Baca judul salah satu kolom di harian Kompas, "Diplomasi kuliner" pada halaman 17 tanggal 8 Januari 2013. Ini malah nambah perbendaharaan kata yang baru bagi saya, dan sangat menarik. Kalau baca Tan Malaka dalam GERPOLEKnya saya nemu dua istilah "diplomasi berunding" dan "diplomasi bambu runcing" kini nambah satu lagi "diplomasi kuliner".
Memang dalam memperjuangkan negara yang hampir 'ambrol' ini kita harus "all out" kata bule, sepenuh jiwa dan raga kata pujangga. Ya, sepenuh jiwa, dengan apapun yang kita punya dan dengan apapun yang kita bisa untuk membela bangsa dalam persaingan dunia, termasuk dengan "diplomasi kuliner" tadi.
Kita bisa menggunakan perundingan untuk memecahkan ketegangan jika muncul perseteruan dengan bangsa lain, bila perlu tempur total dengan perjuangan bersenjata atau tanpa senjata sebagai bentuk perlawanan terhadap penindasan maupun intimidasi bangsa lain yaitu dengan "diplomasi bambu runcing". Pun bisa juga dengan cara paling nyaman dan aman, bersahabat dengan cara memperkenalkan jati diri kita kepada bangsa lain yang tentunya dengan media kebudayaan, salah satunya "diplomasi kuliner" tadi.
Kita kenalkan kekayaan alam Indonesia tidak semata untuk eksploitasi secara "kurang ajar" tapi lebih dari itu kekayaan alam raya Indonesia tercinta ini dapat dinikmati dan bermanfaat tanpa harus merusaknya juga tanpa harus merusak yang lain. Bagaimana menjelaskannya, saya sendiri masih kebingungan.
Toh kekayaan budaya kita yang bukan semata hasil dari upaya untuk menaklukkan alam, tapi merupakan hasil dari upaya untuk bersahabat dengan alam tidak akan pernah habis, seperti kekayaan kuliner kita. Dan sepertinya (ini menurut saya) hal inilah yang mampu kita angkat sebagai senjata utama dalam persaingan internasional. Kuliner.
Asal saja bahan-bahannya juga sedang kita produksi sendiri, bukan mendatangkan dari luar negeri. Percuma.
Seperti halnya ketika kita mendatangkan produk budaya dari luar negeri, tentunya tentang teknologi, dimana kita mau tidak mau harus mempelajari pengoperasiannya sekaligus hal-hal lain seperti suku cadang yang dapat digunakan: dari mana? Pabrikan mana? Dan bagaimana kecocokan suku cadang dengan produk budaya yang sedang kita operasikan tersebut.
Nah, dalam kuliner, kita mau tidak mau pastinya akan turut mengandalkan hasil pertanian, perternakan dan perikanan. Pilih dan mulai menginventaris tanaman pendukung untuk memproduksi dan memperkenalkan kuliner yang memiliki ciri khas keIndonesia-an. Nanti kalau ada yang tertarik, kita ajari mereka dan bahan-bahannya kita datangkan khusus dari alam merdeka Indonesia.
Saya dengar di Belanda sana restoran khas Indonesia cukup mendominasi, saya belum tahu kebenarannya hanya saja saya pikir inilah peluang untuk balas menjajah... (?)...
Sajian nusantara, teristimewa bagi rakyat merdeka. Indonesia... semoga jaya...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar