4 Januari 2013,
Jum'at pagi sambil ndengerin Pak Mahfud dan Gus Dur nyanyi, hehehe kemarin nitip buku sama Bung Tony, salah satu judulnya "Gus Dur: Islam, politik dan kebangsaan" karya Pak Mahfud. Ini ahli tata negara sedang shalawatan lewat pc saya.
Kontan saja ruang kamar yang semrawut kayak kapal pecah dan lebih mirip ruang praktik dukun ini jadi punya nuansa pesantren. Ehehehe... saya sendiri tidak begitu mengenal lingkungan pesantren, tapi tidak apa, sesekali berwujud santri juga tidak ada salahnya. Dan hampir-hampir saya tidak memiliki kemampuan menulis ketika mendengar dua tokoh ini bernyanyi lewat pc saya.
Pada bagian awal buku ini juga menceritakan kebersahajaan tokoh-tokoh politik kala itu, saya terkesan dan tidak tidur semalaman demi menyusun imajinasi tentang bagian "Sarapan pagi Mbak Mega dan Mas Dur", benar-benar diluar bayangan saya tentang gaya "borjuasi" anak negri.
Teringat pendapat beberapa orang ketika saya tanyai mengenai Gus Dur, kebanyakan orang bersikap "menyayangkan" keputusan Gus Dur untuk terjun ke dunia politik, "seharusnya ulama hanya mengurusi agama saja, jangan berpolitik, politik itu busuk" katanya. Muncul dalam pikiran saya dua istilah "politik" dan "agama".
Sepertinya ada "garis batas" antara kedua istilah ini, sepertinya saya benar-benar terpengaruh bukunya Pak Agustinus. Garis batas. Seperti tapal batas antara hidup dan mati, tapal batas yang tak tertembus. Dan jikapun memang ada garis batas antara hidup dan mati maka keduanya tidak saling mempengaruhi, berfungsi dan memiliki pengaruh pada wilayah masing-masing.
Tapi pemahaman saya tidak seperti itu (apalagi ketika ndenger dua negarawan kita sedang melantunkan shalawat), kehidupan di dunia memiliki pengaruh yang cukup besar bagi kehidupan di akhirat, dan kematian adalah tapal batasnya.
Politik, menurut Aristoteles adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama. Secara etimologi politik lebih dekat dengan kebijakan yaitu konsep tantang proses penentuan tujuan kebijakan, keterkaitannya dengan negara dan negara ada karena keinginan suatu masyarakat untuk menciptakan ketertiban dan keamanan yang tentunya untuk mencapai kesejahteraan sosial.
Hubungannya dengan kehidupan akhirat adalah pada ketertiban dan keamanan itu sendiri, yaitu ketika individu dalam masyarakat tidak memiliki kecenderungan untuk mudah berbuat dosa. Tergantung orientasi hidup seseorang juga, ketika ia berorientasi pada kehidupan dunia, maka sebatas dunialah yang akan ia dapatkan, tetapi ketika ia berorientasi pada akhirat maka ia telah berusaha mencari jawaban dari dua wilayah yang berbatas kematian ini.
Gampangnya, ketika seseorang mengakui dengan segenap kesadarannya akan eksistensi Tuhan maka ia akan cenderung menghindari perbuatan dosa. Sebab ketika ia berbuat dosa, bukan hanya dirinya sendiri yang sedang ia rugikan, tapi terdapat juga kemungkinan untuk merugikan orang lain. Terlalu "moral" dan terlalu idealis ya?.
Merayakan kedaulatan pada Jum'at pagi bersama secangkir nikmat kiriman malaikat. Cheers.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar