Pramoedya Ananta Toer

"kau pribumi terpelajar! Kalau mereka itu, pribumi itu, tidak terpelajar, kau harus bikin mereka jadi terpelajar. Kau harus, harus, harus bicara pada mereka, dengan bahasa yang mereka tahu"

Senin, 14 Januari 2013

Dari Pramoedya Ananta Toer (sebuah harapan tentang Indonesia yang lebih mengenal kemanusiaan)

Senin sore yang murung, langit mendung. Sempat meriang tadi, pulang dari tempat ngajar langsung terkapar, seharian kena angin. Kini sedikit mendingan. Judul dan alamat blog sengaja saya ganti jadi "Mencari Indonesia" terinspirasi kemarin saat share satu judul ke fesbuk, saya tulis "minggu pagi yang cerah, kita cari Indonesia".

Jika dihitung harinya, selama pencarian saat ini sudah masuk hari ke 17 pencarian bangsa yang hilang, Indonesia. Tapi mungkin lebih baik dihitung dari hari kemarin, jadi ini adalah hari ke dua pendarian Indonesia. Bukannya hilang, tapi saya rasa memang belum pernah ditemukan, bukan wilayahnya, tapi jati dirinya. Indonesia.

Tadi, disela-sela waktu saya sempatkan baca "Jalan raya pos, Jalan Daendels" karya Pramodya Ananta Toer. Sudah kali ketiga saya baca buku ini. Sangat menarik bagi saya untuk selalu membaca karya-karya Pramoedya, saya banyak terinspirasi oleh tulisan-tulisan semacamnya.

"... Instituut Boedi Oetomo, disingkat IBO. Di bawah pimpinan ayahku sendiri sekolah ini sudah banting setir jadi sekolah nasional pada tahun 30-an. Apa pula sekolah nasional itu?! Pendeknya secara tidak langsung-karenatidak mungkin secara langsung-diajar membenci penjajahan Barat, Eropa, Belanda. Sebaliknya mengagungkan bangsa sendiri, tak peduli ilmiah atau tidak, asal memerosotkan wibawa kolonial. Teks pelajaran dibikin sendiri tentu. Yang bisa jadi bukti hukum diberikan secara lisan.

Dalam gerakan nasional sekolah nasional punya sahamnya sendiri. Kekuasaan kolonial menamakannya sekolah liar, wilde scholen. Untuk melawannya kekuasaan kolonial mengeluarkan Wilde Scholen Ordonantie, dan memerintahkan menutup semua. Perlawanan terhadapnya telah memaksa kekuasaan kolonial mencabutnya. Sementara itu, antara lain ayahku, masuk tahanan, biarpun tidak lama, hanya tiga harmal (hari-malam)."

Dari sobekan cerita diatas-saya ambil-dari karyanya Pramoedya "Jalan raya pos, jalan Daendels"- saya menangkap pada masa kekuasaan kolonial kesadaran berbangsa itu lahir dari bangku sekolah, dan waktu itu ada dua macam sekolah, yaitu sekolah liar-sebagaimana diceritakan-dan sekolah kolonial.

Saya pikir yang namanya sekolah liar itu adalah semacam tandingan untuk menghantam kemapanan kolonial yang serta merta mencari kemanusiaan. Dan juga dengan keberadaan pesantren yang menurut saya pada masa itu mengusung ciri khas yang berangkat dari adat-kebiasaan masyarakat. Pondok pesantren, pondok berarti rumah menginap, dan pesantren ini adalah dari istilah santri atau orang yang menuntut ilmu. Inipun kalau pikiran saya benar, sementara saya sedang gemar menebak-nebak.

Perkembangannya, keberadaan sekolah nasional menggantikan sekolah kolonial dengan hengkangnya kekuasaan kolonial dari Indonesia, bukan sebagai pihak yang menang tapi (sangat nyata sekali) sebagai pemeran pengganti, tradisi kolonial masih terjaga dan rapi terwarisi, begitupun dengan pesantren yang ternyata malah kehilangan andil dalam membangun masyarakat. Yang terakhir ini, semoga saya benar-benar salah menebak.

Baik sekolah maupun pesantren kita kenal sebagai lembaga pendidikan, namanya seperti itu berarti adalah tempatnya orang berubah, saya pribadi tidak suka dan tidak akan mungkin bersepakat dengan model kolonial yang dalam sistem pendidikannya hanya mempertahankan kemapanan kelas sosial. Pendidikan, sekolah adalah tempat orang berubah, dari tidak tahu menjadi tahu dan dari tidak mengerti menjadi mengerti, terutama sekali mengenai kemanusiaan, sekolah adalah agen perubahan, kalaupun boleh bisa juga dikatakan sebagai agen perbaikan, mengenal manusia terutama. Memperbaiki kemanusiaan.

Sobekan lain dari karya yang sama:

"Dengan semakin panjangnya Jalan Raya Pos, Daendels memperluas tanampaksa kopi di daerah-daerah yang cocok untuk tanaman itu. Tanampaksa ini kemudian dihidupkan kembali semasa Orba. Hanya yang ditanampaksakan adalah tebu. Barangkali juga sama seperti semasa Orba, semasa kompeni harga diturunkan atau dimanipulasi semasa panen.Boleh jadi, karena selama rakyat kecil pribumi tidak berdaya, maka jadi sumber datangnya kekayaan bagi pihak yang sebelum berhasil membuat mereka tidak berdaya. Memang menarik memperhatikan bagaimana kompeni mampu meninggalkan warisan sistim dalam alam kemerdekaan".

Tentunya penguasa sebelumnya tidak akan begitu saja merelakan wilayah kekuasaan dan kekayaan rampasan dirampok begitu saja, dan pastinya sejak dari datangnya kolonial ke tanah air, mereka sudah memanfaatkan watak feodalisme yang ada, dan toh hingga kini watak tersebut seperti benar-benar terpelihara.

Akhir kata mengutip pula karya Pramoedya "Indonesia adalah negeri budak. Budak di antara bangsa dan budak bagi bangsa-bangsa lain".

Tidak ada komentar:

Posting Komentar