Minggu pagi, dingin, mendung dan tidak terdapat sesuatu hal untuk menebak keadaan. Media massa terjebak keseragaman, begitupun pikiran orang-orang, seperti jalan searah, lurus, bisu dan kaku dengan pemandangan yang satu macam saja, pohonnya sama, kendaraannya sama, warnanya sama dan kita adalah pelaku didalamnya, entah sekedar penumpang atau sedang jadi pengendara. Membosankan.
Pernah dulu, sekilas saja membaca tentang politik media dan pendapat saya media massa adalah salah satu dari pihak pemenang, saya katakan pemenang sebab yang saya sadari kehidupan yang saya temui tidak lebih sekedar perjudian, menang-kalah adalah konsekuensinya, dikatakan menang-kalah karena yang ada hanyalah persaingan, terutama dan yang pertama sekali adalah memenangkan opini publik.
Tentunya masih ingat dengan ramainya demonstran ketika pemerintah berencana menghapus subsidi BBM tahun 2012 kemarin, lewat opini masyarakat dan para demonstran dapat dilihat bahwa tidak satupun yang memikirkan konsekuensi logis dari penghapusan subsidi BBM tersebut, serta merta mendukung kelanggengan praktek kapitalisme-liberalist di negeri ini. Semua pihak seakan menolak, buruh dengan mudah keluar dari lingkungan kerjanya untuk turun berdemonstrasi bersama mahasiswa di jalanan, hampir ditiap kota selama kurang lebih satu minggu seperti itu.
Berbanding terbalik ketika perayaan "mayday" (hari buruh), sepertinya buruh yang entah karena menemui kesulitan atau karena sudah bosan atau karena hal lain hampir-hampir tidak terlihat berdemonstrasi, hanya skala kecil mahasiswa dan organisasi. Pada awalnya saya menangkap situasi dimana pihak-pihak yang berkepentingan berhasil menguasai opini publik bahwa rencana pemerintah tersebut tidak berpihak kepada rakyat kecil, sekaligus saya tidak mengerti kenapa muncul opini semacam itu, bukankah yang terjadi sebenarnya adalah pengalihan subsidi?.
Biaya pendidikan dan kesehatan adalah beban tanggungan tersendiri bagi masyarakat yang telah nyata bergeser pada status sekedar konsumen, sedangkan ada atau tidaknya subsidi BBM pengaruhnya terhadap masyarakat masih kecil ketimbang bagi para pengusaha dan para pemilik modal yang curang memanfaatkan subsidi tersebut sebagai peluang untuk memperoleh keuntungan dengan menekan biaya operasional. Toh setelah berhasil menggagalkan rencana pemerintah tersebut dijalanan malah sering terlihat rombongan-rombongan kendaraan mewah. Dari touring motor gede hingga motor berandalan yang melenggang tanpa empati. Dan jalanan lebih sering macet dengan kehadiran kendaraan-kendaraan terbaru dengan cc besar. Aneh.
Bukankah akan lebih baik jika masyarakat memperoleh hak untuk pendidikan dan kesehatan dengan mudah tanpa harus terbebani oleh biaya? Bukankah akan lebih baik untuk membangun sektor pendidikan dan kesehatan dengan fasilitas yang memadai dan merata untuk menunjang perjuangan masyarakat dalam membenahi sektor yang lain? (dalam hati) Siapa sebenarnya yang ada dibalik opini miring seperti ini?.
Demikian yang ada dalam alam pikir saya untuk hal tersebut, yang kemudian muncul pula spekulasi bahwa ada kemungkinan pemerintah sendiri yang sengaja melempar wacana untuk mengalihkan perhatian massa dari perayaan "mayday", sebab tahun ini rencana tersebut sepertinya mulai dibicarakan lagi kalaupun media massa tidak direpotkan dengan kabar banjir yang sensasional di wilayah paling sensasional Republik ini.
Pertarungan politik selalu diwarnai dengan upaya memenangkan dan mendominasi opini publik, pembentukan opini dan citra adalah hal yang utama dalam demokrasi mayoritas, pun seperti itu yang terjadi dalam pergaulan sehari-hari masyarakat yang memiliki kecenderungan untuk saling berkuasa, pengaruh-mempengaruhi, hasut-menghasut menjadi pilihan utama dari sebuah kemunafikkan. Tentu hal ini akan menjadi satu peluang untuk dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab yang menyadari bahwa masyarakat selalu menyimpan pretensi, membentuk opini dan citra demi kepentingan pribadi dan golongan.
Sungguhpun saya masih berteguh hati, bhineka tunggal ika, tan hanna dharma mangrwa, berbeda-beda tetapi tetap satu jua, tiada kebenaran yang mendua. Dan Tuhan senantiasa membinasakan kebathilan, tapi-sebagaimana yang ditulis oleh Pramoedya dalam karyanya "sekali peristiwa di Banten Selatan":
"Dimana-mana aku selalu dengar. Yang benar juga akhirnya yang menang. Itu benar; Benar sekali. Tapi kapan? Kebenaran tidak datang dari langit, dia mesti diperjuangkan untuk menjadi benar"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar