Pulang lebih awal, di sekolah ada kegiatan Maulid Nabi, istilahnya "muludtan" untuk memperingati hari kelahiran Rasulullah Muhammad SAW. Anak-anak tadi dikumpulkan ditengah lapangan untuk mendengarkan ceramah. Kurang tahu nama ustadnya.
Banyak hal diungkap dengan sedikit menggelitik, bukan menghujat tapi menampar-nampar pendengarnya, hebat, dalam hati pun saya berdoa "semoga bermanfaat dan memberi banyak kesadaran, aamiin". Realitas memang harus selalu didobrak.
Saya tidak akan mengulas isi ceramah tersebut atau sekedar menceritakan suasananya, saya hanya akan mengambil sebagian kecil dari isi ceramah, yaitu tentang teknologi. Menurut pak ustad tadi teknologi itu tergantung pemakainya, jika digunakan oleh orang yang berilmu maka akan bernilai manfaat, dan jika ada ditangan yang keliru malah akan menjadi mudharat. Tadi beliau bikin contohnya juga, mengenai penggunaan telephon genggam, dengan bahasa khas pesantren yang tidak banyak saya ketahui, kurang lebih seperti penggunaan fasilitas SMS, jika dilakukan oleh orang yang berilmu maka bermanfaat untuk menjalin silaturahmi, sebaliknya, ketika dioperasionalkan oleh orang yang salah maka akan menjadi "Sarana-Modal Selingkuh".
Semacam pisau, dan pisau ini adalah hasil budaya yang sama halnya dengan telephon genggam. Pisau ditangan orang berilmu akan menjadi manfaat, misalnya untuk masak, tapi jadi masalah ketika digenggam oleh tangan yang salah, misalnya membunuh. Teknologi itu ibarat pisau disini, atau mungkin bisa saja diibaratkan sebagai pisau bermata dua.
Tergantung pemakainya, apakah dia berilmu atau tidak, baik atau buruk, teknologi hanya sekedar mengikuti. Beradab tidaknya pengguna adalah faktor penting dalam memberi nilai teknologi.
Begitupun dengan apa yang kita sebut "demokrasi", sistem yang memang dirumuskan untuk dapat bermanfaat bagi orang banyak. Demokrasi memang labil, dia bukan konsep baku dengan suatu "blue print" untuk melaksanakannya. Hanya menyertakan dua syarat, selebihnya diserahkan kepada para pelakunya, yang pertama adalah pengakuan HAM dan yang kedua adalah pengakuan partisipasi masyarakat dalam pemerintahan.
Demokrasi adalah hasil peradaban yang tinggi, sepanjang usianya pun juga telah mengalami banyak uji. Ia bisa dilaksanakan oleh semua manusia, baik yang beradab maupun yang biadab sekalipun, bagai pisau bermata dua, menyimpan manfaat sekaligus mudharat tergantung penggunaannya. Jika yang menggunakan adalah orang yang berilmu maka bermanfaat. Tapi jika pelakunya sendiri adalah masyarakat yang miskin akan etika-estetika yang berarti juga miskin ilmu, maka bukan manfaat yang dipetik malah mudharat yang dengan terpaksa kita nikmati.
Bisa dibayangkan ketika demokrasi dilaksanakan oleh masyarakat yang belum mampu keluar dari pola pikir feodalistiknya, demokrasi hanya akan sekedar menjadi sarana penguasaan manusia atas manusia. Ini kemungkinan terburuknya. Dan dominasi mayoritas sebagaimana dalam pelaksanaan demokrasi liberal adalah memunculkan ketidak adilan. Apalagi jika dilaksanakan oleh masyarakat yang masih cenderung menggunakan kekerasan, demokrasi hanya akan menjadi pintu gerbang pertikaian.
Semua pihak bisa hidup dalam demokrasi, termasuk pihak yang anti terhadap demokrasi itu sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar