan hal ini yang kemudian dia sendiri yang menjelaskan kepada saya "prinsip saya adalah membuat orang kecanduan kepada saya", sebenarnya sudah cukup jelas bagi saya, mengharapkan orang kecanduan sudah pasti adalah menciptakan keterasingan bagi orang lain, tentu seperti itu hingga atasannya saja harus tunduk pada dia. Tapi harus saya ketahui bagaimana teman saya ini mempraktekkan prinsipnya tersebut.
Mula-mula dan yang utama disini adalah keterampilan berperan, mengambil peran sebagai seorang korban atau pihak yang diasingkan, mungkin sudah keberuntungan bagi teman saya ini yang memiliki peran watak yang mumpuni sedemikian itu, lalu berusaha giat mengerjakan segala sesuatu dan membantu orang-orang disekitarnya, terus seperti itu hingga semua orang merasa ingin memanfaatkan tenaganya. Tidak lupa memanfaatkan perseteruan yang ada, menjual omongan sembari menghasut satu sama lain hingga semua orang merasa dia berada dipihaknya. Yang seperti ini tergolong cerdas atau licik?.
Dalam setiap yang ia kerjakan tentunya adalah pamrih, tapi semboyan yang selalu ia bicarakan adalah sebagaimana filosofi "sepi ing pamrih rame ing gawe" dan kali ini saya tidak dapat menahan diri, saya tidak bersepakat dengan prinsip teman saya ini.
Keterasingan adalah kondisi yang harus ditolak, meskipun memang pada dasarnya niat seseorang itu tidak dapat diketahui tapi disamping sebelumnya telah saya sadari prinsipnya, juga apapun yang berpeluang untuk menjebak orang terasing atas kemanusiaannya sedah semestinya diperangi, orang kehilangan jati dirinya adalah karena ia terasing atas kemanusiaanya.
Filosofi "sepi ing pamrih, rame ing gawe" pada akhirnya hanya dapat dipahami dan dilaksanakan oleh orang yang memiliki kesadaran tinggi, hidup hanyalah untuk mengabdi, bekerja dan berkarya tanpa terikat dengan hasilnya. Ikhlas tanpa batas. Tapi hal ini juga dapat menjadi propaganda yang efektif untuk memperdaya orang lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar