Tadi pas piket pagi sempat baca artikel Jawa Pos hari ini, judulnya "negeri dagelan" saya lupa baca penulisnya sebab terlanjur asik dengan paparan penulis yang menurut saya-kalau boleh dianalogikan adalah seperti seperti seorang pemain sepak bola yang akrobatik.
Dalam bayang-bayang pengaruh tulisan tersebut saya pun mau nulis tentang ragam drama yang sepertinya jadi inspirasi bagi tokoh-tokoh politik masa kini. Saya tidak begitu mengenal tentang tradisi seni peran, ada pengkategorian "tradisional" dan modern, sedang yang katanya modern ini hanyalah bentuk tradisional di negeri asalnya, dan yang dikatakan tradisional adalah seni peran yang berasal dari negeri sendiri. Seni peran yang modern pun juga terpilah-pilah dinegeri asalnya, ada yang dikatakan klasik dan ada yang dikatakan neoklasik, ada pula yang modern dan post modern. Nah lho, bingung kan?.
Maka cukuplah saya mengikuti pendapat umum, bahwa yang tradisional saya kata klasik dalam negeri dan yang modern adalah yang kotemporer. Dan tidak perlu rasanya mengulas ini, sebab sasaran saya dalam jurnal kali ini bukan bidang ini.
Seni peran klasik dalam negeri memiliki ciri khas pementasan tanpa naskah, dialog dalam pementasan biasanya merupakan hasil dari tradisi lisan, mungkin terdapat banyak sekali improvisasi tapi selama yang saya lihat dan saya temui sepertinya tidak ada sama sekali improvisasi. Salut.
Dengan seni peran kotemporer yang akrab dengan lembaran-lembaran naskah penuh dialog yang harus dihafal dan mempersilahkan improvisasi serta dukungan teknologi juga pada dasarnya memiliki rambu-rambu untuk tetap dalam skenario sang sutradara. Kalau sutradara maunya humor ya harus lucu, sebaliknya kalau yang diinginkan adalah tampilan serius ya harus serius.
Dari WS Rendra kita kenal istilah "kritik sastra" yang dikatakan masih lemah tradisinya di negeri ini, istilah apa lagi ini? Sepanjang saya ketahui adalah semacam konsep seni untuk rakyat, yaitu karya seni yang bersuara atas penderitaan rakyat, terlahir atas dasar penderitaan rakyat. Mungkin mirip dengan konsep yang digagas oleh LEKRA, tapi siapa yang tahu kebenarannya tentu orang-orang sastra dan para ahlinya.
Dan dari seni klasik tradisional, khususnya Jawa, kita kenal istilah "pasemon" saya dapati istilah ini dari seorang seniman reog, seorang saja tidak lebih dan namanya patut disebut dalam tulisan ini, Pak Pi'i-dulu salah satu tukang kebun di SMP.
"Pasemon" sebagaimana penjelasan Pak Pi'i ini asalnya dari kata "nyemoni"/"semon" atau sindiran atau menyindir. Memang sudah kebiasaan masyarakat tradisional Jawa untuk tidak melawan penguasa secara "frontal" karena feodalisme juga menanamkan budaya-kalau tidak ingin disebut doktrin "ewuh pakewuh" perasaan hormat, segan, kepada seseorang, karena kedudukan, kharisma,
senioritas, kebaikan, sehingga kemudian menimbulkan semacam
“kebergantungan” yang begitu besar pada orang tersebut. Terdapat kecenderungan nepotisme dalam hal ini, mungkin juga kolusi. Ujung-ujungnya ya korupsi.
Ini malah ngelantur ngg'jelas...
kembali pada permasalahan awal, yaitu tentang aksi politik yang menggelitik diatas pentas drama "singgahsana Indonesia raya", dimana rakyat tetap sebagai penonton yang dipersilahkan menangkap pesan pementasan sesuai sudut pandang masing-masing tanpa harus didengar. Ya seperti ketika nonton pertandingan sepak bola di depan televisi, dimana kesebelasan kesayangan sedang bermain buruk dan mengalami kekalahan, sudah pasti yang muncul adalah umpatan-umpatan yang tidak terdengar oleh pemain, lha wong yang hadir di stadion yang menyaksikan secara langsung dan juga sedang mengumpat sama sekali tidak didengarkan. Edan.
Demikianlah, para aktor politik bermain penuh dengan improvisasi tanpa harus risau dengan protes-protes dari penonton, sedangkan telah disepakati bersama bahwasannya negara ini menganut kedaulatan rakyat, yang mana seharusnya rakyat bukan terbatas hanya sebagai penonton.
Sekedar catatan bingung dari seorang rakyat yang ling-lung. Mumpung kopi masih hangat coba kita saksikan pementasan drama di depan layar kaca... cheers...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar