Ada seorang guru ngomong ke muridnya "untuk belajar 'dance' harus belajar tari tradisional dulu", demikian dalam debat kecil pada sebuah kelas. Hal ini saya dapati dari cerita beberapa pelajar yang sedang berkesempatan memasang wajah jengah.
Saya tidak begitu mengerti jalan pikir dari guru yang dimaksud, yang tentunya telah mendapat 'protes diam' dari para muridnya akibat pendapatnya tersebut, bukankah generasi saat ini lebih radikal dalam berpikir? Mungkin demikian jika dibandingkan dengan kepicikkan seorang guru yang menyatakan "untuk belajar dance (dalam hal ini yang dimaksud adalah modern dance) harus belajar tari tradisional dulu", cukup bernuansa doktrinasi kalau saya bilang. Jadi ingat masa ORBA.
Bagaimana mungkin mengangkat kebudayaan sendiri untuk dapat sejajar dengan budaya asing tetapi memperlakukan budaya sendiri sebagai budaya rendah? Kebudayaan sendiri disini diwakili oleh "tari tradisional" dan budaya asing yang beragam kali ini diwakili oleh "modern dance" dalam berbagai bentuk yang pada dasarnya lebih sering datang dari luar kebudayaan sendiri.
Kembali pada perbandingan antara tradisional dan modern, pendeknya belum tentu yang datang dari luar kebudayaan kita adalah lebih modern dari budaya kita, dianggap modern disini malah tradisional di tempat asalnya. Sedangkan kita masih keseringan menganggap yang tradisional adalah hasil budaya yang rendah sebagaimana pola pikir seorang guru diatas.
Alangkah berbahayanya pola pikir seperti itu, terlebih ketika pola pikir sedemikian itu tersalur dalam ucapan seorang guru kepada murid-muridnya, sama halnya mengatakan "kita sebagai bangsa yang tidak beradab, marilah menghamba kepada bangsa lain yang lebih gemerlap" tanpa ada upaya untuk memodernkan hasil budaya sendiri, jadilah kita benar-benar menghamba kepada sesama manusia dari bangsa lain. Untuk lebih jelas dalam masalah perbandingan antara modern dan tradisional, silahkan baca tulisan saya sebelumnya "klik link".
Dan lagi tidaklah mungkin para penyanyi Korea dengan tampilan khas "modern dance" nya itu terlebih dulu belajar tari tradisional dari bangsa Indonesia untuk melakukan performa "modern dance" yang tiba-tiba jadi kiblat budaya bagi kebanyakan muda-mudi di Indonesia. Sungguh, kekacauan sedang terjadi dalam otak anda jika anda berpikir seperti itu. Lebih baik mulai suatu analisa kecil tentang koreografi dan iringan musik untuk memodernkan budaya sendiri, misalnya tari Bali diiring musik rock atau jaipong dengan irama jazz. Jazz dan rock adalah tradisi asing yang mendunia yang sementara sedang dibilang "MODERN" daripada jaipong, atau lain waktu kita bisa pikirkan sama-sama tentang kuda lumping yang disemarakkan dengan riuhnya irama trash metal.
Pramoedya Ananta Toer
Sabtu, 17 Agustus 2013
Kamis, 15 Agustus 2013
Revolusi: Tobat Nasional
Bukan menjadi sebuah rencana ketika saya ditawari untuk ikut berpuasa pada tanggal 17 Agustus 2013 nanti, salah seorang crew GSP adalah seorang warga dari Tarekat Shiddiqiyyah Jombang, ketika berkumpul pas lebaran kemarin dia menyodorkan foto kopian surat edaran dari pondoknya yang berisi ajakan untuk melakukan puasa dan berdzikir pada tanggal 17 nanti. Jadilah pada hari sabtu nanti beberapa crew GSP akan melakukan puasa dan mengadakan semacam majelis dzikir.
Tidak terdapat hal-perihal yang salah atau bahkan buruk dengan dianggap sesat dalam ajakan itu, sebaliknya malah hal seperti inilah yang harus dilakukan oleh seluruh bangsa Indonesia, mensyukuri nikmat kemerdekaan yang serta merta mendoakan keselamatan bangsa dan negara, inilah puncak dari wujud nasionalisme (sementara menurut saya).
Juga masih menurut saya pribadi hal demikian inilah yang harus dilaksanakan oleh bangsa yang besar yang cenderung bingung memilih arah meskipun sudah punya cita-cita, bahkan memunculkan gagasan dalam pikiran saya, yaitu "tobat nasional".
Bukannya sok benar atau bahkan sok suci, tapi kalau mau jujur yang terjadi dalam bangsa ini adalah beragam penyimpangan yang bahkan meninggalkan kemanusiaan. Tobat nasional perlu untuk bangsa ini, terutama sekali oleh pejabatnya, para politikus dan para abdi negaranya.
Tentang Pondok dari Tarekat Shiddiqiyyah yang berada di Ploso-Jombang sebelumnya sempat saya kunjungi bersama beberapa crew GSP ketika memperingati Isra Miraj, terdapat bagian-bagian dari pondok yang membuat saya terkesan lantaran semangat nasionalisme yang tinggi yang ditampilkan dalam bentuk monumen-monumen, waktu itu saya merasa cita-cita saya dalam menemukan Indonesia sudah saya wujudkan ditengah-tengah ribuan warga Tarekat Shiddiqiyyah yang hadir malam itu, namun ketika sudah kembali ke Malang perasaan semacam itu tiba-tiba saja hilang dengan gemerlap liberalisme yang dipertunjukkan disepanjang jalan bersama kehadiran borjuis-borjuis yang senantiasa mencari kesenangan berlebih.
Sekaligus juga waktu itu saya mengingat sejarah "Resolusi Jihad NU" yang pernah saya baca yang intinya membela dan mempertahankan negara adalah wajib hukumnya (saya beranikan diri menulis seperti itu meskipun saya tidak mengerti tentang dalil-dalilnya) dan slogan dari warga NU "untuk menjadi Islam 100% di negeri ini juga harus menjadi nasionalis 100%". Mantab tanpa ditawar lagi.
Tentunya dalam pikiran saya (sementara) saat ini adalah dimana ketika keberadaan suatu negara yang dapat menjamin proses ibadah adalah perlu untuk diperjuangkan-dipertahankan.
Mengenai "tobat nasional" tentu sudah cukup jelas, bagi masyarakat yang cenderung menyimpang dan selalu berharap akan adanya perubahan-perbaikan ini untuk melakukan suatu revolusi, suatu revolusi yang berangkat dari diri sendiri, dari masing-masing individu, merubah diri untuk mengadakan perbaikan hidup yaitu dengan bertobat.
Tidak terdapat hal-perihal yang salah atau bahkan buruk dengan dianggap sesat dalam ajakan itu, sebaliknya malah hal seperti inilah yang harus dilakukan oleh seluruh bangsa Indonesia, mensyukuri nikmat kemerdekaan yang serta merta mendoakan keselamatan bangsa dan negara, inilah puncak dari wujud nasionalisme (sementara menurut saya).
Juga masih menurut saya pribadi hal demikian inilah yang harus dilaksanakan oleh bangsa yang besar yang cenderung bingung memilih arah meskipun sudah punya cita-cita, bahkan memunculkan gagasan dalam pikiran saya, yaitu "tobat nasional".
Bukannya sok benar atau bahkan sok suci, tapi kalau mau jujur yang terjadi dalam bangsa ini adalah beragam penyimpangan yang bahkan meninggalkan kemanusiaan. Tobat nasional perlu untuk bangsa ini, terutama sekali oleh pejabatnya, para politikus dan para abdi negaranya.
Tentang Pondok dari Tarekat Shiddiqiyyah yang berada di Ploso-Jombang sebelumnya sempat saya kunjungi bersama beberapa crew GSP ketika memperingati Isra Miraj, terdapat bagian-bagian dari pondok yang membuat saya terkesan lantaran semangat nasionalisme yang tinggi yang ditampilkan dalam bentuk monumen-monumen, waktu itu saya merasa cita-cita saya dalam menemukan Indonesia sudah saya wujudkan ditengah-tengah ribuan warga Tarekat Shiddiqiyyah yang hadir malam itu, namun ketika sudah kembali ke Malang perasaan semacam itu tiba-tiba saja hilang dengan gemerlap liberalisme yang dipertunjukkan disepanjang jalan bersama kehadiran borjuis-borjuis yang senantiasa mencari kesenangan berlebih.
Sekaligus juga waktu itu saya mengingat sejarah "Resolusi Jihad NU" yang pernah saya baca yang intinya membela dan mempertahankan negara adalah wajib hukumnya (saya beranikan diri menulis seperti itu meskipun saya tidak mengerti tentang dalil-dalilnya) dan slogan dari warga NU "untuk menjadi Islam 100% di negeri ini juga harus menjadi nasionalis 100%". Mantab tanpa ditawar lagi.
Tentunya dalam pikiran saya (sementara) saat ini adalah dimana ketika keberadaan suatu negara yang dapat menjamin proses ibadah adalah perlu untuk diperjuangkan-dipertahankan.
Mengenai "tobat nasional" tentu sudah cukup jelas, bagi masyarakat yang cenderung menyimpang dan selalu berharap akan adanya perubahan-perbaikan ini untuk melakukan suatu revolusi, suatu revolusi yang berangkat dari diri sendiri, dari masing-masing individu, merubah diri untuk mengadakan perbaikan hidup yaitu dengan bertobat.
Selasa, 13 Agustus 2013
Membangun Kebangsaan
Menjadi suatu kerja besar, membangun kebangsaan bagi suatu masyarakat yang tersusun dari beragam latar belakang, suku, agama dan ras. Inilah Indonesia, dalam persatuannya adalah nasionalisme yang tidak sempit, ia harus memberi ruang penuh bagi segenap paham dan keyakinan didalamnya, meskipun memang sudah seharusnya seperti itu nasionalisme/kebangsaan yang ada.
Nasionalisme yang diinginkan bukanlah suatu nasionalisme yang menjadi rintangan bagi paham atau "isme-isme" yang lain, bahkan terhadap agama. Nasionalisme yang dalam bentuk dasarnya adalah kesadaran yang menyempit tentang suatu masyarakat atas suatu paham, keyakinan, suku dan ras tidaklah dapat diterima lagi. Nasionalisme yang hanya menjadi perintang seperti itu sama saja dengan pembatasan terhadap kemanusiaan, dan ketika nasionalisme tidak lagi sesuai dengan kemanusiaan maka akan memunculkan proses tindas-menindas antar manusia.
Sungguh, kita tidak mengiginkan nasionalisme yang sempit yang tidak ramah terhadap kemanusiaan, apalagi nasionalisme sempit yang mengenyahkan kemanusiaan. Pun tidak pula menjadi suatu harapan ketika nasionalisme yang ada malah mendasarkan diri pada liberalisme~mungkin akan terbaca aneh: nasionalisme-liberalistik, tapi inilah yang sering muncul kepermukaan disamping nasionalisme yang membatasi diri dalam suatu latar belakang- latar belakang masyarakatnya.
Indonesia, Amerika dan Australia adalah contoh terbaik untuk menggambarkan bagaimana suatu nasionalisme dibangun dari beragam latar belakang, tidak berdasarkan agama, suku, dan ras. Tapi tentunya tidak menjadi suatu keinginan untuk menjadikan Indonesia seperti Amerika yang liberalistis. Kita bisa katakan Indonesia adalah Indonesia dengan keragaman yang membuatnya kaya akan warna.
Lalu bagaimana membangun nasionalisme/kebangsaan di Indonesia yang memiliki keragaman jika tidak seperti Amerika dengan menyandarkan diri dengan liberalisme? Tentu bisa, hal demikian sudah terjawab cukup lama, bahkan sebelum negara diproklamasikan.
Pancasila, inilah bentuk nasionalisme yang ditawarkan, ia bukan suatu "isme" yang kaku, rigid. Pancasila memberi ruang yang cukup untuk segenap paham dan keyakinan dalam masyarakatnya, pun juga tidak memberikan kebebasan mutlak kepada masyarakatnya, kebebasan yang ada masihlah berjalan diatas rel revolusi untuk mewujudkan tatanan masyarakat yang dicita-citakan, tentu suatu masyarakat yang berkeTuhanan Yang Maha Esa, suatu masyarakat yang berperikemanusiaan untuk mewujudkan suatu masyarakat yang berkeadilan sosial.
Jadilah tugas maha berat bagi suatu bangsa untuk membangun peradaban yang gemilang, peradaban yang manusiawi sajalah yang dapat kita gunakan.
Bagaimana kesadaran seperti itu dapat diwujudkan? Pertanyaan inilah yang muncul, kita tidak perlu membicarakan wujud nasionalisme jika tidak terlebih dahulu membicarakan kesadarannya, tentu kesadaran berbangsa, kesadaran akan suatu nasionalisme yang berdiri-mewujud dari ladang sejarah suatu masyarakat.
Jauh didalam pancasila tersimpan bentuk nasionalisme yang diharapkan, hal ini sebagaimana pendapat Ir. Soekarno tentang sosio-nasionalisme, dimana nasionalisme ini tidak sama seperti nasionalisme bangsa-bangsa Eropa, suatu nasionalisme yang tidak hanya mencari "gebyar"nya saja atau suatu nasionalisme yang hanya muncul lantaran sepak bola saja. Tapi suatu nasionalisme yang mendasarkan diri pada kecintaan terhadap rakyat jelata, nasionalisme yang memperjuangkan nasib rakyat jelata atau suatu nasionalisme yang didalamnya mengupayakan perbaikan hidup bagi sesama.
Bung Karno mendefinisikan sosio-nasionalisme ini dengan massa-rakyat yakni nasionalisme yang mencari selamatnya massa-rakyat. Pun juga suatu nasionalisme yang menentang pembentukan masyarakat yang berdasarkan kelas sosial, dalam hal ini Bung Karno berpesan “dalam perjuangan habis-habisan mendatangkan Indonesia Merdeka, kaum Marhaen harus menjaga agar jangan sampai nanti mereka yang kena getahnya, tetapi kaum borjuis atau ningrat yang memakan nangkanya.”
Nasionalisme yang diinginkan bukanlah suatu nasionalisme yang menjadi rintangan bagi paham atau "isme-isme" yang lain, bahkan terhadap agama. Nasionalisme yang dalam bentuk dasarnya adalah kesadaran yang menyempit tentang suatu masyarakat atas suatu paham, keyakinan, suku dan ras tidaklah dapat diterima lagi. Nasionalisme yang hanya menjadi perintang seperti itu sama saja dengan pembatasan terhadap kemanusiaan, dan ketika nasionalisme tidak lagi sesuai dengan kemanusiaan maka akan memunculkan proses tindas-menindas antar manusia.
Sungguh, kita tidak mengiginkan nasionalisme yang sempit yang tidak ramah terhadap kemanusiaan, apalagi nasionalisme sempit yang mengenyahkan kemanusiaan. Pun tidak pula menjadi suatu harapan ketika nasionalisme yang ada malah mendasarkan diri pada liberalisme~mungkin akan terbaca aneh: nasionalisme-liberalistik, tapi inilah yang sering muncul kepermukaan disamping nasionalisme yang membatasi diri dalam suatu latar belakang- latar belakang masyarakatnya.
Indonesia, Amerika dan Australia adalah contoh terbaik untuk menggambarkan bagaimana suatu nasionalisme dibangun dari beragam latar belakang, tidak berdasarkan agama, suku, dan ras. Tapi tentunya tidak menjadi suatu keinginan untuk menjadikan Indonesia seperti Amerika yang liberalistis. Kita bisa katakan Indonesia adalah Indonesia dengan keragaman yang membuatnya kaya akan warna.
Lalu bagaimana membangun nasionalisme/kebangsaan di Indonesia yang memiliki keragaman jika tidak seperti Amerika dengan menyandarkan diri dengan liberalisme? Tentu bisa, hal demikian sudah terjawab cukup lama, bahkan sebelum negara diproklamasikan.
Pancasila, inilah bentuk nasionalisme yang ditawarkan, ia bukan suatu "isme" yang kaku, rigid. Pancasila memberi ruang yang cukup untuk segenap paham dan keyakinan dalam masyarakatnya, pun juga tidak memberikan kebebasan mutlak kepada masyarakatnya, kebebasan yang ada masihlah berjalan diatas rel revolusi untuk mewujudkan tatanan masyarakat yang dicita-citakan, tentu suatu masyarakat yang berkeTuhanan Yang Maha Esa, suatu masyarakat yang berperikemanusiaan untuk mewujudkan suatu masyarakat yang berkeadilan sosial.
Jadilah tugas maha berat bagi suatu bangsa untuk membangun peradaban yang gemilang, peradaban yang manusiawi sajalah yang dapat kita gunakan.
Bagaimana kesadaran seperti itu dapat diwujudkan? Pertanyaan inilah yang muncul, kita tidak perlu membicarakan wujud nasionalisme jika tidak terlebih dahulu membicarakan kesadarannya, tentu kesadaran berbangsa, kesadaran akan suatu nasionalisme yang berdiri-mewujud dari ladang sejarah suatu masyarakat.
Jauh didalam pancasila tersimpan bentuk nasionalisme yang diharapkan, hal ini sebagaimana pendapat Ir. Soekarno tentang sosio-nasionalisme, dimana nasionalisme ini tidak sama seperti nasionalisme bangsa-bangsa Eropa, suatu nasionalisme yang tidak hanya mencari "gebyar"nya saja atau suatu nasionalisme yang hanya muncul lantaran sepak bola saja. Tapi suatu nasionalisme yang mendasarkan diri pada kecintaan terhadap rakyat jelata, nasionalisme yang memperjuangkan nasib rakyat jelata atau suatu nasionalisme yang didalamnya mengupayakan perbaikan hidup bagi sesama.
Bung Karno mendefinisikan sosio-nasionalisme ini dengan massa-rakyat yakni nasionalisme yang mencari selamatnya massa-rakyat. Pun juga suatu nasionalisme yang menentang pembentukan masyarakat yang berdasarkan kelas sosial, dalam hal ini Bung Karno berpesan “dalam perjuangan habis-habisan mendatangkan Indonesia Merdeka, kaum Marhaen harus menjaga agar jangan sampai nanti mereka yang kena getahnya, tetapi kaum borjuis atau ningrat yang memakan nangkanya.”
Langganan:
Postingan (Atom)