Pramoedya Ananta Toer

"kau pribumi terpelajar! Kalau mereka itu, pribumi itu, tidak terpelajar, kau harus bikin mereka jadi terpelajar. Kau harus, harus, harus bicara pada mereka, dengan bahasa yang mereka tahu"

Jumat, 25 Januari 2013

Pembenahan, belajar dari sejarah jahiliyah dan serat darmaghandul

Jum'at sore, kegiatan teater sengaja saya hentikan, saya lagi tidak ingin kena angin. Sudah beberapa hari ini gigi geraham sebelah kiri melakukan pemberontakan, dan sedang benar-benar kena serangan flu, perih-kering rasanya tenggorokkan.

Tadi pas sholat Jum'at khotibnya membahas tentang istilah "jahiliyah" dan seperti biasanya kalau urusan pengetahuan keagamaan saya masih rendah pengetahuannya. Setahu saya istilah ini merupakan kondisi suatu bangsa, sebagaimana pernah terjadi di Eropa, jaman kegelapan, sedang "jahiliyah" menimpa bangsa Arab. Jahiliyah bermakna bodoh-kebodohan, dan menurut bapak khotib tadi yang dimaksud "jahiliyah" disini bukanlah jaman dimana bangsa Arab sedang bodoh-bodohnya, sebaliknya pada masa itu bangsa Arab sedang gencar-gencarnya mengembangkan kasusastran.

Berarti pada waktu itu merupakan puncak dari kebudayaan bangsa Arab, bangsa yang sedang mengembangkan kasusastran adalah bangsa yang telah menemukan jati diri dan sedang mengupayakan peradaban, peradaban suatu bangsa itu ada karena etika-estetikanya dan lewat kasusastranlah semua itu dapat diabadikan.

Tapi kenapa disebut dengan istilah "jahiliyah"? Nah dari sini bapak khotib tadi menjelaskan bahwa "jahiliyah" ini terdiri atas empat macam, maksudnya empat macam kebodohan. Pertama, bodoh hukumnya, dimana hukum hanya memihak pada kalangan berkuasa.

Tentunya memang hal bodoh, mengingat peranan hukum dalam masyarakat adalah untuk ketertiban dan mencapai keadilan demi kesejahteraan bersama, bagaimana mungkin ketertiban dan keadilan dapat diwujudkan jika hukumnya hanya berlaku bagi masyarakat bawah, sedangkan sangat toleran bagi masyarakat kelas atas, lebih-lebih penguasa.

Kedua, bodoh adatnya, dimana terjadi jual-beli manusia sebagai budak, bahkan ada kebiasaan untuk saling bertukar istri. Kalau seperti ini sebenarnya sudah kepalang bodohnya, bagaimanapun tindakan dan perilaku yang tidak memanusiakan manusia adalah kebodohan. Titik.

Ketiga adalah bodoh karena kesombongannya, sudah pasti orang sombong karena tidak memanusiakan manusia, penguasaan manusia atas manusia salah satu unsurnya adalah kesombongan, yang kuat yang menang, siapa cepat dia dapat. Individualistis, tanpa ada kesadaran sosial, serakah.

Juga diceritakan bahwa waktu itu cara berpakaian bangsa Arab cenderung vulgar, lebih mengutamakan tampilan sexual dengan serba ketat dan-katakanlah "tidak tersamar". Sulit juga mencari kata buat menggambarkannya.

Pikiran saya saat itu "bukankah memang sedang benar-benar bodoh-bodohnya bangsa Arab? Lalu, kira-kira isi muatan kasusastrannya apa?" Keheranan saya adalah pada tindakan tidak manusiawi yang tengah digambarkan, dan hampir juga saya teriak "itu bukan jahiliyah, itu masyarakat yang kini sedang menamai dirinya Indonesia!" Tapi hampir, untunglah saya sedang sadar sesadar-sadarnya bahwa Indonesia akan segera saya temukan, dan pada dasarnya tidak boleh ada perdebatan ataupun protes dalam mimbar Jum'at.

Kondisi tersebut dapat terhenti dengan kehadiran Rasulullah Shalallahu'alaihi Wassalam, Nabi besar yang hadir dijaman akhir yang berhasil melancarkan revolusi, tidak dengan senjata atau sekedar protes, dengan konsepsi sederhana yang menggugah kesadaran lewat keteladanan, menyampaikan kabar kemenangan bagi orang-orang beriman. Rahmatan lil'alamin.

Sebelumnya saya sempatkan baca darmagandhul, serat yang terbit beratus-ratus tahun yang lalu di tanah Jawa, bercerita tentang runtuhnya Majapahit akibat ajaran Islam yang dikatakannya "menggurita", kalau yang saya ketahui dari pelajaran sejarah, runtuhnya dinasti besar ini karena perang saudara.

Dari yang saya baca tadi, mengenai perjalanan Sunan Bonang di wilayah Kediri, dalam perjalanannya Sunan Bonang sempat berdebat dengan raja jin setempat karena Sunan Bonang telah memberi kutukan terhadap masyarakat sebuah desa di (mungkin) seputaran Nganjuk. Aliran sungai dia alihkan hingga menerpa desa, para jejaka dan perawannya dia kutuk akan menikah di usia tua. Kutukan tersebut terjadi akibat ulah seorang gadis desa yang salah sangka, ketika seorang murid dari Sunan yang diutus mencari air minum dan wudlu disangka hendak berbuat jahat, tidak mendapat air malah hinaan dan cacian dari sang gadis yang kemudian ia laporkan kepada Sunan. Marah dan mengutuk akhirnya.

Dari cerita perdebatan antara Sunan dan raja jin ini saya dapati suatu pemikiran, meskipun sangat jauh dari isi sampaian serat tersebut, yaitu ketika menyampaikan kabar gembira, syiar agama yang "rahmatan lil'alamin" ini adalah lebih baik dengan cara yang rahmatan lil'alamin juga. Tidak perlu merusak apalagi hingga menimbulkan permusuhan. Baik-buruknya kita kembalikan kepada Yang Maha Esa.

Membangun bangsa berakhlak mulia tidaklah dengan kekerasan, apalagi perang, penaklukkan hanya akan menyelipkan dendam. Dalam hal ini saya masih kabur, apakah Islam masuk ke nusantara dengan cara damai atau lewat penaklukkan tadi? Sejarahnya saya baca hanya sepotong-sepotong. Dan kenyataan berkisah lain, wajah garang pembela ajaran Rasulullah yang-sama sekali-jauh dari jargon rahmatan lil'alamin.

Sekali lagi, kedisiplinan tidak akan muncul dari ketakutan, masalah akhlak, masalah moral adalah pembenahan lewat keteladanan, tentunya dengan membuka ruang dialog.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar