Dua hari kemarin tidak nulis disini, soalnya lagi mengisi opini di Warung Kopi Demokrasi salah satu blog yang saya kelola, dan kemarin saya sempatkan untuk nulis satu naskah pendek "Suara-suara" sebenarnya bukan naskah drama tapi sajak, dan sudah lama saya tulis sebelumnya. Dua judul sajak saya campur jadi satu lalu saya pecah-pecah lagi dalam dialog.
Cuaca ekstrim bermunculan dimedia massa berpadu dengan kabar dari Pak Roy Suryo yang baru saja diangkat sebagai Menpora. Mengintip facebook dan Google "plus" kondisinya juga serupa, di jalur FB kemarin ada pemberitaan tentang Roma Irama yang menyatakan dirinya selain seorang seniman juga adalah seorang negarawan dan diikuti komentar serta-merta hujatan. Dari G+ lewat postingan seorang teman yang "entah"-karena saya juga tidak begitu mengenal beliaunya, ada diskusi tentang pancasila dan kebangsaan.
Mending bahas yang terakhir itu, diskusi tentang pancasila dan kebangsaan, kalau saya simak dalam diskusi tersebut adalah permasalahan kesadaran berbangsa dan ini akan jadi hal utama disini, sebab pada kenyataannya kesadaran berbangsa hampir-hampir tidak ada di negeri ini selain gebyar kebanggaan kosong yang seringnya malah mengedepankan sentimen dan kebencian.
Muncul satu pertanyaan "sejak kapan bangsa Indonesia itu ada?". Sejak kapan, sebab sebelumnya tidak ada, nama Indonesia sendiri tidak muncul begitu saja dari masyarakat yang menghuni pulau-pulau nusantara, nama itu muncul dari buku yang ditulis orang Eropa, A. Bastian. Dan barulah bangsa Indonesia menyatakan diri menjadi satu bangsa lewat sumpah pemuda. Mungkin pendeknya demikian.
Tapi sampai hari ini kita belum mampu membentuk identitas kebangsaan kita meskipun pancasila pernah kita sepakati sebagai ideologi yang sekaligus falsafah negara, salah satu fungsi ideologi adalah membentuk identitas suatu bangsa untuk membedakannya dengan bangsa yang lain, tapi dengan kita itu belum terjadi. Kita belum mampu membangun identitas kita sebagai satu bangsa dalam diri kita meski rumusannya telah ada: pancasila.
Pernah saya nulis di Buletin Garis tentang kandungan pancasila- tentunya dari sudut pandang saya yang mencoba menafsirkan pancasila dari karakter tokoh wayang "Pandawa-pancasila" yang saya hadirkan dan tanpa komentar, mungkin terlalu njelimet dan terkesan mengada-ada. Mungkin. Di kolom Warung Kopi Demokrasi juga saya tinggali catatan "Pancasila sebagai wajah nasionalisme Indonesia" yang semuanya itu sekedar untuk menafsirkan pancasila dalam usaha saya mencari bangsa yang hilang, Indonesia.
Rupanya kita terlalu sibuk berpolitik hingga melupakan identitas kita yang pernah dicita-citakan sebagai bangsa yang ramah-tamah, berbudi luhur dan mengedepankan kegotong-royongan ditengah perbedaan, bhineka tunggal ika. Rumus sederhananya seperti ini, tiap-tiap kebudayaan sudah pasti membawa normanya sendiri-sendiri meskipun yang namanya moralitas memiliki dasar kemanusiaan dan kemanusiaan adalah sama dimanapun dan kapanpun tapi setiap budaya/kebudayaan memiliki normanya sendiri, misalnya terkait tentang kesopanan dan adat istiadat. Nah dengan begitu dapat kita ambil kesimpulan bahwa moral yang memiliki dasar kemanusiaan dan bersifat universal itu adalah hasil dari hubungan dialogis antar budaya yang ada, berdialog menuju universalisme moral.
Dan kita sebagai suatu bangsa yang dibangun dari keragaman budaya ini sudah memiliki rumusan tersebut, universalisme moral, hanya saja belum juga tertanam dalam diri kita tentang kesadaran berbangsa yang memiliki identitas kebangsaan. Namun hal ini tidak boleh menjadi alasan untuk melakukan penafsiran tunggal terhadap pancasila sebagaimana yang pernah dilakukan baik oleh kekuasaan orde lama maupun orde baru. Penafsiran tunggal terhadap pancasila hanya akan memunculkan apatisme dan dendam. Sedang kita harus selalu berdialog mencari identitas kita sebagai suatu bangsa. Indonesia.
Cukup berat memang, belum lagi pola pikir warisan kolonial yang belum lagi terhapus dibenak kita masing-masing, yaitu tentang suatu bangunan masyarakat atas dasar kelas sosial. Kita bisa saksikan sendiri faktanya, dimana hukum yang diharapkan dapat memenuhi rasa keadilan masyarakat ternyata masih juga berpihak pada kelas tertentu dalam masyarakat. Dan inilah yang maha penting untuk segera dibenahi, sebab kesadaran berbangsa tidak akan terwujud jika hukum memihak.
Minggu pagi yang cerah, hampir siang belum juga mandi... ngopi-ngopi, cheers...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar