Pramoedya Ananta Toer

"kau pribumi terpelajar! Kalau mereka itu, pribumi itu, tidak terpelajar, kau harus bikin mereka jadi terpelajar. Kau harus, harus, harus bicara pada mereka, dengan bahasa yang mereka tahu"

Senin, 21 Januari 2013

Pertarungan ideologis, refleksi dari situasi suatu komunitas

Senin sore, baru bisa ngetik disini, masih juga ngambang tanpa ada kejernihan, Indonesia semakin buram. Entah seperti apa dan bagaimana? Sama sekali hilang, membayang pun tidak. Mendung, sore yang murung.

Menyempatkan diri untuk berada dalam suatu komunitas-yang mungkin sama dengan komunitas yang lain, perkumpulan yang mungkin sama seperti perkumpulan yang lain di negeri ini, dimana perkumpulan-perkumpulan ini dibangun hanya untuk sarana penguasaan manusia atas manusia.

Orde baru telah membuktikan-sekali lagi, keunggulannya meski telah lama disingkirkan oleh reformasi, tapi itu hanya cerita, kenyataannya kekuatannya dan pengaruhnya masih ada terwarisi, mungkin hingga sepuluh generasi kedepan. Atau mungkin akan tambah menghebat.

Watak warisan regim developmentalisme, kalau boleh dikatakan seperti itu sebab menurut saya demikianlah gambaran yang pas realitas objektif haluan ekonomi negara-negara dunia ketiga, developmentalisme, suatu pemulihan ekonomi dengan motif utama membendung pengaruh komunisme dan bentuk-bentuk lain sosialisme.  Sayang sekali "polisi demokrasi" waktu itu mendapati orde baru telah bergeser pada fasisme (terselubung) yaitu dengan paham "jawaisme" yang menggantikan slogan bhineka tunggal ika dengan pemusatan yang serta merta keharusan serba Jawa. Tepo sliro dan segala filosofi yang pada akhirnya terbukti hanyalah kedok bagi kemapanan dan kecurangan.

Mungkin pula masih teringat dengan baik, semua serba pusat... keputusan dari pusat, sekali lagi "pusat", birokrasi yang tidak sehat. Aman terpelihara disetiap gedung dan jalanan negeri ini.

Parahnya lagi, orde baru lebih mengedepankan istilah "demokrasi pancasila" yang hanya istilah tanpa pelaksanaan, dan pada akhirnya-kini-pancasila menjadi salah satu objek hujatan. Banyak yang berpendapat bahwa pancasila telah gagal sebab penguasa sendiri juga mendukung pendapat tersebut dengan kebijakan dan tingkah lakunya.

Dalam komunitas yang saya sempatkan untuk hadir hari ini pun tampaknya juga seperti itu, ada kelompok "tua" dan sudah pasti ada golongan "muda" dengan perwatakan dan kepentingan masing-masing yaitu menguasai satu sama lain.

Kepemimpinan menjadi terlihat tidak tegas dalam kondisi seperti ini, layaknya yang terjadi pada umumnya dan mungkin ini adalah salah satu penyakit menular yang menjangkiti bangsa ini. Seorang pemimpin akan terombang-ambing dan hanya cari selamat.

Kelompok tua lebih pada mempertahankan status quo dan bermain-main dibalik keluhuran, kemapanan dan gaya birokrasi serba "pusat", propaganda ideologis untuk sekedar mendominasi menjadi salah satu gambaran. Sedang golongan muda yang sedang mabuk kepayang terbagi-bagi dalam fraksi-fraksi sesuai kepentingan masing-masing, ada yang jadi kader kelompok tua ada yang berimajinasi tentang suatu gerakan revolusioner dan ada yang secara sadar mengharapkan suatu perubahan/perbaikan.

Dalam kondisi seperti ini sebenarnya peran seorang pemimpin yang tegas "tanpa kompromi" menjadi hal utama, dimana seorang pemimpin tidak saja hanya sebagai figur suatu kelompok atau komunitas, ia harus jadi teladan dan pemersatu anggotanya.

Seringnya pemimpin malah terjebak diantara perseteruan yang mengharuskan ia untuk berpihak, jadinya timpang, ada yang dilindungi, ada yang diserang tanpa ampun dan sudah pasti nantinya harus ada korban. Nah dalam komunitas yang saya sempatkan untuk hadir ini juga menyimpan keunikan, ceritanya dimana ketika kelompok tua mencari kader untuk kemapanannya ada salah satu dari mereka yang-katakanlah: blunder, sedang yang didekati~dari yang muda malah terlihat nyaman-nyaman saja. Terjadi skandal, dan rupanya sang pemimpin berpihak, tentunya agar aman maka ia berpihak pada kelompok tua. Saya tulis kelompok tua sebab mereka juga mengatakan seperti itu daripada memilih untuk menyebut "senior".

Keberpihakkan sang pemimpin ini dapat diketahui ketika ia mencoba menutup-nutupi hal tersebut, pun selanjutnya adalah upaya untuk mengaburkan pendapat umum tentang hal tersebut, jadi tambah rumit sebab upaya-upaya tersebut ternyata malah menumbuhkan kasus-kasus baru. Golongan muda semakin terpecah belah, saling curiga dengan menafsirkan situasi sesuai dengan sudut pandang masing-masing, keadaan jadi tak ubahnya seperti politik nasional, bahkan jadi terdengar lebih rumit. Kemana sang pemimpin?!.

Tidak hanya pemimpin yang sedang berpihak, lebih parah, aturan turut berpihak, tentunya berpihak pada kelompok yang dominan, warisan orde baru jadi terpampang nyata dimana kelompok tua bersusah payah menyembunyikan kepentingannya dengan mengatasnamakan "kedisiplinan" tanpa ada upaya peneladanan, jangankan peneladanan, lha wong yang dipikirkan hanya kemapanan.

Ada juga dari kadernya kelompok tua yang mengedepankan kerukunan tapi dengan menempatkan lawan-lawannya sebagai kelompok yang patut untuk disingkirkan (karena sepertinya sudah kehabisan akal untuk melakukan pembungkaman), penyingkiran-pembungkaman kok ya atas nama kerukunan? Benar-benar ideologis. Sungguh saya sangat menyadari bahwa saya sempat berada dalam situasi serba dramatis, kondisi yang lebih mirip sandiwara-mungkin karena pengaruh sinetron tanah merdeka ini. Dan untungnya saya hanya sekedar mampir jadi pengamat, tapi begitu saya memperlihatkan diri tadi, serentak semua pihak-pihak yang ada langsung berebut, padahal saya sama sekali tidak memiliki pengaruh apapun di dalamnya, jangankan pengaruh, wewenang sebagai anggota saja tidak.

Saya dapati pengetahuan dari sekilas pengalaman ini, yaitu kepemimpinan adalah suatu keterampilan berorganisasi yang tidak hanya sekedar mengorganisasikan orang-orang tapi juga lebih pada pengorganisasian kepentingan anggota-anggotanya. Apalah arti suatu organisasi ketika peraturan jadi timpang? Sama, apalah pentingnya sebuah negara ketika hukum berpihak pada satu golongan? Sedang kita pernah bersepakat untuk membangun suatu negara bangsa.

Atau memang? Semua ini berjalan hanya karena iseng? Toh seperti pengalaman saya tadi, yang pada akhirnya dapat saya ketahui (meskipun tanpa bertanya, salah satu "kader"menjelaskannya) bahwa skandal awalnya hanyalah suatu perbuatan iseng yang memanfaatkan kebodohan. Astaganaga...

Sebelum tiba waktu magrib tadi saya sudah cepat-cepat meninggalkan lokasi, hampir-hampir pikiran saya kacau dan hampir-hampir saya terhambat untuk mencari Indonesia, Indonesia, bangsa yang masih saja dalam angan-angan.

Seharusnya kita sudah belajar dari pengalaman, dimana penafsiran tunggal terhadap pancasila hanya akan menjerumuskan kita pada suatu keadaan yang serba kaku dan pura-pura, penafsiran tunggal hanya akan berujung pada tindakan ideologis yang pada dasarnya menyertakan ketidak adilan. Semoga saja "keisengan" yang ada dapat dihentikan dan dijelaskan agar dapat termaafkan, dan kita mampu kembali bangkit untuk membangun karakter bangsa untuk menemukan Indonesia. Aamiin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar